LUDUS & PRAGMA

143. Kisah Baik



143. Kisah Baik

0Samar riuh terdengar selepas keduanya memutuskan untuk pergi dan menyambangi tempat ternyaman yang ada di lingkungan sekolah. Taman rumput dengan pemandangan kolam ikan dengan pancuran kecil di tengahnya. Tak banyak yang datang berkunjung di tempat ini kalau jam istirahat datang menyapa, hanya mereka si orang-orang pencinta ketenangan dan tak suka suasana ramai berdesak serta riuh gemuruh khas jam istirahat berlangsung. Di tempat inilah Davira Faranisa dan si sahabat kecil, Arka Aditya berada. Tak ada Adam juga tak ada Rena Rahmawati. Benar-benar berdua dengan duduk rapi berjalan tak terlalu jauh di bawah teduhnya pohon mangga sisi taman sekolah.     

Bukan kemauan Davira, namun sang sahabat lah yang membawa tubuhnya kemari selepas bel nyata dibunyikan. Menunggu Davira di depan pintu kelas sembari melipat tangannya rapi. Mengabaikan ajakan si teman-teman dekat yang memaksa untuk memboyong tubuh jangkung milik Arka Aditya untuk ikut serta masuk ke area kantin dan mengenyangkannya perut yang sedang dilanda lapar.     

Hari ini, Arka ingin mencoba untuk mengikuti saran dari Rena kemarin malam. Berbincang dengan sahabatnya dengan nada ringan tak meninggi sebab mungkin saja emosi akan tersulut nantinya. Arka mencintai Davira, namun gadis itu menyayangi Arka layaknya seorang keluarga yang amat dirindukan kehadirannya oleh gadis berambut panjang tanpa poni itu.     

"Gue udah denger dari Davina," ucap Davira memulai pembicaraan. Menarik perhatian Arka yang kini menoleh sembari sama mengernyitkan dahinya. Bukan topik obrolan ini yang ingin disampaikan oleh Arka sekarang. Topiknya lain!     

"Maksud lo?"     

"Lo mengira Davina akan merebut Adam dari gue kalau dia tahu gue pacaran sama Adam." Ia mempersingkat. Enggan menatap si sahabat yang masih bungkam tak bersuara selepas penjelasan singkat itu lolos dari celah bibir Davira Faranisa.     

"Kenapa lo mikir begitu? Itu bisa aja menyakiti—"     

"Menurut lo? Lo gak khawatir akan hal itu? Davina menyukai Adam. Dan kita belum terlalu mengenal bagaimana Davina Fradella yang sebenarnya." Arka menyahut. Memotong kalimat gadis yang ada di sisinya kemudian tegas menyunggingkan sisi bibirnya.     

Davira menghela napas. Ia tak tahu ini adalah dampak yang nyata terjadi kalau dirinya keluar dari zona nyaman dan aman dengan memulai hubungan bersama seorang laki-laki. Arka terlihat kacau. Bukan penampilannya, namun cara berpikir remaja itu yang terkesan terlalu 'hiperbola' dalam menyikapi keadaan yang sedang terjadi saat ini.     

"Arka ...." Davira menoleh. Memutar tubuhnya serong untuk bisa benar menatap remaja jangkung di sisinya itu.     

"Kalau Davina benar merebut Adam, apa yang akan lo lakukan? Diam saja? Membiarkan? Bukankah lo sendiri yang bilang apapun yang dibiarkan saja lama kelamaan akan menjadi sebuah kebiasaan." Arka kembali menyela. Menatap sang sahabat yang memberi fokus sorot lensanya pada remaja di sisinya.     

"Kenapa kamu selalu mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi? Itu seperti bukan lo." Davira menimpali. Tak mengubah ekspresi juga caranya berbicara saat ini.     

"Karena gue mengkhawatirkan lo, Davira." Arka menyela. Menarik pergelangan tangan gadis yang ada di sisinya kemudian menepuk punggung tangan milik Davira perlahan.     

"Ini pertama kali buat lo menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Itu yang membuat—"     

"Lo gak percaya sama apa yang gue lakukan sekarang?" Gadis itu menyela. Memincingkan matanya sejenak menghela napas kasar. Baiklah, ia mulai pandai memahami situasi yang sedang terjadi saat ini.     

"Gue khawatir." Arka memungkaskan kalimatnya dengan nada lirih. Mengernyitkan dahinya sebab ia tak mengerti bagaimana situasi bisa berubah drastis seperti sekarang ini.     

