LUDUS & PRAGMA

123. Risak Asa



123. Risak Asa

0"Kenapa lo jadi diem aja kayak gini. Ada yang salah dari apa yang gue lakukan barusan?" Arka menyela. Menatap paras gadis yang masih menunduk menurunkan pandangannya untuk menatap tulisan yang ada di atas kertas buram di dalam genggamannya.     

Selepas Kayla pergi dari hadapan mereka, Davira memutuskan untuk kembali meneruskan langkahnya dan masuk ke dalam perpustakaan sekolah. Tak banyak berbicara pada remaja jangkung yang tegas mengekori langkahnya masuk ke dalam ruangan. Arka paham dan merasakan dengan benar, bahwa sahabatnya sedang dilanda kekacauan dalam hatinya. Sebab Adam? Arka rasa tidak. Pasti sebab apa yang dikatakan oleh Kayla untuk menutup perbicangan tak diharapkan yang terjadi antara dirinya juga si gadis menyebalkan bermata kucing yang menajam di kedua sisinya. Kayla memang cantik, bahkan paras oriental yang menjadi lukis wajah gadis berdarah campuran itu bisa dikatakan satu tingkat di atas Davira Faranisa. Namun siapa peduli soal paras cantik, akan tetapi hatinya buruk bak seorang iblis yang tak tahu diri?     

"Davira," panggil Arka melirih. Sedikit memiringkan kepalanya untuk bisa menatap dengan benar gadis yang ada di sisinya.     

"Ada yang salah dengan apa—"     

"Gue sahabat yang buruk 'kan?" Davira menyela. Menatap remaja jangkung berponi naik yang ada di sisinya sembari samar dahinya berkerut. Keduanya saling diam sejenak. Saling melempar tatapan satu sama lain untuk bisa menerka dan menelisik apa yang ada di dalam pemikiran keduanya saat ini. Arka mengerti apa yang sedang dirasakan oleh sahabatnya sekarang ini. Singkat dijelaskan bahwa Davira sedang terkejut saat ini. Keadaan dan kondisi baru untuk gadis yang selalu menutup dirinya dengan lingkungan luar dan menahan diri untuk tak terjerumus masuk ke dalam sebuah hubungan percintaan yang menyebalkan dan merepotkan itu semuanya terkesan begitu baru dan tiba-tiba.     

"Lo? Kenapa bisa begitu?" tanya Arka menyela dengan nada sedikit memprotes. Baginya apapun yang dilakukan oleh Davira tak pernah mengecewakan untuknya, bahkan saat gadis itu menolak perasaannya dan menerima pernyataan cinta dari remaja yang baru dikenalnya beberapa bulan yang lalu.     

"Yang dikatakan Kayla. Mungkin dia benar," lirih gadis itu menjawab. Menurunkan pandangannya untuk kembali menghindari kontak mata dengan sang sahabat.     

"Ini beneran lo?" kekeh Arka menyela dengan menyenggol bahu gadis yang berdiri di sisinya. Sukses mencuri perhatian Davira yang kini menoleh sedikit mendongak untuk menatapnya. Mengerutkan dahinya ringan sembari membulatkan mulutnya. Terkejut dan tak mengerti dengan pertanyaan singkat yang diberikan Arka untuknya barusan itu.     

"Maksud gue, mendengarkan perkataan orang lain yang tak sesuai dengan fakta yang sebenarnya adalah hal mustahil yang lo lakuin. Apalagi kalau itu terucap dari bibir Kayla Jovanka. Lo sendiri yang bilang 'kan kalau dia itu gadis sialan yang menyebalkan?" tukas Arka menjelaskan dengan kalimat panjang. Tersenyum kuda untuk menutup kalimat dan mencairkan suasana aneh yang sedang membentang di antara mereka.     

"Gue rasa itu semua—"     

"Davira!" sentak Arka dengan sedikit meninggikan suaranya. Jengkel pada gadis yang kini memutar tubuhnya serong sembari mendongakkan wajahnya dan samar matanya membulat selepas Arka meninggikan nada bicaranya itu? Tidak! Sudah dikatakan dengan tegas bahwa Arka tak pernah membenci atau kecewa dengan apapun yang dilakukan oleh sahabatnya. Remaja itu menyentak sebab ingin menyandarkan sang sahabat bahwa apapun yang menjadi alasannya diam dan merasa bersalah kali ini tidaklah benar adanya. Arka tak pernah merasa semua usahanya tetap setia dan mendampingi Davira Faranisa sia-sia begitu saja selepas gadis itu meneriam tangan dan perasaan dari Adam Liandra Kin.     

