LUDUS & PRAGMA

132. Harapan Tak Pasti Untuk Rasa Yang Pasti



132. Harapan Tak Pasti Untuk Rasa Yang Pasti

0Langkah dua pasang kaki jenjang bersepatu kets itu kini menelan. Tak secepat saat mereka datang dan menyambangi tempat yang akan selalu ramai kalau akhir pekan datang menyapa seperti ini. Adam dan Kayla Jovanka, bukan Davira Faranisa. Gadis bermata kucing yang mengiriminya pesan dan datang ke rumah Adam menggunakan taksi pagi-pagi buta dengan pakaian olahraga dan handuk kecil di atas pundaknya itu sukses membuat Adam tak mampu berkata juga memberi penolakan atas apa yang diinginkan oleh Kayla Jovanka.     

Lari pagi sembari menikmati sejuk bercampur dinginnya hawa pagi yang berembus bersama butiran embun yang membasahi permukaan rumput liat di sisi kanan dan kiri jalanan yang mereka lalui adalah hal yang diinginkan Kayla untuk bisa dilakukannya bersama Adam Liandra Kin.     

Apa boleh buat, kalau Kayla sudah datang ke rumahnya dan mengajak Adam dengan sedikit paksaan seperti itu, Adam tak bisa berbuat banyak. Hanya mampu berharap semoga Davira tak datang ke tempat ini hari ini. Tak melihat ia sedang berolahraga pagi bersama dengan gadis yang paling dibenci oleh kekasih hatinya itu.     

"Aduh!" erang Kayla kala tak sengaja ia menyandung batu yang ada di depannya. Tersungkur ke depan hingga membuat tubuh rampingnya ambruk ke depan. Membentur kasarnya aspal jalanan dan membuat luka gores ada di atas lutut kirinya sekarang ini.     

Adam sigap bereaksi. Mengulurkan tangannya untuk bisa meraih tubuh Kayla yang ada di sisinya. Membantu gadis itu untuk kembali berdiri dan menuntunnya ke tepian. Duduk di atas kursi sedikit panjang dengan Adam yang berjongkok di depan gadis itu.     

Kayla mengerang lirih kala panas juga perih dirasakannya sekarang ini. Sesekali mencoba untuk membungkuk dan meniup luka baru yang sudah berada di atas kulit putih nan bersih miliknya.     

"Kok bisa jatuh, sih? Lain kali hati-hati jalannya." Adam menggerutu. Bukan marah, namun lebih kepada rasa khawatir tentang apa yang terjadi pada gadis bermata kucing itu. Meskipun Kayla menyebalkan belakang ini, namun tetap saja. Bagi Adam Kayla adalah teman terbaik seperti layaknya Arka untuk Davira.     

"Karena ngeliatin lo terus," tukas Kayla meringis. Ingin tersenyum namun ia tak terbiasa menahan rasa sakit dan perih juga panas sebab luka di atas permukaan lututnya.     

"Ck, bukan saatnya bercanda." Remaja jangkung yang begitu tampan nan keren menggunakan hoodie hitam tipis berlengan pendek itu kini memprotes. Sejenak mendongakkan wajahnya untuk menatap Kayla yang hanya tersenyum miris.     

"Gue gak bercanda," paparnya melirih.     

"Tunggu sebentar, gue coba cari handsaplast dulu." Adam kini bangkit. Tanpa menunggu persetujuan dari Kayla ia melenggang pergi. Meninggalkan gadis yang masih diam sembari menatap perubahan ekspresi wajah Adam yang entah mengapa amat sangat ia rindukan. Selepas Adam mengatakan pada Kayla bahwa ia menyukai Davira, remaja jangkung itu tak pernah sedikitpun mau kembali menaruh perhatiannya pada Kayla. Semua hanya tentang Davira. Kayla adalah teman terbuang yang akan dibutuhkan kalau harapan dalam doa Adam sedang tak sesuai dengan apa yang menjadi kenyataan dan faktanya. Singkatnya, Adam akan datang pada Kayla kalau dirinya sedang merasa gundah dan gelisah. Sedih sebab Davira tak kunjung mau datang juga membalas perasaannya dulu.     

Gadis itu kini mulai menelisik setiap bagian tempat yang disambanginya bersama Adam satu jam lalu. Jikalau Adam berharap tak ada Davira Faranisa, maka gadis bermata kucing itu berharap Davira akan muncul dan melihatnya sedang bersama Adam sekarang ini. Dengan begitu, Davira akan marah dan merusak segala hubungan baik yang terjalin di antara mereka saat ini.     

