LUDUS & PRAGMA

125. Bahasa Netra



125. Bahasa Netra

0Petang membentang. Menemani suasana indah nan romantis yang tercipta kala Davira memutuskan sebuah tempat yang dibangun di tengah kota menjadi tempat persinggahan mereka selepas lama menyusuri jalanan yang ada. Adam terus saja memberi tatapan teduhnya pada sang gadis, meskipun ini bukan kencan pertama mereka sebab mengingat sudah hampir lebih dari satu minggu keduanya memadukan kasih dan sayang namun tetap saja, Adam Liandra Kin masih belum bisa benar percaya bahwa ia duduk di depan Davira sebagai seorang kekasih yang sedang menemani dan menunggui kekasih hatinya untuk menyelesaikan makan dan mengisi perutnya. Sebelum ini, mereka berjalan-jalan menyambangi segala bangunan ruko yang ada di dalam mal besar tempat biasa Davira datang bersama Arka dulu. Bermain, berbelanja, dan membeli makanan ringan juga menonton film bersama. Duduk sejajar dan berhimpit dengan tangan Adam yang kuat menggenggam jari jemari milik Davira. Sederhana. Tak seperti kencan yang ia lakukan dengan gadis-gadisnya sebelum ini, akan tetapi kencan yang dilakukannya bersama Davira Faranisa benar-benar terasa begitu indah dan istimewa.     

Adam Kini tersenyum ringan kala Davira menyelesaikan suapan terakhir masuk ke dalam mulutnya. Mengunyahnya dengan kasar kemudian menarik gelas berisi es teh manis dengan satu potongan kecil jeruk yang menghiasi di atas mulut gelas. Meneguknya habis kemudian mendongakkan pandangannya untuk menatap Adam Liandra Kin.     

"Sudah selesai makannya?" tanya Adam lirih. Semakin tegas mengembangkan senyum manis di atas paras tampannya untuk gadis yang hanya mengerang ringan.     

"Kenapa kamu gak makan?" Davira menimpali. Mendorong piring kosong di depannya agar memberi celah ruang bagi gadis itu untuk melipat rapi tangannya di atas meja. Fokus menatap paras Adam yang kini memudarkan senyum di atas paras tampannya.     

"Kamu membeli ini itu di dalam mal tadi dan gak menghabiskan semuanya. Aku harus memakan semuanya sebab sayang kalau dibuang. Aku kenyang karena itu," Gerutu Adam merengek manja di bagian akhir kalimatnya. Sukses membuat Davira tertawa ringan nan singkat.     

Hari demi hari dilewati bersama gadis yang terus saja mengajak Adam berkencan kalau bel pulang sekolah berbunyi nyari dengan mengirimi remaja itu sebuah pesan singkat. Katanya dalam beralasan, Davira bosan di rumah. Jadi, ia mengajak Adam selaku kekasih baru untuk keluar dan menikmati suasana sore juga petang yang indah. Semakin hari, Adam semakin mengenal segala kebiasaan aneh milik gadis yang sukses mencuri hatinya itu.     

Pertama, Davira membeli sesuatu bukan sebab ia butuh. Namun, sebab ia ingin. Ketika ia sudah tak menginginkannya lagi maka gadis itu akan memberikannya pada orang lain.     

Kedua, Davira bukan gadis yang tak mampu mengenal dunia luar. Ia adalah gadis yang pandai menikmati suasana dan menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang. Dalam setiap jawaban atas pertanyaan Adam mengapa Davira begitu pandai menikmati segalanya, gadis itu selalu menjawab dengan menyertakan nama sang sahabat. Kata Davira Arka lah yang sudah banyak mengajarinya juga Davira sering menghabiskan waktunya bersama Arka Aditya dulu.     

"Lain kali biar aku yang traktir kamu." Adam kembali menimpali. Menatap gadis yang kini membulatkan matanya sejenak. Jikalau diingat dengan benar, setiap Adam dan Davira pergi menghabiskan waktunya bersama. Makan ringan bahkan terkadang makan bersama seperti ini, Davira lah yang membayar. Dalam pembelaan gadis itu, ia berkata bahwa Davira yang sudah mengajak dan merepotkan Adam untuk menemaninya keluar sore hari hingga malam menjelang datang. Jadi, tak apa. Tak masalah.     

"Kamu bisa metraktirku lain kali. Aku akan mengijinkannya," kekeh Davira menyela. Membuat remaja yang ada di depannya ikut tertawa.     