"Bukan itu yang mau gue omongin ke lo hari ini sebenarnya." Arka mengimbuhkan. Ditatapnya sang sahabat yang kini diam membungkam mulutnya. Menunggu Arka untuk melanjutkan kalimat agar tak membebani dalam pikirannya lagi.     

"Lantas?"     

"Rena mengatakan bahwa seharusnya kita saling berbicara satu sama lain. Meluruskan apa yang tak lurus dan membenarkan apa yang salah. Terlalu banyak kesalahpahaman di antara kita, Davira." Arka mengimbuhkan. Menatap sang sahabatnya yang kini menoleh sembari memberi tatapan sayu padanya. Seakan paham bahwa Arka hari ini terlihat ingin berbincang serius dengannya. Bukan pasal Adam, namun pasal hubungan persahabatan mereka yang sejenak dilupakan olehnya.     

"Tentang apa?"     

"Semuanya." Arka menyahut. Melepas genggaman tangannya dan mengembalikan tangan Davira untuk kembali berada di atas pangkuannya.     

"Mulai dari sikap kita yang saling menjauh, alasan kamu menghindari gue belakang ini, dan alasan lo lebih mementingkan urusan Adam ketimbang urusan lo sendiri. Kita bicarakan semuanya. Apapun itu, katakan saja."     

"Jangan ada yang berbohong dan mendustakan satu sama lain sekarang ini. Janji?" Aria mengacungkannya jari kelingking miliknya tepat di hadapan Davira. Memicu reaksi tak terduga dari gadis yang ada di sisinya itu sekarang ini.     

Davira diam sejenak. Seakan paham dan mengerti isi hati sang sahabat, remaja cantik itu kini tersenyum ringan. Membalas jari kelingking milik Arka yang jelas menunggu dirinya sekarang ini. Menganggukkan kepalanya tegas sembari mengerang lirih untuk menyetujui apa yang diinginkan oleh sahabatnya.     

Arka benar, terlalu banyak hal dipendam oleh keduanya sekarang ini. Membuat jarak di antara mereka tegas terbentang seakan luas samudera dan tingginya gunung menjulang menjadi penghadang untuk mereka berdua. Davira mengerti apa yang dikhawatirkan oleh sahabatnya tentu dengan alasan yang kuat.     

Pasal cinta, tak ada kata mencoba, mencicipi, atau sekadar mampir minum kopi. Davira bodoh dan nol pengalaman untuk hal itu. Bisa dikatakan bahwa Adam Liandra Kin adalah remaja pertama yang bisa membuatnya jatuh hati terlepas dari semua hal brengsek yang ada di dalam diri remaja jangkung itu. Davira paham, kalau apa yang dirasakan oleh Arka akan terjadi padanya juga jikalau keadaan berbalik saat ini. Davira mencintai remaja brengsek yang suka bermain dengan perasaan para gadis, hal itu lah yang menjadi alasan dasar Arka merasa khawatir pada sahabatnya.     

***LnP***     

Adam menatap dengan tatapan tajam. Menunggu waktu yang tepat untuk datang dan mengacau dua remaja yang sedang duduk di bawah rindangnya pohon mangga di sisi taman sekolah. Sesekali mengepalkan tangannya kuat sembari menghela napasnya. Ia melihat Arka meraih tangan sang kekasih. Tersenyum padanya bahkan menggeser posisi duduknya untuk bisa berdekatan dengan Davira Faranisa. Sungguh, hati Adam kacau saat ini! Ingin rasanya ia mendatangi mereka dan duduk bersela di antara Davira juga Arka Aditya.     

Ia mulai melangkah. Tak bisa dibendung lagi rasa cemburu selepas remaja sialan itu mengusap kasar puncak kepala sang gadis dengan tawa ringan yang menyertai. Dibalas oleh lengkungan bibir Davira yang terlihat begitu tulus dan nyaman. Akan tetapi, tangan menarik lengannya. Menghentikan langkah Adam untuk tak mengacau semua yang sedang berjalan siang ini.     

Remaja itu memutar cepat tubuh jangkung miliknya. Menatap paras cantik nan polos gadis berambut pendek yang jatuh tepat di kedua telinganya. Tatapan gadis itu tajam. Sesekali terarah pada paras Adam, sesekali beralih untuk menatap Arka Aditya juga Davira Faranisa yang jauh posisi dari kedudukan mereka berdua saat ini.     

