LUDUS & PRAGMA

121. Asa Baru



121. Asa Baru

0Rena berjalan ringan menyusur trotoar jalanan yang akan menghantarkannya masuk ke dalam halaman sekolah. Tinggal beberapa langkah lagi gadis itu sukses dinyatakan masuk ke halaman sekolah tepat lima belas menit sebelum bel masuk nyaring berbunyi. Tatapannya mengarah pada semua objek yang ada di depannya. Lalu lalang siswa dan siswi berseragan sama dengannya sudah tak asing lagi untuk gadis berambut pendek yang tegas berjalan sembari terus mengeggam tali tas punggung yang menggantung di sisi pundaknya. Sesekali mendesah kasar sebab jujur saja, Rena bosan dengan hidupnya yang itu-itu saja. Tak ada masa remaja yang indah nan menggairahkan layaknya teman sebaya. Hidupnya hanya berisi impian yang ia tau bahwa impian itu tak akan pernah bisa digapainya. Rena punya banyak impian sebelum ini, akan tetapi semuanya pupus. Bukan sebab ia tak mampu menggapainya, namun gadis itu tak mampu untuk mempertahankannya dari keegoisan kedua orang tua Rena. Hanya bersisa satu mimpi. Menjadi seorang pemusik handal yang terkenal. Mampu mencipta tak hanya sekadar menghibur saja. Sederhana memang mimpinya, namun siapa sangka kalau mimpi kecil miliknya itu akan menjadi sangat berat saat kedua orang tuanya tak mampu memberi restu.     

Langkah gadis itu terhenti kala sepasang lensa indah miliknya merekam pemandangan sedikit lain pagi ini. Rena selalu datang tepat 15 menit sebelum bel masuk berbunyi. Pemandangan ramai dan riuh serta cahaya sang surya yang sudah tegas menghantam bumi adalah pemandangan biasa untuknya. Akan tetapi, bertemu dan melihat Arka Aditya seorang diri di parkiran sekolah jam segini adalah pemandangan asing untuknya.     

Karena apa? Pertama, Arka selalu datang lebih pagi dari ini. Meskipun Rena belum lama bersekolah di tempat ini, namun setidaknya selama ia memulai hingga sekarang ini, Arka tak pernah terlihat di parkiran depan sekolah kalau jam sudah siang begini. Kedua, karena dia sendirian! Katanya, Arka selalu datang bersama sang sahabat. Menjemput Davira untuk datang ke sekolah bersama terkadang juga menghantar gadis itu untuk kembali ke rumahnya dengan selamat.     

Akan tetapi pagi ini sedikit lain. Dua kategori yang tak dipenuhi oleh Arka Aditya itu sukses membuat langkah Rena terhenti dan keningnya berkerut samar. Tegas menautkan kedua alis garis miliknya kemudian memberi tatapan untuk Arka Aditya yang kini melangkah menuju ke arahnya selepas melepas helm dan memastikan bahwa moge miliknya terparkir dengan benar.     

"Lo nungguin gue?" tanya Arka pada gadis yang masih diam sembari menatapnya aneh.     

Arka ikut terhenti. Sedikit memiringkan kepalanya sebab Rena sedikit aneh pagi ini. Biasanya ia akan tak acuh ketika bertemu dengan Arka di lorong sekolah. Enggan menoleh dan menyapa apalagi terhenti untuk menunggunya agar bisa berjalan bersama.     

"Lo nunggu gue rupanya," sambung remaja itu mengimbuhkan.     

Kini Rena bereaksi. Tersenyum seringai kemudian mulai melangkahkan kakinya untuk kembali berjalan. Remaja jangkung di sisinya mengekori. Ikut berjalan dengan langkah sedang menyusuri halaman sekolah untuk sampai ke depan kelasnya.     

"Tumben gak berangkat sama Davira?" Rena menginterupsi. Menatap sejenak remaja jangkung yang ada di sisinya kemudian kembali mengarahkan sorot lensa teduh miliknya menatap lorong sekolah yang kini menjadi akses utama mereka untuk bisa sampai ke dalam kelas masing-masing.     

"Davira udah pacar sekarang." Arka tertawa ringan dan singkat. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana panjang yang dikenakannya saat ini.     