"Oh iya, aku ada hadiah untuk kamu." Davira kembali menginterupsi. Sigap tangannya terulur dan menarik tas selempang berukuran sedang yang ada di sudut meja. Memasukkan tangan kemudian mulai mencari sesuatu di dalam sana.     

"Tara~" tukas gadis bermata bulat dengan sepasang alis indah yang melengkung bak bulan sabit di langit malam itu dengan nada antusias. Senyum tegas merekah menghias paras cantik jelita miliknya. Ekspresi wajah Davira terlihat benar-benar bahagia sekarang ini. Membuat Adam lagi-lagi jatuh hati padanya.     

"Tadinya aku ingin membelikan kamu kemeja atau sepatu. Tapi, aku rasa ini lebih cocok untuk kamu." Davira menjelaskan. Menyodorkan kotak kecil berwarna hitam pada Adam.     

Remaja jangkung yang begitu terlihat tampan dan mempesona dengan kemeja polos berwarna biru muda yang dilipat seperempat lengan itu kini mengulurkan. Sejenak menatap Davira yang memberi isyarat padanya untuk segera mengambil dan membuka kotaknya.     

"Jam tangan?" tanya Adam menebak.     

Davira mengangguk. "Buka aja. Aku harap kamu suka."     

Adam Liandra Kin kini tersenyum. Mengangguk-anggukkan kepalanya sembari mengerang ringan. Perlahan membuka kotak untuk melihat bagaimana bentuk dan rupa jam tangan yang dipilihkan oleh kekasihnya.     

"Gimana? Suka?" tanya Davira kala Adam sukses membuka kotak yang ada di dalam genggamannya. Menatap Davira kemudian mengangguk.     

"Sangat suka," katanya melirih. Mengambil benda dengan bentuk bulat sempurna yang terlihat begitu sederhana namun terkesan elegan. Warna hitam pekat mendominasi dengan garis lengkung lingkaran berwarna emas yang indah. Di dalam bulatan kecil itu hanya ada angka yang menyusuri setiap lengkungan jam tangan. Sepasang jarum yang berdetak seiring dengan berjalannya waktu melengkapi komponen benda kecil nan indah pemberian dari kekasihnya.     

"Ngomong-ngomong soal Kak Lita ...." Davira kini kembali menyela. Nama singkat yang diucapkan oleh gadisnya itu sukses membuat Adam mendongak selepas mengalihkan pandangannya untuk mencoba jam tangan pemberian dari Davira.     

"Kak Lita? Kenapa tiba-tiba ngomongin dia?" tanya Adam menyela. Kembali meletakkan jam tangan yang ada di dalam genggamannya di dalam kotak dan menyorotkan lensa mata elangnya untuk menatap paras cantik Davira.     

"Dia gangguin kamu lagi?"     

Davira menggelengkan kepalanya cepat. "Dia bahkan gak pernah gangguin aku sekali pun."     

"Terus kenapa tanya tentang dia tiba-tiba? Ada masalah?" timpal remaja berponi belah tengah itu kala gadis yang ada di depannya melirih. Raut paras cantik Davira seakan mengisyaratkan padanya bahwa gadis itu sedang menyembunyikan sesuatu saat ini.     

"Gimana sebenarnya sifat Kak Lita itu?" ucap Davira bertanya pada pointnya. Tak ingin banyak berbasa-basi pada remaja yang ada di depannya saat ini.     

Adam bungkam. Menatap dan mencoba menelisik arti tatapan yang ditujukan padanya oleh Davira. Gadis itu tak sedang dalam masalah saat ini. Menjalin hubungan dengan Davira memang belum lama, namun Adam adalah si pemerhati yang baik. Ia mulai mengenal Davira tak hanya secara fisik saja. Namun arti tatapan, senyum, gaya bicara, dan cara gadis itu bercakap saja Adam sudah mampu menebaknya sekarang ini. Mempertanyakan soal Lalita Rahmawati dengan tatapan begitu, Davira sedang menyembunyikan sesuatu. Ada yang mengganjal dalam benak gadis itu saat ini. Namun, yang mengganjal itu bukan pasal hidupnya. Akan tetapi pasal hidup seseorang yang sedang dekat padanya. Ya! Singkatnya, Davira sedang mengkhawatirkan orang lain saat ini.     

Jikalau Davira bertanya pasal Lalita Rahmawati, pasti hanya satu objek yang mendapat kekhawatiran penuh darinya. Yaitu Rena Rahmawati.     