Bingo! Kayla mendapatkan targetnya! Sesuai dugaan gadis itu sebelum memutuskan datang dan menemui Adam di rumahnya pagi-pagi buta. Kayla datang dan mengajak Adam kemari sebab ini adalah rencana awalnya untuk menghancurkan segala hubungan baik yang dimiliki Adam bersama Davira.     

Gadis itu berjalan ringan bersama sang sahabat, Arka Aditya. Berbincang ringan dengan sesekali saling melempar senyuman satu sama lain.     

"Kayla, gue dapat obatnya!" Adam menyela. Memaksa fokus Kayla yang baru saja ingin membidik kedatangan Davira juga Arka untuk tertuju pada Adam Liandra Kin.     

"Dapat dari mana?" tanya Kayla berbasa-basi.     

Adam menujuk jauh ke belakang. Entah di mana letak pastinya, dengan napas terengah-engah sebab lari yang diciptakan sebelum sampai kembali ke hadapan Kayla, Adam hanya mengatakan bahwa ia meminjam dari pemilik ruko yang ada di ujung sana. Katanya juga, Adam akan mengembalikannya kalau sudah selesai menggunakan dan mengobati luka milik Kayla Jovanka.     

"Siniin kakinya," ucap Adam berjongkok. Menarik perlahan kaki milik Kayla agar bisa berposisi lurus dan nyaman untuk Adam memulai mengobati.     

Kayla tersenyum ringan. Sejenak menatap paras Adam yang kini mulai intens mengobati luka yang ada di atas lutut kakinya. Meskipun rasa sakit dan perih dirasa, namun akan ada hati yang merasakan hal yang sama. Hati milik Davira Faranisa.     

Sepersekian detik berlalu. Selepas menempelkan plester luka di atas lutut Kayla, Adam berniat untuk berdiri. Mengulurkan tangannya dan memberi bala bantuan bagi Kayla untuk bisa berjalan dan kembali ke rumah sebab tak akan mungkin mereka melanjutkan larinya dalam kondisi kaki yang setengah pincang seperti itu.     

Kayla menerima uluran tangan Adam. Menatap paras remaja yang masih fokus menatap luka miliknya. Sigap tangan gadis itu meraih pinggang milik Adam Liandra Kin. Memeluknya hangat sembari menatap Davira yang kini mulai berjalan mendekat ke arahnya.     

"Kay! Apa yang lo—"     

"Sebentar aja. Setidaknya, anggap ini sebagai rasa terimakasih karena sudah mengobati luka gue." Kayla menyela. Berbisik pada Adam yang kini mulai melunak.     

Kayla kini semakin mendekap erat tubuh jangkung Adam Liandra Kin seiring dengan langkah Davira yang semakin tegas mendekat padanya.     

Kayla tersenyum miring kala gadis yang dituju kini menoleh dan menatap apa yang ada di depannya. Sebuah pemandangan yang benar menyayat hati Davira. Melihat sang kekasih sedang berpelukan dengan gadis lain adalah hal yang paling menyakitkan untuk Davira sekarang ini.     

"Adam!" teriak Davira sukses membuat remaja jangkung berhodie hitam itu menoleh. Sigap melepas pelukan Kayla dan memutar tubuhnya.     

"D--davira?"     

"Kita pergi dari sini." Davira mengabaikan. Menatap Arka yang berdiri di sisinya sembari sejenak melirik ke arah remaja jangkung yang mulai mengambil langkah untuk mendekat padanya.     

Fokus lensa remaja itu kini tegas menatap mata indah milik Davira yang mulai berbinar. Membendung air mata sebab hatinya terasa sangat sakit saat ini.     

Davira pergi. Memutar langkahnya dan mempercepat irama langkah kaki yang diambil dengan harapan Adam tak mampu merengkuh tubuh mungilnya saat ini.     

Akan tetapi naas! Davira lupa bahwa Adam Liandra Kin adalah pemilik kaki jenjang dengan langkah lebar yang bisa mengejarnya dengan mudah. Dalam posisi yang sedikit jauh dari Arka juga Kayla, remaja itu menarik tangan Davira. Membuat sang gadis tercinta berhenti dan memutar paksa tubuhnya agar bisa menatap Adam dengan benar.     

"Aku bisa jelasin," tukasnya tak mau banyak berbasa-basi. Dari raut wajah Davira pagi ini saja, Adam bisa menebak bahwa hanya ada amarah di dalam hati gadis itu sekarang ini.     

