LUDUS & PRAGMA

116. Tamparan Untuk Harapan.



116. Tamparan Untuk Harapan.

0Sepasang lensa teduhnya nyata menatap bayangan yang dipantulkan oleh cermin persegi yang ada di depannya. Hari yang indah ia lalui bersama Adam Liandra Kin sebagai seorang pasang sepasang kekasih yang baru saja meresmikan hubungannnya.     

Kemarin malam selepas menerima perasaan Adam, gadis itu dihantar pulang oleh sang kekasih baru. Tak ada banyak kalimat yang terlontar di antara keduanya. Hanya sesekali saling sahut dengan kalimat acak untuk sekadar memecah keheningan yang ada. Canggung, tentunya suasana canggung adalah alasan keduanya tetap bungkam satu sama lain selepas Adam memakaikan kalung yang dibelinya sebagai perwakilan betapa rasanya tinggi nan dalam untuk seorang Daviranya.     

Gadis itu kini tersenyum ringan. Mengusap permukaan gantungan kalung yang melingkar membelit rapi di atas lehernya. Manis, sangat manis kalimat yang terucap dari bibir Adam kemarin malam. Davira tak menyangka bahwa dirinya akan benar-benar mengatakan itu dan menerima perasaan Adam untuk menjadi kekasih hatinya. Menggeser sedikit posisi Arka dari dalam hatinya dan duduk rapi sebagai seorang laki-laki baik yang sah dianggap dan menyandang status sebagai seorang kekasih baru.     

Gadis itu kini melirik seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi sekolah. Sejenak menatapnya kemudian berjalan mengarah ke depan cermin dan wastafel yang ada di sisi Davira. Mencuci kasar kedua telapak tangannya kemudian mengelapnya dengan handuk kecil yang sengaja di gantung di setiap sisi kaca sebagai fasilitas untuk para siswi mengeringkan tangannya selepas menggunakan kamar mandi.     

"Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu?" sela Davira dengan nada ketus kala gadis yang ada di sisinya menoleh dan meliriknya tajam. Melirik sekikas kalung yang menggantung di atas leher Davira kemudian tersenyum miring.     

"Jadi dia bener-bener menyatakan perasaannya ke lo?" tukasnya semakin tegas menyeringai untuk menutup kalimat yang baru saja diucapkannya.     

Davira diam. Meneruskan aktivitasnya mencuci kedua tangannya kemudian mengelap dan mengeringkannya dengan menggunakan handuk. Memilih tak acuh pada gadis bermata kucing yang ada di sisinya itu.     

"Apa yang Adam katakan?" tanya Kayla menyela. Menarik tangan gadis yang baru saja ingin berputar dan melangkah pergi meninggalkan dirinya.     

Sebenarnya, Davira masih ingin diam dan tak mau banyak berbicara pada siapapun pasal hubungan barunya dengan Adam. Bukannya malu. Hanya saja dirinya masih tak ingin menanggapi komentar ini itu pasal diterimanya si Adam Liandra Kin menjadi kekasih baik yang akan memberikannya warna indah di dalam hidup. Bahkan, Davira sendiri pun belum sempat memberi tahu sang teman dekat sebab ia masih ragu untuk saat ini, akankah Davina mau menerima dengan memberikan respon baik? Mengingat bahwa gadis itu juga menyukai Adam Liandra Kin.     

Untuk permasalahannya dengan Arka, gadis itu sukses menuntutaskannya dengan baik. Tak ingin memperkeruh suasana juga hari baiknya saat ini. Membenci mamanya juga? Tidak. Davira kini mulai paham bahwa yang dilakukan sang mama di usianya yang semakin tua itu adalah sebuah kebaikan dan amal bekalnya kelak jikalau Tuhan menutup takdir dan alur hidupnya. Di usia yang sudah tak bisa dibilag muda namun belum cukup untuk dikatakan tua, mamanya tak akan pernah mau memulai hidup baru lagi bersama laki-laki yang sudah mengkhianati janjinya dulu. Toh juga, membenci sang mama tak akan pernah ada gunanya untuk Davira.     

Dalam janji yang diucapkannya bersama sang mama, Davira tegas mengatakan bahwa ia tak akan keberatan jikalau mama membantu mereka yang sedang dilanda kesulitan, asalkan tak berlebih. Cukup sesuai porsinya saja. Jikalau tak mampu, maka jangan memaksa untuk melakukannya. Sebab sang mama adalah manusia bukan Tuhan yang bisa segalanya.     

