LUDUS & PRAGMA

129. Mari Berbicara Pasal Kita.



129. Mari Berbicara Pasal Kita.

0Davira menatap kepulan asap yang samar mengudara untuk melelehkan gumpalan lembut berwarna ungu pekat yang di dalam bayangan gadis itu pastilah rasa manis bercampur dingin akan datang di dalam mulutnya kala ia mencicipi gelato yang diberikan oleh sang kekasih beberapa menit lalu. Selepas pertemuannya dengan Adam di sisi lapangan sekolah, Adam tak banyak berkata pada Davira. Kata remaja itu untuk menutup pertemuan mereka hanya meminta pada sang gadis tercinta untuk menunggunya di sisi bangunan sekolah selepas pulang sekolah nanti. Ada yang ingin Adam bicarakan, akan tetapi lingkungan sekolah bukan tempat yang tepat sebab ramai dan akan banyak mata memandang juga telinga yang menguping adalah resikonya nanti.     

Kedai es krim yang sedikit jauh tempatnya dari sekolah adalah persinggahan yang dipilih oleh Adam untuk berbincang ringan dengan sang kekasih ditemani dua cone gelato yang berjajar saling hadap di atas meja kaca sekat duduk antara remaja jangkung berponi belah tengah itu dengan sang kekasih.     

"Makan gelato-nya. Keburu mencair," tukas remaja itu menyela keheningan kala Davira hanya diam sembari terus menatap gelato yang ada di depannya. Sepertinya sore ini, gelato lebih menarik dari paras tampan sang kekasih.     

"Kamu marah sebab kemarin malam aku tak memberi kabar?" sambung Adam mengimbuhkan.     

Davira menggeleng ringan. Perlahan menaikkan tatapannya untuk bisa menatap paras sang kekasih yang masih diam sembari menaruh pengharapan pada sang gadis untuk segera memberikan jawaban pasti untuknya.     

"Maaf," lirih Davira menjawab.     

Adam sejenak mengernyitkan dahinya tak mengerti. Selepas menurunkan Davira dan menuntun langkah gadis itu untuk masuk ke dalam kedai es krim juga membuatnya menunggu sebab Adam ingin memesan, Davira tak mengatakan apapun bahkan tak melakukan hal yang aneh juga membuatnya tak enak hati. Permintaan maaf gadis itu sekarang ini, untuk apa?     

"Karena belum bisa memberikan apa yang kamu minta."     

Adam tersenyum. "Memangnya apa yang aku meminta apa?"     

Davira menghela napasnya. Ditatapnya si kekasih yang kini mengembangkan senyum kuda di atas paras tampan miliknya. Davira tahu, Adam sedang mencoba menyembunyikan kekecewaannya kali ini. Pasal Davira yang masih menolak untuk memberitahukan hubungan mereka pada khalayak umum.     

"Soal memberi tahukan—"     

"Aku datang ke sini bukan untuk membicarakan itu lagi. Nikmati sorenya dan gelato yang aku beliin. Katanya kalau makan gelato dengan sang kekasih, rasanya akan beda." Adam menyela. Memotong kalimat gadis yang kini mengubah raut wajah miliknya. Menatap Adam yang kini tersenyum kuda sembari mencondongkan badannya ke depan untuk bisa mengusap puncak kepala Davira.     

"Akan lebih enak," sambungnya mengimbuhkan. Membuat Davira kini tersenyum ringan mengimbangi aktivitas yang dilakukan oleh Adam.     

Davira kini meraih sendok yang ada di sisinya. Mulai memasukkan satu persatu suap gelato yang kini tegas menyentuh permukaan lidahnya. Benar! Gelato ini sangat manis dan dingin. Sukses meningkatkan suasana hatinya sore ini. Ditambah lagi dengan pemandangan paras tampan yang bisa dilihatnya dengan jelas sebab Adam duduk di depannya sembari memakan gelato dengan warna serupa seperti milik Davira Faranisa.     

Semesta setidaknya sedang baik pada Davira hari ini. Membuatnya menjadi gadis yang bisa bahagia sebelum hari ditutup dengan datangnya langit gelap diiringi kerikan jangkrik yang jelas memecah keheningan. Davira kini paham, bahwa Adam masih mencoba untuk menyesuaikan keadaan yang benar-benar baru untuknya.     