"Usaha gue gak pernah sia-sia. Hidup di sisi lo sebagai seseorang di nomor pertama dalam urutan panggilan darurat yang ada di ponsel lo, adalah hal teristimewa yang pernah gue lakukan. Gue gak pernah menyesal sebab menghabiskan separuh hidup gue untuk ada dan menjadi sahabat baik lo yang pada akhirnya, gue sadar bahwa penantian gue bukan cuma sebagai seorang sahabat saja, namun juga sebagai seorang laki-laki pada gadis pujaannya."     

Arka bungkam sejenak. Meraih bahu gadis yang kini terdiam sembari melunakkan ekspresi wajahnya. Tatapan Davira berubah menjadi teduh penuh makna, dan tatap mata indah itu Arka menyukainya.     

"Gue bahagia dan puas dengan apa yang terjadi sama lo sekarang. Gue bangga karena lo bisa melepas rantai yang menahan langkah lo selama ini. Memulai hidup baru sebagai seorang remaja yang sedang mencintai adalah hal yang paling ingin gue lihat dari lo sekarang. Dan gue melihatnya," pungkas Arka mengakhiri kalimatnya dengan senyum singkat. Mengusap puncak kepala gadis yang kini perlahan menggembangkan senyum manis di atas paras cantik miliknya.     

"Gue minta ma—"     

"Tujuan gue menjadi sahabat lo bukan supaya lo jatuh cinta sama gue dan menjadi pacar gue. Tujuan gue menjadi orang baik yang bisa diandalkan dalam hidup lo selama ini adalah sebab gue ingin membantu lo untuk melupakan semua memori buruk yang ada di masa lalu. Menguburnya dalam-dalam dan membuka lembar baru untuk memulai kehidupan di masa remaja. Melihat lo bahagia dan hidup dengan nyaman adalah akhir dari segala tujuan gue selama ini, Ra."     

Arka kini melepas cengkraman tangan yang kuat mencengkram kedua sisi bahu gadis yang ada di depannya. Menghela napasnya lega sebab ia baru saja mengucapkan dialog panjang dengan makna menyentuh yang selama ini disimpannya rapi dalam hati. Menunggu semesta memberikan waktu yang tepat untuknya bisa mengatakan hal itu pada Davira. Arka bukan ingin Davira melupakan fakta bahwa ia mencintai sahabat yang sudah bersamanya di separuh hidup yang ia miliki saat ini, namun Arka hanya tak ingin terlihat bak remaja menyedihkan yang sedang dilanda kegelisahan sebab gadis tercinta sedang beradu kasih dalam sebuah hubungan asmara yang indah. Meskipun kenyataannya memang begitu, akan tetapi Arka tak mau jikalau Davira hanya melihat luka dalam hatinya saja.     

"Jadi, jangan merasa buruk dan meminta maaf untuk hal yang gak lo lakuin. Mengerti?" pungkasnya menutup kalimat.     

Davira mengangguk. "Dimengerti."     

Remaja berponi naik yang ada di depannya kini mengangguk dan tersenyum manis. Merentangkan tangannya untuk memberi sela lebar pada Davira jikalau gadis itu ingin memeluk Arka saat ini.     

"Haruskah kita berpelukan sekarang?" tanya Arka dengan tawa kecil yang mengakhiri.     

Davira menyeringai. Alih-alih datang dan merengkuh tubuh sang sahabat, gadis itu mengulurkan tangan ke atas. Sedikit berjinjit untuk menyamai tingginya dengan Arka Aditya saat ini untuk menjitak kasar kepala sahabatnya itu. Sinting gila memang si sahabat, bagaimana bisa ia berpikir untuk memeluk Davira di dalam area sekolah seperti ini?     