Janji kedua adalah Davira tak ingin dilibatkan ke dalam permasalahan yang dihadapi oleh keluarga itu. Ia sudah cukup tenang dan bahagia sekarang ini. Oleh karena itu, Davira memohon pada sang mama untuk tidak menyebut dan membahas apa-apa saja mengenai orang-orang yang dibencinya kepada Davira.     

"Bukan urusan lo," tuturnya dengan nada dingin. Menghempaskan kasar genggaman tangan Kayla yang kuat mencengkram pergelangan tangan Davira Faranisa.     

"Jangan ikut campur selagi gue masih baik sama lo." Davira mengimbuhkan. Menatap tajam gadis yang ada di depannya kemudian kembali memutar langkahnya untuk menjauh dari Kayla Jovanka saat ini.     

"Lo cuma bahan taruhan!" bentaknya kala Davira ingin terus melangkah jauh dari posisinya.     

Gadis bersurai pekat itu terhenti. Memutar tubuhnya kemudian kembali berjalan mendekat untuk menghampiri gadis sialan yang benar-benar menyebalkan untuknya. Bisakah Tuhan menghemapaskan gadis ini masuk ke dalam inti bumi sekarang? Davira benar-benar sudah muak melihat wajah dan segala tingkah menyebalkan yang terus saja mengusik ketenangan miliknya.     

"Lo cuma jadi bahan taruhan anak basket. Arka gak cerita itu?" kekehnya tersenyum seringai. Kalimatnya memang singkat, namun sukses membuat perubahan ekspresi di atas paras cantik milik gadis yang kini tegas menyipitkan matanya sembari samar mengerutkan dahinya. Sebuah tanda tanya besar muncul dengan satu pertanyaan yang ingin didengarnya sekarang ini. Seberapa banyak lagikah hal yang tak diketahuinya?     

"Adam dan timnya membuat taruhan siapa yang bisa mengajak gadis cantik datang ke konser kemarin malam, ia akan mendapat imbalan yang besar." Kayla kini tersenyum tajam. Memincingkan matanya sebab gadis yang ada di depannya itu terlihat mulai terpancing.     

"Lo yakin menyatakan perasaan bukan bagian dari taruhan mereka?" lanjut mengimbuhkan. Membuat gadis yang ada di depannya semakin tegas membungkam mulutnya agak tak bersuara kali ini.     

"Siapa yang memulainya? Taruhan itu."     

Kayla tersenyum miring. "Candra."     

Gadis itu kini memutar langkah dan benar-benar pergi menjauh dari Kayla Jovanka. Apa yang didengar oleh Davira sudah cukup. Akan tetapi, marah dan kecewa tanpa meminta sebuah informasi yang valid dari sumbernya bukan cara gadis itu menjalani hidupnya sekarang ini. Jadi, langkahnya tegas menyusuri lorong sekolah adalah untuk sampai ke tujuannya saat ini.     

Bukan Adam, melainkan si remaja sialan yang sudah membuat permainan kekanak-kanakan dan tak bermutu seperti itu. Candra Gilang.     

***LnP***     

Gadis itu kian tegas melangkah. Berbelok di ujung lorong untuk menyambangi kelas Candra Gilang sebab dalam tebakan Davira, ruang basket bukan tempat utama mereka berkumpul dan menghabiskan waktu istirahat yang amat sangat singkat itu. Tim Adam sudah bertanding dengan kekalahan mutlak yang diterimanya beberapa waktu lalu. Cuti tak berlatih untuk sejenak memberi jeda pada kesibukan yang ada adalah aktivitas yang diputuskan oleh seluruh tim juga pelatih. Jadi, akan sia-sia saja gadis itu datang dan menyambangi ruang basket.     

"Davira kamu—" Gadis itu mengabaikan. Terus berjalan ke depan untuk sampai ke tujuannya kali ini.     

"Davira!" Remaja jangkung yang baru saja merasa terbaikan itu mengejar dengan langkah yang cepat. Menarik pergelangan tangan gadis yang sudah sah menjadi kekasihnya kemarin malam. Adam Liandra Kin.     

"Kamu kenapa?" tanyannya melirih. Menatap sepasang lensa milik gadis yang kini menyibakkan kasar genggaman tangannya dan kembali melanjutkan langkahnya.     