"Terus? Lo gak boleh jemput dan nganter dia ke sekolah?" Rena ikut tertawa kecil. Sedikit lucu memang sistem persahabatan mereka berdua jikalau kalimat tanya yang dilontarkan Rena barusan itu benar adanya.     

Arka menaikkan kedua sisi bahunya. "Hari gue kesiangan bangunnya. Waktu gue datang ke rumah Davira katanya dia udah dijemput sama Adam," imbuhnya menerangkan singkat. Hanya mendapat anggukan kepala dari gadis berambut pendek dengan garis mata tajam yang menambahkan kesan cantik sedikit menyeramkan kalau memandang Rena dengan intim.     

"Jadi itu salah lo sendiri rupanya."     

"Davira biasanya akan nunggu gue kalau gue belum jemput. Dia akan menelepon dan bertanya kalau gue belum datang, tapi kali ini enggak." Arka mengimbuhkan. Dengan nada melirih membuat kalimatnya semakin terdengar samar untuk Rena.     

Ia menoleh. Menatap paras remaja yang sedikit lebih tinggi darinya itu. Remaja jangkung berponi naik itu memang sedang tersenyum tipis kali ini, akan tetapi senyuman itu bukan berasal dari dalam dirinya.     

"Jadi intinya lo dicampakkan setelah satu minggu Davira berpacaran dengan Adam?" tanya Rena terkekeh kecil. Melipat tangannya rapi di atas perut kemudian menyeringai sembari menghela napasnya.     

"Mungkin begitu."     

"Lo sendiri? Lo pernah suka sama orang?" Arka kembali membuka suaranya. Melirik Rena yang sejenak terdiam sembari menimang-nimang pertanyaan dari remaja jangkung di sisinya.     

Rena tersenyum singkat. Mengangkat bahunya dan menaikkan kedua alis garis miliknya. "Menyenangkan kah?" tanya gadis itu mengabaikan pertanyaan dari Arka Aditya.     

Arka menoleh. Memincingkan matanya sebab jujur saja, ia tak menyangka bahwa Rena Rahmawati akan memberikan jawaban seperti itu.     

"Kalau tak menyenangkan mengapa orang mau untuk jatuh cinta?" Arka membalas dengan kembali memberikan satu pertanyaan untuk gadis di sisinya."     

"Bagaimana caranya bisa jatuh cinta?" tanya Rena menatap remaja yang kini menghentikan langkahnya. Ikut menatap gadis yang baru saja melontarkan pertanyaan aneh padanya dengan tatapan polos nan menyebalkan.     

"Lo beneran gak pernah jatuh cinta?" tanya Arka menyela.     

Rena menganggukkan kepalanya. Mengerang ringan untuk memberi respon pada remaja yang ada di sisinya.     

"Bahkan sama kakak lo? Orang tua—"     

"Perasaan cinta semenyebalkan itu? Kalau rasanya sama dengan perasaan gue ke Kak Lita juga papa dan mama, maka itu sangat menyebalkan bukan menyenangkan." Rena menyahut. Memotong kalimat dari Arka dan kembali mengambil langkah untuk berjalan menyusuri lorong yang ada di depannya.     

"Rasanya lain. Rasa cinta kepada keluarga, teman, sahabat, dan kekasih semuanya lain. Tak bisa disamakan."     

"Mau gue ajarin?"     

Rena menolehkan kepalanya. Sejenak diam kemudian membulatkan matanya kala tersadar bahwa tatapan yang diberikan Arka untuknya lain tak seperti sebelumnya.     

"Maksud lo?"     

"Caranya mencintai, mau gue ajarin?" ulang Arka memberi tawaran. Tersenyum singkat kala gadis yang ada di depannya sejenak terhenti dan memberi tatapan sendu padanya.     

"Bercanda!" tukas remaja jangkung itu mengimbuhkan. Mengacak puncak kepala gadis yang ada di sisinya kemudian kembali melangkah. Meninggalkan Rena dengan segala umpatan yang keluar dari celah bibir tipis nan mungil miliknya.     

"Sekarang gue tahu kenapa Davira nyebut Lo sahabat baik yang kadang sialan," timpal Rena mulai melangkah. Kembali mengekori Arka yang memiliki arah juga tujuan sejalan dengannya.     