"Maksud aku ... Kak Lita itu—"     

"Dia sedikit lain dari kebanyakan gadis yang kukenal. Namun, dia sedikit sama dengan sifat seseorang yang sedang dekat denganku." Adam memulai membuka suaranya. Mengeluarkan kalimat ambigu yang sukses membuat Davira samar mengerutkan dahinya tak mengerti.     

"Orang yang dekat dengan kamu? Siapa?"     

"Davira Faranisa," timpal remaja itu tegas.     

Davira kini mengerutkan dahinya tegas. Samar alisnya bertaut dan ujung sepasang mata bulatnya kini tajam berkerut. Mengapa Lalita yang bahkan asing untuk Davira bisa menjadi sama di mata Adam Liandra Kin?     

"Dia adalah gadis yang pandai menyimpan semuanya sendirian. Menipu orang lain dengan sikap tenang dan baik-baik saja seolah tak terjadi apapun sekarang ini." Adam berucap. Kini mulai membuat ekspresi gadis yang ada di depannya melunak.     

"Kamu pun begitu," pungkas remaja itu menutup kalimatnya.     

"Hanya itu?" tanya Davira menimpali. Membuat Adam menganggukkan kepala ringan sembari tersenyum aneh.     

"Ada apa memangnya?"     

Gadis yang ada di depannya kini menggeleng ringan. "Hanya tanya," paparnya menutup kalimat dengan nada lirih. Lagi-lagi tersenyum aneh untuk menutup topik pembicaraan keduanya kali ini.     

"Boleh giliran aku yang bertanya?"     

Davira mengangguk. "Silakan."     

"Soal hubungan kita ...." Adam menghentikan sejenak kalimatnya. Menyentralkan fokus lensa pekat miliknya untuk menatap dengan benar sang kekasih hati.     

"Aku ingin semua orang mengetahuinya sekarang. Kamu keberatan?" sambungnya sedikit melirih. Jujur saja, Adam tak kuasa dan akan merasa bersalah jikalau kalimat itu nantinya bisa menyinggung hati sang kekasih. Adam ingin melanggar kesepakatan di antara keduanya saat ini.     

Davira diam. Memalingkan wajahnya sejenak sembari berat mengulum salivanya. Menghela napasnya ringan kemudian kembali menatap Adam yang tegas menunggu jawaban darinya     

"Kamu bilang waktu yang akan mengungkapnya. Jadi kita hanya perlu menunggu saja. Tapi bagaimana jikalau kenyataannya waktulah yang menunggu kita untuk melakukannya sendiri?" Adam mengimbuhkan. Sesegera mungkin memberi tambahan penjelasan agar Davira tak salah paham sebab kalimatnya barusan itu.     

"K--kenapa kamu tiba-tiba mau mengubah kesepakatan? Bukankah hal yang terpenting adalah kita sendiri? Orang lain tak perlu tahu dengan apa yang—" Davira menghentikan kalimatnya sendiri kala menatap perubahan ekspresi wajah milik Adam Liandra Kin. Menundukkan wajahnya sejenak kemudian menghela napasnya kasar. Tiba-tiba saja hatinya merasa tak enak dan mood-nya hancur begitu saja.     

"Kenapa kamu ingin kita melakukannya sekarang?" tanya Davira dengan nada lembut. Tak setinggi dan tak secepat sebelumnya.     

"Karena aku merasa ... karena kita harus melakukannya."     

"Karena Arka?" tanya Davira menelisik. Mencoba untuk memahami apa kiranya yang sedang ada dan bersarang di dalam pikiran remaja jangkung di depannya itu.     

"Karena khawatir tentang Arka?" ulangnya dengan penuh penegasan.     

Adam kini mengangguk. "Semua orang masih mengira kamu adalah pacarnya Arka, bukan Adam. Mereka mendukung bahkan akan menjodohkan kalian di pasangan putera-puteri untuk ulang tahun sekolah nanti. Aku mengkhawatirkannya."     

Davira tersenyum ringan. "Bukankah kamu yang lebih mengenal aku dan Arka ketimbang mereka? Kenapa harus memikirkan perkataan orang lain? Jadilah seperti aku yang—"     

"Aku tak bisa melakukan itu. Davira adalah Davira dan Adam adalah Adam. Terlalu sulit untuk menjadikan Adam sama dengan Davira," tukas Adam menyela. Sukses membuat Davira terdiam dan tak mampu berucap apapun lagi saat ini.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.