LUDUS & PRAGMA

119. Malam yang Baik.



119. Malam yang Baik.

0"Davira! Bisa tolong buangkan sampahnya ke tempat sampah?" Suara mamanya lantang memenuhi ruangan. Menginterupsi gadis yang baru saja ingin berjalan kembali menaiki satu persatu anak tangga untuk sampai ke dalam kamarnya yang baru saja ditinggalkannya beberapa menit lalu sebab rasa haus melandanya. Davira mengerang ringan. Berjalan gontai menyambangi tempat keranjang sampah di sisi ruangan. Menyambarnya kasar kemudian tegas mendorong pintu yang ada di depannya. Melangkah keluar dengan langkah sedikit gontai sembari sesekali menghela napasnya ringan. Jujur saja selepas pertengkaran kecil bersama Adam, Davira tak bisa benar lolos dari perasaan gelisah dan bersalah. Dari sekian banyak hal yang bisa dikatakan untuk mengekspresikan rasa sakitnya sebab tamparan fakta yang diterima Davira Faranisa di awal hubungannya dengan Adam, mengapa harus kata putus yang terucap?     

Davira menyesal! Ingin kembali di waktu ia menatap Adam dengan tatapan penuh amarah dan kekecewaan yang ada di dalam hatinya. Davira tak ingin memaki, ia hanya ingin menghapus satu kalimat yang menutup amarahnya sebelum sang kekasih mulai menjelaskan dengan sejujurnya pasal apa yang sebenarnya terjadi.     

Gadis itu kini mendorong gerbang pintu rumahnya. Niat hati ingin melangkah keluar dan membuang sampah yang ada di tangan kirinya itu kemudian segera masuk dan kembali ke dalam kamar. Merebahkan tubuhnya kasar dengan memaksa sepasang mata bulat nan indah miliknya itu memejam. Memungkaskan hari yang berat untuk menyambut hari baru lagi.     

Akan tetapi, niatnya terhenti. Seorang remaja tampan dengan kemeja seperempat lengan polos yang apik di padukan celana jeans biru terang dan sepatu putih bersih sudah berdiri dan menatapnya dengan tatapan teduh. Tersenyum ringan pada gadis yang kini mematung bak es balok di tengah dinginnya hawa kutub Utara. Davira tak menyangka, jikalau Adam Liandra Kin sudah berada di depan gerbang rumahnya malam ini. Satu pertanyaan besar yang kini terbesit di dalam hati Davira, sejak kapan Adam berada di sini?     

"Aku kira kamu bakalan keluar setelah senja pergi. Ternyata lebih malam dari dugaan aku," tuturnya lembut. Mengusap rambut gadis yang kini mendongakkan wajahnya untuk menatap Adam Liandra Kin.     

"Boleh ngomong sebentar?" tanyanya dengan nada lirih. Membuat gadis yang ada di depannya itu semakin rapat bungkam tak mampu banyak bersuara apapun lagi saat ini.     

"S--soal apa?" Gagap Davira merespon kalimat dari Adam barusan. Membuat remaja yang ada di depannya.     

"Tentang kita." Adam menyahut dengan nada lembut. Mengulurkan tangannya agar Davira bisa meraih dan menerima kedatangannya malam ini.     

"Aku ganti baju du—"     

"Gak perlu. Cukup pamit sama mama aja," sela Adam memotong kalimat milik Davira. Membuat gadis itu tegas menatap sembari sejenak membulatkan matanya.     

Pergi dengan sang kekasih dalam keadaan begini? Pakaian tidur, sepasang sandal jepit merah jambu, dan tatanan rambut ala kadarnya dengan kacamata bulat yang menghias di atas paras polos tanpa make up yang menghiasi? Tidak! Davira masih punya malu. Bagaimana bisa ia berpenampilan begini dan pergi bersama sang kekasih?     

"Aku buang sampahnya. Kamu buruan pamit ke mana, kita pergi ke taman sebelah halte bus seperti biasanya." Adam memerintah. Meraih keranjang sampah yang ada di dalam genggaman Davira kemudian tersenyum ringan.     