***LnP***     

Bel nyaring berbunyi. Menandakan bahwa inilah waktu yang tepat untuk memberikan segala fokus yang dimiliki guna menerima segala ilmu yang diajarkan oleh para guru tercinta. Jika seseorang mengajar kelas Davira hari ini, maka suasana tenang nan khidmat akan tercipta di dalam kelas. Namun, riuh adalah suasana yang sedang terjadi saat ini. Tidak ada guru yang datang mengajar sebab rapat guna melaksanakan ujian tengah semester.     

"Davina," panggil gadis yang baru saja meletakkan pantatnya di atas kursi pada gadis yang kini menoleh padanya selepas mematikan layar ponsel di dalam genggamannya. Menatap Davira dengan penuh pertanyaan sebab tak biasanya gadis itu datang menyambangi dirinya kalau jam kosong begini.     

Davina mendongak sejenak. Menatap ke arah kursi di barisan ketiga dari depan tempat Davira dan Arka biasa duduk.     

Arka tak ada di tempatnya saat ini. Tak mungkin sedang berada di ruang basket sebab ia diliburkan bersama timnya hingga ujian selesai dilaksanakan nanti. Ah, kamar mandi! Remaja itu masih meninggalkan Davira dan pergi keluar dari kelas.     

Davira pasti sedang bosan dan tak ingin sendirian saat ini. Untuk itu ia datang dan menyambangi tempat duduk Davina.     

"Lo lagi sibuk?" tanyanya sembari melirik ponsel yang kini diletakkan oleh tuannya di atas meja.     

"Gak terlalu. Cuma ada urusan les privat aja," sahutnya dengan nada lirih. Tersenyum ringan kemudian menatap Davira.     

"Ada masalah?" sambungnya kala menatap perubahan ekspresi gadis yang ada di depannya.     

Davira terdiam sejenak. Menatap gadis yang ada di sisinya kemudian menghela napasnya kasar.     

Sudah satu minggu berjalan. Hubungannya dengan Adam masih terbilang rahasia dengan Rena dan Arka lah yang menjadi orang terpilih untuk tahu perihal apa yang sedang terjadi pada Adam juga Davira.     

Davina? Tidak. Gadis itu belum mendapat pengakuan dari Davira Farasanisa sebab satu alasan pasti, yaitu Davina juga mencintai Adam Liandra Kin. Tak ingin menyayat dan menyakiti hati si teman dekat, itulah alasan mengapa Davira masih memilih bungkam dan tak mau memberi tahu Davina.     

Merahasiakan hubungannya dengan Adam Liandra Kin tentunya bukan kemauan dari sang remaja, namun kemauan dari Davira sebab ia belum terbiasa dengan keadaan dan status baru yang disandangnya. Adam adalah idola kaum hawa yang banyak diharapan kan hati dan perasaannya oleh para gadis-gadis sebaya usia bahkan dua tahun di atasnya sekali pun. Davira hanya tak ingin kalau dirinya terkena masalah besar sebab hal itu nantinya. Jadi, Davira memutuskan membuat perjanjian dengan Adam memalui telepon panjang yang mereka lakukan di malam penutup hari. Bahwa Davira ingin biarkan waktu saja yang membuka hubungan mereka di depan umum. Jangan memaksa dengan memberi tahu secara lisan kepada orang-orang di sekitarnya.     

"Ada yang mau gue omongin. Tapi gak sekarang," tukas Davira setelah sesaat diam tak bersuara.     

Gadis yang ada di sisinya tegas mengerutkan dahi. Menatap aneh gadis yang kini meletakkan kepalanya di atas meja. Menoleh padanya dan memberi tatapan sayu sedikit sendu sebab rasa bersalah ada menyelimuti dalam hatinya. Sampai kapan Davira Faranisa harus berdusta pada temannya sendiri?     

"Kenapa gak sekarang?" tanyanya menyela helaan napas gadis yang ada di sisinya.     

"Karena waktunya gak tepat."     

Davina tersenyum. Menganggukkan kepalanya samar untuk mencoba memahami maksud kalimat yang baru saja diucapkan oleh Davira untuknya. Dalam tebakan Davina, pastilah gadis itu ini mengakuinya sekarang. Pasal hubungan rahasianya dengan Adam, yang dalam tebakan Davira, ia belum mengetahuinya sama sekali.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.