Tak hanya diam. Adam kembali mengejar dan menarik pergelangan tangan Davira Faranisa dan membuat gadis itu kembali terhenti untuk kedua kalinya.     

"Ada apa? Kenapa kamu terlihat marah? Ada yang salah?" cecar Adam menatap dengan tatapan dalam penuh makna.     

Davira terdiam sejenak. Menatap remaja yang jelas menunggu penjelasan dari kata-kata keluar dari celah bibirnya saat ini.     

"Brengsek," katanya melirih. Menggigit bibir bawahnya sebab jujur saja selepas menerima perasaan Adam, Davira sedikit lain. Mengumpat dan mengatai remaja yang kini mulai melunak dan melepas genggaman tangannya yang kuat mencengkram pergelengan tangan kekasihnya itu adalah luka tersendiri untuk Davira Faranisa. Akan tetapi, mendengar apa yang dikatakan Kayla barusan itu membuatnya tak bisa menghindari amarah yang ada di dalam dirinya saat ini. Jikalau Adam benar datang dan menyatakan perasaannya atas dasar sebuah taruhan, maka bisa dipastikan rasa yang ada di dalam hati remaja itu hanya sebatas napsu untuk memiliki sebab hadiah kemenangan menanti. Bukan rasa suka yang teramat tulus pada sang kekasih baru.     

"K--kenapa kamu—" Adam menghentikan kalimatnya. Perlahan melepas genggaman tangan gadis yang masih kokoh memberi sorot lensa indahnya untuk menatap paras tampan dengan semburat kebingungan yang menghiasi. Adam tak tahu, ada apa dengan gadisnya itu? Bahkan kemarin malam selepas keduanya berpisah Adam sempat mengirimi pesan indah untuk menutup hari milik Davira Faranisa.     

Gadis itu masih baik-baik saja. Tak marah juga tak kalut dengan wajah resah nan gelisah seperti ini.     

"Ada sesuatu yang terjadi? Seseorang mengatakan hal buruk tentang aku dan kamu?" tanya Adam menghujani Davira dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa memberi jeda gadis itu untuk menjawabnya.     

"Davira ... kalau kamu hanya diam seperti ini aku tak tahu harus menjelaskan dan mengatakan apa untuk membuat kamu lega." Adam melanjutkan. Sedikit memiringkan kepalanya untuk bisa menelisik dengan benar perubahan wajah gadis yang kini memalingkan paras cantik miliknya.     

Mata Davira berbinar. Bukan ingin menangis sebab rasa sedih dan kalut hatinya saat ini. Davira bukan anak cengeng yang mudah mengeluarkan air mata hanya sebab hantaman kecil yang mengenai permukaan hatinya seperti ini. Gadis itu membinarkan matanya dengan sesekali menggigit bawah bibirnya juga sesekali menghela napasnya kasar itu hanya sedang menahan air mata tak turun sebab kalau Davira menahan amarah yang amat sangat mengebu-gebu seperti kemarin kala Arka menipunya, gadis itu akan menangis.     

Ada tiga hal yang sukses memicu air mata gadis itu untuk turun membasahi pipinya. Pertama sebab luka lama milik Davira kembali lagi. Seseorang dengan jahatnya telah membangkitkan kenangan lama dan menghidupkan memori mengerikan yang sudah lama mati. Kedua, kala gadis itu terlalu bahagia dan tak bisa membendung rasa bahagia itu sendirian, maka Davira akan menangis sebagai bentuk representasi rasa bahagianya. Dan yang terakhir, sebab gadis itu memendan amarah dan kekecewaan yang besar di dalam dirinya. Sebab itu ia akan menangis.     

"Jelaskan. Ada yang mengganggumu? Arka? Dia mengganggumu lagi?" Adam menebak asal. Mencoba menarik perhatian gadis yang masih kokoh dalam diamnya.     

"Aku akan memberinya pelajaran," imbuhnya mulai memutar langkah. Ingin berjalan menjauh dari Davira dan menghampiri remaja sialan yang dalam tebakannya sudah membuat sang kekasih kalaut begini.     

Akan tetapi langkah Adam terhenti kala Davira menarik pergelangan tangannya. Membuat remaja jangkung itu menoleh dan tegas menatap paras cantik milik Davira Faranisa.     

"Kita putus," ucap sang gadis lirih.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.