"Lo mau mengacau?" tukasnya tanpa mau berasa-basi. Menarik kasar tubuh Adam untuk benar pergi dan menjauh dari area taman.     

Remaja itu diam. Masih tak mengerti dengan keadaan yang tiba-tiba saja terjadi selepas Rena datang menyela dengan tatapan aneh dan nada bicara yang terdengar menyebalkan.     

"Rena!" Adam memberontak. Melepas kasar cengkraman kuat tangan milik gadis yang kini dipaksa untuk menghentikan langkahnya. Memutar tubuh ramping dan tinggi berkaki jenjang miliknya kemudian memberi tatapan tegas pada Adam Liandra Kin.     

"Apa maksud lo dengan—"     

"Lo mau datang ke sana dan mengacau Davira juga Arka?!" pekiknya mengulang dengan nada tegas. Menghela napasnya kemudian memalingkan wajahnya. Sungguh, Adam itu benar-benar bodoh.     

"Lo tau apa yang mereka bicarakan?" tanya Adam menelisik. Menarik pandangan Rena untuk kembali datang padanya.     

"Enggak. Tapi gue bisa menerkanya."     

Rena menghentikan sejenak kalimat yang diucap. Benar memutar langkahnya untuk bisa menatap Adam dengan posisi yang nyaman saling berhadap satu sama lain.     

"Lo beneran gak peka sama situasi yang sedang terjadi? Atau jangan-jangan lo nyaman dengan situasi canggung di antara Davira dan Arka?"     

Adam menyeringai. Selepas mendengar kalimat singkat dari Rena kini ia mulai paham, kalau gadis itu adalah dalang dari semua kejadian hari ini.     

"Gue gak pernah ikut campur dalam urusan persahabatan mereka. Kenapa lo sekarang jadi seakan menyalahkan gue atas ketidakharmonisan hubungan Arka dan Davira?" Adam tertawa ringan. Memungkaskan kalimatnya dengan tatapan aneh dan ekspresi wajah yang menyebalkan.     

"Itu semua Davira lakukan untuk lo. Lo gak ngerti juga?" Rena berdecak. Berkacak pinggang tepat di hadap remaja sialan yang terus saja tersenyum seringai untuknya.     

"Lo yang masuk ke dalam hubungan Davira dan Arka. Bukankah tamu itu harusnya sopan?" Gadis itu mulai mengibarkan. Menatap Adam dengan tatapan menelisik. Mencoba menerka apa saja yang ada di dalam isi kepala remaja jangkung di depannya itu.     

"Lo menyalahkan gue atas semua yang terjadi?"     

"Apa untungnya?" Rena menyahut.     

"Terus kenapa lo begini sama gue?"     

"Bisa lo berikan waktu untuk Arka dan Davira sekarang? Mereka hanya ingin mengobrol pasal—"     

"Dengan posisi dan cara berbicara seperti itu? Sekarang gue tanya, kalau lo punya pacar dan lihat pacar lo berduaan sama cowok lain dengan posisi intim dan mesra seperti tadi, apa yang akan lo lakuin? Bukan kah lo akan menghampiri dia dan mengacaukan segalanya? Benar! Lo pasti melakukan itu." Adam menerangkan dengan kalimat panjang miliknya. Menarik perhatian Xena yang kini tersenyum sembari tertawa ringan. Menunggu Adam benar-benar memungkaskan kalimatnya saat ini.     

"Gue bukan orang bodoh kayak lo, Dam."     

Remaja itu mengernyitkan dahinya samar. Alisnya bertaut dan sisi matanya berkerut. Tak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Rena dengan ekspresi wajah seperti itu.     

"Gue akan menunggu dan menanyakan semuanya dengan hati-hati. Ketika jawabannya gak pas, akhiri hubungan kalian. Ketika jawabannya pas dan jujur, perbaiki hubungan dengan mencoba mengerti satu sama lain."     

Rena memajukan langkahnya. Mendekat pada Adam yang kini diam bungkam tak bersuara. "Mencintai bukan pasal memberikan rasa, namun juga pasal memberi kepercayaan bersama harapan untuk akhirnya yang bahagia. Mengerti pasangan adalah salah satu cara terbaik untuk menjalin hubungan yang sehat. Bukankah begitu, Tuan Adam Liandra Kin?"     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.