***LnP***     

-Laboratorium Kimia-     

Suasana hening sebab semua mata fokus dengan apa yang dikerjakan oleh masing-masing adalah situasi yang tercipta kala pembelajaran dengan agenda praktik sudah dilaksanakan. Memaksa seluruh sistem syaraf dan sistem otak untuk bekerja lebih keras dari biasanya. Lalita Rahmawati kini menatap gelas ukur kosong yang ada di tengah meja. Sesekali menghela napasnya samar sebab jujur saja, hatinya sedang gundah saat ini. Perkataan sang adik malam itu benar-benar sukses membuat Lalita tak bisa menjalani kehidupannya dengan tenang. Pasal Rena yang mempertanyakan perihal mimpinya. Mendengar semua perkataan dari sang adik, akan munafik jikalau Lalita mengatakan bahwa ia baik-baik saja selepas itu.     

Lalita merasa bersalah lebih dari apapun, ingin mengatakan pada sang adik bahwa semua yang dikatakan oleh Rena tak benar adanya. Akan tetapi apalah dayanya sekarang ini, Rena bukanlah gadis mudah yang bisa diberi pengertian dengan sekali ucap. Toh juga, Rena sudah terlanjur membencinya 'kan?     

"Ta, lo udah selesai?" tanya seseorang menyela lamunannya. Duduk di sisi Lalita yang kini menoleh sembari menatapnya fokus.     

Lalita mengangguk. "Lo sendiri?"     

Gadis berkuncir kuda dengan mata bulat dan alis melengkung itu ikut mengangguk. Tersenyum ringan kemudian mengeluarkan ponsel yang ada di saku kirinya.     

"Gue mau minta saran dari lo," paparnya membuka layar kunci ponsel miliknya kemudian menyodorkannya pada Lalita. Memberi isyarat pada gadis sebaya dengannya untuk melihat dan memberikan sejenak fokus lensanya untuk menatap apa-apa saja yang ada memenuhi layar ponsel miliknya.     

"Besok adik sepupu gue mau ulang tahun. Gue gak tau kado apa yang cocok buat dia. Jadi gue milih beberapa. Bisa lo kasih saran mana yang paling bagus buat dia? Gue gak mau buat dia kecewa dia nanti," rengeknya membuat Lalita terseyum tipis.     

"Segitu baiknya lo sama dia padahal dia bukan adik kandung lo?"     

"Ini adalah rahasia untuk kita berdua, oke?" Gadis yang ada di sisinya tiba-tiba saja berbicara dengan nada lirih. Mengacungkan jari kelingking dan menunggu Lalita untuk membalasnya.     

"Hm," erang Lalita membalas jari kelingking yang ada di depannya.     

"Sebenarnya gue punya adik kandung. Dia selalu baik sama gue dan gue ... gue bukan kakak yang baik. Singkatnya, dia mengalami kecelakaan dan meninggal. Katanya sebelum mengembuskan napas terakhir, dia mencari gue dan bilang ingin melihat kakaknya." Gadis yang ada duduk rapi di sisi Lalita kini menghentikan kalimatnya sejenak. Menghela napasnya kasar sebab pedih mulai di rasakan oleh kedua matanya.     

"Tebak apa yang gue katakan."     

Lalita diam. Memilih bungkam tak bersuara apapun sembari terus meletakkan fokusnya menatap gadis yang ada di sisinya.     

"Gue bilang gue sibuk dan gak ada waktu karena les privat yang sedang gue jalani. Gue bilang gue akan datang kalau lesnya sudah selesai. Tapi gue terlambat."     

"Dan sepupu gue ini adalah orang terdekat adik gue semasa dia hidup. Jadi gue ingin menebus semuanya," pungkasnya dengan nada melirih. Tersenyum kaku untuk mengakhiri kalimatnya.     

"Hargai dan cintai selagi masih ada, itu yang kupelajari sekarang ini." Ia melanjutkan. Semakin tegas mengembangkan senyum manis di atas parasnya.     

Lalita ikut tersenyum. Masih diam sembari terus menghela napasnya. Kisah singkat yang diucapkan oleh teman semejanya itu sukses membuat Lalita bungkam tak mampu banyak berkata lagi apapun sekarang ini. Kisah itu ... membuatnya teringat dengan sang adik, Rena.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.