Adam Liandra Kin pernah berbagi ceritanya melalui panggilan suara berdurasi panjang yang kini menjadi rutinitas keduanya sebelum memaksa kedua mata untuk terpejam guna menyambut hari esok pagi. Dalam panggilan itu, Adam mengatakan bahwa kencan yang dilakukannya bersama Davira benar-benar berbeda dengan kencan buta yang sering dilakukannya sebelum ini. Biasanya, Adam akan memilih kafe mewah dengan musik Ballad atau jazz yang memecah keheningan kadang memekakkan telinga. Dengan lampu remang dan pendingin ruangan yang tegas menyala untuk menyaingi hawa dingin udara malam.     

Alih-alih memilih suasana khidmat seperti itu, Davira lebih memilih kencan dengan berjalan-jalan di pameran, pasar minggu, atau sekarang duduk di kafe murahan tepi jalan untuk mengisi perut mereka. Bukannya Davira adalah gadis hemat yang sedang belajar menabung, namun Davira lebih nyaman tempat seperti itu ketimbang harus terlarut dalam situasi formal dan Canggung yang menyebalkan.     

"Ngomong-ngomong Arka adalah pacarnya Rena?" tanya Adam menyela. Sukses membuat Davira mendongak dan menaikkan pandangannya untuk menatap paras sang kekasih.     

Pertanyaan yang sedikit mengejutkan lolos dari celah bibir Adam Liandra Kin sore ini. Bahkan, Davira sendiri pun belum sempat untuk memikirkan pasal Arka juga Rena sekarang ini.     

"Melihat Arka menyelamatkan Rena dari sang kakak, melihat Arka membantu Rena beberapa hari lalu, dan berjalan bersamanya. Mengobrol akrab dengan Rena dan tadi, dia menenangkan Rena yang—"     

"Kamu ngikutin Arka kemana pun dia pergi?" kekeh Davira menyela. Sukses membuat Adam bungkam sejenak sembari membulatkan matanya sempurna.     

"Kamu bisa tahu segala yang dilakukan Arka. Bahkan aku yang teman sebangku sekaligus sahabatnya aja—"     

"Kamu masih duduk satu meja dengan Arka?" sela Adam meninggikan nada bicaranya. Bukan marah dan menyentak, namun lebih terkesan terkejut dan tak mampu menerima keadaan yang sedang terjadi saat ini. Semenjak Davira menjadi kekasihnya, ada satu hal yang diminta oleh remaja itu pada sang kekasih. Belum kepercayaan seutuhnya, namun hanya pasal tempat duduk yang dipilih oleh Davira kalau mengikuti pembelajaran yang sedang berlangsung. Adam ingin Davira pindah tempat.     

Davira mengangguk ringan. Tersenyum tipis sembari mengerang untuk mengiyakan pertanyaan dari sang kekasih. Tawa ia sembunyikan di dalam dirinya saat ini sebab perubahan ekspresi paras sang kekasih benar-benar lucu dan menggemaskan.     

"Aku udah bilang untuk pindah 'kan?" rengek Adam sembari menggoyangkan tubuhnya bak seorang bocah minta jajan permen manis pada sang mama.     

"Aku gak mungkin bisa pindah hanya sebab kita jadian," ucap gadis itu sembari tertawa ringan. Sukses menyita perhatian Adam yang kini fokus menyorotkan lensa tajam bak elang yang sedang membidik untuk benar menelisik perubahan ekspresi paras cantik milik Davira. Senyum dan tawa ringan itu, Adam menyukainya.     

"Haruskah aku bikin masalah sama dia?" bisik Adam lagi-lagi membuat tawa ada di dalam diri gadis cantik di depannya.     

"Lagian kita cuma duduk dan belajar bareng. Gak lebih," sahut Davira mempersingkat.     

Adam diam. Melipat bibirnya masuk ke dalam dan menghela napasnya kasar. Meskipun ia ingin sekali memisahkan Arka juga Davira saat ini, namun tetap saja ia tak akan pernah bisa melakukannya.     

"Jawab pertanyaan aku yang tadi. Rena pacarnya Arka?" ulang remaja berponi belah tengah yang kini mencondongkan badannya untuk mendekat pada Davira.     

"Kenapa kamu penasaran banget sama itu?" Davira membalas. Membuat remaja yang ada di depannya kini terdiam.     

"Sebegitu khawatirnya kamu kalau Arka bakalan merebut aku dari kamu?" tanya Davira kala Adam hanya diam. Membungkam mulutnya saat pertanyaan yang dilontarkannya teruntuk sang gadis tak akan mendapat jawaban yang bisa memuaskan hatinya saat ini.     