"Gimana bisa aku pergi dengan pakaian seperti—"     

"Kamu udah sangat cantik bahkan dengan penampilan seperti itu." Lagi-lagi remaja jangkung yang ada di depannya menyela. Sukses membuat Davira membisu sebab tak mampu berkata apapun lagi kali ini. Ini adalah kali pertamanya menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Dekat dan memberi perasaannya adalah hal yang asing untuk Davira Faranisa dan semua yang ada di dalam dirinya kali ini terasa begitu aneh. Hanya sebab kalimat singkat yang terucap dari mulut Adam Liandra Kin, Davira sangat bahagia dan berbunga-bunga saat ini.     

***LnP***     

Semilir hawa bayu tegas membelai permukaan kulit gadis yang kini menatap jauh objek yang ada di depannya. Belum mau bersuara hanya menatap apa-apa saja yang ada di depannya saat ini. Davira masih merasa bersalah juga tak enak hati sudah memarahi dan menghakimi Adam tanpa bertanya dan mengkonfirmasi terlebih dahulu, sebenarnya apa yang sudah terjadi sebelum Adam menyatakan perasaan padanya.     

"Kamu gak kedinginan?" tanya Adam menyela pada akhirnya. Sedikit memiringkan kepalanya untuk bisa menatap dengan benar paras gadis cantik yang berada di sisinya. Kaca mata bulat benar-benar menambah kesan cantik, imut, dan menggemaskan bercampur aduk menjadi satu di atas paras milik Davira Faranisa. Membuat Adam tak henti-hentinya ingin menatap dan mencuri pandang ke arah gadis itu.     

Davira menoleh. Menatap sejenak Adam Liandra Kin kemudian menurunkan pandangannya dan mengusap lembut kedua sisi lengannya. Benar, ia hanya memakai baju tidur dengan lengan pendek yang menutup di atas sikunya saja. Menyisakan separuh tangan yang sukses dibelai lembut oleh semilir angin yang berembus malam ini. Davira tak sempat datang ke kamarnya dan mengambil jaket. Bahkan, ia tak sempat menukar sandal yang dikenakannya saat ini dengan sepatu yang sedikit lebih layak untuk dikenakannya.     

"Aku gak sempat—" Belum sempat Davira menyelesaikan kalimatnya, tangan Adam sudah terulur padanya. Memberikan jaket hitam yang dipunyainya pada gadis yang kini terdiam sembari menatap remaja jangkung berponi belah tengah itu dengan tatapan sayu.     

Mengapa Adam sebaik ini padanya?     

Adam tersenyum. Terlalu lama jikalau ia menunggu respon dari Davira Faranisa untuk membalas uluran tangan darinya dengan menerima jaket milik Adam, jadi remaja itu memakaikannya. Menyelimuti tubuh gadis yang ada di sisinya agar lebih hangat meskipun tak sehangat kalau ia berada di dalam kamarnya saat ini.     

"Aku mint maaf," ucap Adam melirih.     

Davira diam. Bukankah ia yang seharusnya memulai percakapan dan mengatakan itu pada Adam untuk pertama kalinya? Tapi apa ini, bahkan menjawab pun ia masih tak sanggup.     

"Kamu masih marah sama aku?" Remaja itu mengimbuhkan. Kokoh ingin membuat gadis yang ada di sisinya berbicara kali ini.     

"Apa kata Candra? Dia mengatakan hal yang—"     

"Aku gak nemuin Candra," sela Davira menundukkan pandangannya. Memicu reaksi dari remaja yang ada di sisinya untuk sedikit memiringkan kepalanya dan menunduk agar bisa menatap raut wajah gadis yang ada di sisinya.     

"Ketemu Arka?" tanya remaja itu dengan nada melirih. Takut kalau Davira akan sakit hati jikalau Adam terkesan sedang menuduhnya saat ini.     

Davira menggeleng. "Aku kembali ke kelas. Duduk dan merenungi semuanya."     

"Kamu masih marah sama aku sekarang ini?" Adam mengulang pertanyaannya. Kali ini sedikit memberi penekanan agar dari di sisinya mau mendongak dan menatapnya. Syukur-syukur kalau mau merespon apa yang ditanyakan Adam barusan itu.     

"Kenapa menghindari aku tadi sepulang sekolah?" remaja jangkung di sisi Davira kini meraih tangan gadis itu. Menghentikan aktivitas Davira yang tegas menautkan jari jemari lentik miliknya untuk saling berada satu sama lain. Adam kini mulai hapal, kalau Davira sudah begitu itu artinya ia sedang gelisah saat ini.     