"Tadi Kayla jatuh dan aku nolong dia. Aku bantu dia berdiri tapi tiba-tiba dia peluk aku dan bilang kalau dia—"     

"Kenapa kamu bisa datang ke sini bersama Kayla?" Davira memotong. Membuat Adam terdiam sebab ia melewatkan sesuatu kali ini.     

"Karena dia datang ke rumah dan mengajak aku untuk—"     

"Aku meneleponnya pagi ini. Ingin mengajak berlari bersama dan kamu gak mengangkatnya."     

Genggaman tangan Adam yang kuat mencengkram pergelangan tangan Davira kini melunak. Menatap Davira yang kini mulai menoleh dan memalingkan wajahnya. Menelan salivanya berat sebab Adam yakin bahwa Davira sedang menahan air matanya.     

"Ponsel aku ...." Adam menghentikan sejenak kalimatnya.     

"Ada di dalam tasnya Kayla. Aku gak bawa baju dengan kantong yang—"     

"Cukup. Aku sudah cukup mendengar apa yang menjadi pertanyaan dalam otakku tadi. Selebihnya tidak ada," ucap Davira kembali memutar langkahnya. Berniat untuk berjalan dan menjauh dari Adam Liandra Kin. Akan tetapi, Adam kembali menarik pergelangan tangan Davira. Memaksa gadis itu untuk tak pergi dan menjauh sebelum kesalahpahaman ini selesai.     

"Aku serius dengan bilang Kayla yang mengajak aku ke sini. Dia datang ke rumah pagi-pagi buta dan aku gak kepikiran kalau kamu akan telepon aku untuk mengajak aku ke sini!" sentak Adam meninggikan nada bicaranya. Ia hanya ingin Davira mendengar segala keluh kesahnya sekarang.     

"Karena biasanya kamu datang bersama Arka," sambungnya melirih.     

Davira menyeringai. "Bukankah kamu sendiri yang bilang, kamu adalah pacarku sekarang. Bukan Arka," sahut gadis itu memprotes. Menghela napasnya kasar kemudian menganggukkan kepalanya mengerti.     

"Kamu masih terbiasa pergi dengan Kayla? Kalau begitu pergi dan pacaran sama dia aja!" bentak Davira sukses membuat Adam sejenak membulatkan matanya.     

"Aku muak dengan kalian berdua." Davira menutup kalimatnya dengan tegas. Kini melepas kasar genggaman Adam dan benar melangkah untuk meninggalkan remaja itu di tempatnya.     

Adam terdiam sejenak. Menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya kasar. "Bagaimana dengan kamu dan Arka? Bukankah kita sama sekarang?" Adam menyela. Sukses membuat langkah kaki Davira terhenti kalo ini.     

"Apa bedanya aku dan Kayla dengan kalian?"     

Davira memutar tubuhnya. "Kayla mencintaimu," tutur Davira melirih.     

"Dan Arka juga mencintaimu." Adam menimpali. Melangkah mendekat pada gadis yang kini menundukkan wajahnya. Menurunkan pandangannya untuk sejenak menatap ujung sepatu miliknya.     

"Kamu pergi dengan Arka dan aku tidak mempermasalahkan itu. Kenapa sekarang—"     

"Kamu memeluknya, sialan!" Davira kembali meninggikan nada bicaranya. Menatap Adam yang benar-benar bungkam kala Davira mengumpat ke arahnya.     

"Sejak kita menjadi sepasang kekasih, aku menjaga jarak dengan Arka sebab aku tak ingin kalian bertengkar dan salah paham. Aku tak ingin menyakiti hati siapapun. Hingga Arka menganggap bahwa aku berusaha menghindar darinya dan berubah menjadi Davira yang lain." Gadis berambut panjang yang diikat menjadi satu di belakang kepalanya itu sejenak menghentikan kalimatnya. Menghela napasnya kemudian kembali menatap Adam Liandra Kin.     

"Dia mengira aku sudah melupakan persahabatan kita padahal aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuk kalian. Tapi nyatanya aku adalah gadis bodoh yang tak pantas berada di dalam posisi seperti ini. Aku salah menilai keadaan yang terjadi." Davira memungkaskan kalimatnya. Menyeka air mata yang turun dengan kasar.     

"Aku muak dengan kalian," paparnya memutar langkah. Pergi menjauh dari Adam yang terdiam membisu juga tak mampu berucap apapun lagi sekarang ini.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.