"Hm. Sangat khawatir."     

"Dia hanya bisa merebut aku dari kamu, kalau aku yang menginginkannya. Untuk sekarang, aku tak menginginkan itu. Aku bahagia dengan pasanganku yang sekarang," tukas Davira menutup kalimatnya dengan senyum manis. Mencoba untuk memberi pengertian pada rasa takut yang dimiliki oleh Adam teruntuk dirinya saat ini.     

Kekhawatiran dan ketakutan yang dirasakan oleh Adam memang berdasar dengan jelas dan tegas. Ia takut Arka akan merebut Davira dari Adam. Davira sempat mengatakan bahwa Arka adalah pengganti sang papa yang sudah mati dalam hatinya. Davira menyayangi Arka lebih dari dirinya menyayangi dirinya sendiri. Gadis bermata bulat yang amat indah kalau menatap lawan bicaranya itu tak ingin kehilangan remaja yang sudah lama menjabat sebagai sahabatnya itu. Apapun alasannya, Davira ingin terus bisa menatap dan melihat Arka secara fisik. Memastikan bahwa remaja itu baik-baik saja tak terluka juga tak sedang duka sebab malapetaka yang melanda.     

Mendengar itu semua, Adam tak mampu banyak menyanggah. Mendapat hati Davira bukanlah sebuah kemenangan atas apa yang diperjuangkannya sebelum ini. Meskipun raga seutuhnya adalah milik Adam, namun remaja itu hanya bisa mendapatkan secuil rasa yang dimiliki oleh gadis berparas cantik itu.     

Memprotes? Adam ingin memprotes dengan mengagungkan keserakahannya untuk mendapat segala rasa milik sang gadis? Tentu! Dalam benar yang terdalam milik remaja jangkung itu, ia ingin Davira hanya menatapnya seorang. Menganggapnya tak hanya sebagai laki-laki idaman atau pacar laki-laki yang amat dirindukan dalam setiap malam penghujung haru. Namun Adam ingin Davira juga bisa melihatnya sebagai seorang remaja laki-laki yang bisa diandalkan dan menjadi orang pertama yang didatanginya kala Davira sedang berada dalam masalah.     

Ya, Adam seserakah itu dalam meminta. Tak cukup hanya rasa dan raga, Adam ingin seutuhnya.     

"Bagaimana jika Arka melakukannya dengan paksa dan kamu tak menyadari itu?" Adam kembali membuka suaranya. Menatap gadis yang baru saja menghentikan aktivitasnya untuk menyendok gelato yang ada di depannya. Mendongakkan paras cantik miliknya untuk menatap sang kekasih.     

Davira bungkam. Sedikit tak mengerti dengan apa yang ditanyakan oleh remaja di depannya itu.     

"Maksudku, gak ada yang tahu kita di masa depan 'kan? Kita bahkan tak tahu, besok hati kita akan berlabuh kemana atau ke siapa. Bukankah begitu?" tanya Adam mengimbuhkan.     

Davira mengangguk. "Kamu percaya takdir?" tukas gadis itu ikut melontarkan pertanyaan yang mengganjal dalam hatinya saat ini.     

Adam mengangguk. "Kita adalah manusia. Harapan terbaik dalam doa adalah dengan menyebutkan takdir baik."     

Gadis yang ada di depannya tersenyum ringan. Sejenak menatap Adam kemudian kembali menurunkan pandangannya menatap gelato yang kini mulai mencair.     

"Lalu kamu sebut apa untuk takdir kita sekarang ini?" tanya Davira mulai berkelit.     

"Takdir baik," sahut Adam tegas.     

Davira kini kembali menaikkan pandangannya. Semakin tegas mengembangkan senyum di atas paras cantiknya kemudian meletakkan sendok yang ada di dalam genggamannya. Melipat rapi kedua tangan di atas meja kemudian mencondongkan badannya untuk mendekat ke arah Adam Liandra Kin.     

"Hanya karena kita sedang tertawa bersama hari ini?"     

Remaja di depannya bungkam. Tak berusaha atau membuka mulutnya sedikitpun saat ini.     

"Bagiku takdir adalah kata konyol yang lahir di dunia. Sebab semua manusia akan berakhir dengan cara yang sama."     

"Pernah mendengar kematian yang membahagiakan?" sambungnya menutup kalimat. Membuat Adam kini mulai mengerti cara dan pola berpikir gadis yang ada di depannya itu.     

Davira ... egois.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.