"Jangan kita akhiri," ucap remaja itu dengan nada lembut. Sukses mencuri perhatian gadis yang kini mendongak dan menatap sepasang lensa tajam milik Adam Liandra Kin.     

"Hubungan kita maksud aku. Aku gak pengen putus dari kamu," imbuhnya tersenyum ringan. Mengusap puncak kepala Davira Faranisa.     

"Aku yang minta maaf." Davira kini mulai berucap. Sangat lirih hingga membuat Adam harus mendekatkan sejenak wajahnya pada Davira.     

"Aku seharusnya tanya dulu baru memutuskan untuk marah atau tidak. Tapi aku terlalu bawa emosi karena kalimat Kayla." Sukses! Yang ada di dalam hati dan mengganjal di dalam benaknya kini mulai berkurang selepas Davira mengatakan kalimat sedikit panjang miliknya itu.     

"Jadi?" tanya Adam tersenyum ringan. Menarik dagu Davira agar gadis itu kembali mendongak dan menatapnya dengan benar.     

"Jadi apa?" tanya Davira menatap polos.     

"Kita baikan?" tanya remaja itu sedikit menggoda. Tatapannya tegas memblokir seluruh fokus milik Davira. Membuat gadis itu perlahan ikut mengembangkan senyum manis di atas paras cantik miliknya.     

Davira mengangguk. "Hm. Kita baikan."     

"Jangan marah lagi, oke? Kalau ada yang mengatakan sesuatu yang mengganggumu tanya padaku dan minta kejelasannya. Aku akan menjelaskan semua yang ingin kamu ketahui dengan jujur." Adam kini meraih tubuh gadis yang ada di depannya. Memeluknya erat sembari mengusap-usap helai demi helai rambut panjang milik Davira.     

"Ngomong-ngomong, kapan kamu mau ngembaliin jepit rambut aku?" sela Davira membuat Adam sejenak menghentikan aktivitasnya. Melepas perlahan pelukan yang baru saja erat menghangatkan tubuh standar milik Davira Faranisa.     

"Kenapa harus aku kembalikan? Menyimpan barang kekasih saat sedang menjalin hubungan itu sangat menyenangkan." Adam berkelit. Mencubit pipi gadis yang ada di depannya sembari tersenyum kuda untuk menutup kalimatnya saat ini.     

"Karena hanya itu jepit rambut yang aku punya dengan ukuran besar. Lainnya, gak nyaman kalau dipakai di rumah." Davira merengek manja di bagian akhir kalimatnya. Sukses membuat Adam terkekeh kecil sembari mengacak puncak kepala gadis di depannya itu.     

"Aku beliin yang baru," pungkasnya tersenyum ramah.     

"Aku mau yang itu." Davira menolak. Menatap remaja yang kini sejenak terdiam dan mengubah ekspresinya kaku.     

"Kenapa gak mau? Jepitnya biasa dan— maksud aku, aku akan belikan yang lebih mahal dan lebih bagus lagi," ucapnya mengubah arah kalimat. Tak ingin jikalau kalimat yang diucapnya nanti bisa melukai hati Davira sebab Adam yang mengatakan bahwa jepit kesayangan gadisnya itu biasa-biasa saja.     

"Arka yang membelikannya tahun kemarin."     

Adam terdiam. Membuang tatapannya kala nama remaja yang tak ingin didengarnya malam ini tegas disebut oleh Davira Faranisa. Menghela napasnya kasar kemudian berdecak lirih.     

Davira menelisik. Mencoba menerka perubahan ekspresi sang kekasih yang bisa dibilang sedikit aneh malam ini. "Aku salah ngomong?"     

Adam menoleh. Kembali menatap Davira kemudian tersenyum kaku. "Intinya aku beliin yang baru," ucapnya menutup kalimat. Tak ingin banyak membahas bahwa ia tak suka jikalau Davira menyebut nama Arka kala sedang berkencan dengannya.     

Adam sadar. Jikalau ia melarang Davira untuk menerima atau menyimpan barang pemberian Arka, itu sama dengan artinya bahwa ia menyuruh Davira untuk membuang dan meninggalkan segala kenangannya bersama Adam Liandra Kin.     

... To be continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.