LUDUS & PRAGMA

139. Kencan Buta



139. Kencan Buta

Petang memulai tugas. Datang bersama langit gelap bertabur bintang dengan lengkungan tak sempurna milik sang dewi malam. Gadis itu kini berjalan ragu. Memasuki area halaman rumah mewah dengan lampu taman yang menemani setiap langkahnya. Selepas turun dari taksi dan memberikan uang sebagai imbalan pada si supir sebab sudah berbaik hati menghantar Davira Faranisa hingga sampai ke tujuannya dengan selamat, gadis itu masuk melalui pintu pagar yang ada di depannya.     
1

Ia terhenti. Memencet bel pintu rumah yang ada di sisinya. Menunggu untuk tuan rumah datang membukakan pintu dan menyambut tamunya datang malam-malam begini.     

Sepersekian detik, perawakan tubuh sedikit jangkung lebih tinggi darinya dengan paras tak asing identik dengan Adam Liandra Kin kini menatapnya sembari sejenak membulatkan matanya tegas. Tak percaya bahwa tamu yang sudah menganggu aktivitas belajarnya malam ini adalah si gadis cantik kesayangan sang kakak. Point pentingnya, Davira Faranisa juga kesayangan Raffardhan Mahariputra Kin.     

"Kak Davira?" lirihnya memanggil. Membuat gadis yang ada di depannya menggoyangkan tangannya ringan sembari tersenyum kuda.     

"Hai. Selamat malam," ucap Davira canggung.     

Raffa --remaja tampan berwajah identik dengan sang kakak-- ikut tersenyum. Menoleh sejenak menatap keadaan rumahnya yang sepi. Ia tak melihat sang kakak keluar dari kamarnya semenjak pulang dari sekolah dengan senyum mengembang jelas di atas paras tampannya. Tatkala ditanya apa gerangan yang sudah membuat senyumnya merekah hebat itu, sang kakak hanya menjawab dengan sedikit tak acuh bahwa ia mendapat jackpot besar sore ini.     

"Kakak kamu ada?" tanya Davira menginterupsi. Menarik kembali tatapan lensa teduh milik Raffa agar menatap paras lawan bicaranya itu.     

Davira terlihat begitu cantik dan anggun malam ini. Mengenakan celana panjang berbahan jeans berwarna pekat yang dipadukan kemeja pas dengan lekukan tubuhnya berwarna biru laut yang begitu pas dengan tas selempang bulat yang menggantung di bahu kirinya. Polesan make up yang ada dan menghias di atas paras cantiknya pun tak terlalu berlebihan namun cukup untuk menunjang penampilan indah nan sempurna milik gadis berambut panjang itu sekarang ini.     

"Kakak ada janji sama Kak Adam? Soalnya Kak Adam gak keluar dari kamarnya sejak tadi sore." Raffa mempersingkat. Sejenak mengernyitkan dahinya kala Davira hanya tersenyum tipis.     

"Aku datang tiba-tiba. Tanpa memberi tau Adam," balas Davira tak mengurangi senyum manis di atas paras cantiknya.     

"Masuk dulu. Aku akan panggilkan Kak Adam." Raffa kini memutar tubuhnya serong. Memberi celah pada gadis yang hanya menganggukkan kepalanya mengerti. Mengikuti arahan dari remaja yang satu tahun lebih muda darinya itu untuk melangkah dan masuk ke dalam rumah.     

Raffa menunjuk sofa besar yang ada di tengah ruangan. Memberi isyarat pada Davira Faranisa untuk duduk dan menunggu dirinya sembari menikmati potongan buah yang sengaja disiapkan untuk memenuhi meja tamu.     

"Bilang Kak Davira mau ajak pergi dia," ucap Davira menyela langkah remaja yang baru saja ingin melangkah naik ke lantai atas. Membuatnya terhenti dan menoleh sejenak diam mematung sembari mencoba menerka kalimat Davira malam ini.     

Sikap Davira berbeda dari saat ia terakhir bertemu dengan gadis itu. Sebelumnya, Davira terlihat tak acuh bahkan enggan menampilkan senyum manis di atas paras cantiknya kala menyebut nama Adam Liandra Kin. Raffa paham kala itu, bahwa Davira membenci kakaknya. Terakhir bertemu dengan gadis itu adalah kala Raffa menyambangi rumah Davira untuk menjemput sang kakak kembali ke rumah dengan dusta bahwa sang mama yang meminta.     

Namun malam ini, Davira datang ke rumahnya bukan seorang tamu biasa. Melainkan bak seorang kekasih yang sedang menyambangi rumah kekasihnya.     

--artinya Davira dan sang kakak, Adam Liandra Kin sudah resmi menjadi sepasang kekasih?     

***LnP***     

Dentuman suara musik pop kini menyambut kedatangan dua remaja yang tegas berjalan menyusuri area perbelanjaan yang di bangun di pusat kota. Jadi jangan heran kalau tempat ini akan selalu ramai tak pernah sepi juga mati akan penggunjung baru. Tempat ini juga dikenal sebagai surganya untuk para remaja. Food court yang ada di lantai atas menyuguhkan berbagai macam hidangan ala-ala barat yang mengunggah dan memanjakan lidah. Mengenyangkan perut dengan harga yang tak 'bikin' bangkrut. Semua remaja akan menyukainya. Apalagi kalau kata 'promo' sudah terselip di dalam menu. Dengan potongan harga separuh tanpa mengurangi porsi dan rasa yang disuguhkan.     

Pusat perbelanjaan dengan jajaran ruko beraneka macam barang dagangan ini adalah pusatnya orang berbelanja. Memang tak ada merk branded dunia yang digunakan untuk mode dan bergaya. Akan tetapi, harga terjangkau dengan kualitas memukau adalah alasan para pengunjung datang dan berkeliling. Memilih apa-apa saja yang dibutuhkan juga apa-apa saja yang diinginkan.     

Di tempat inilah Rena Rahmawati juga si penaman hari bukan hati datang berkunjung. Setengah jam berlalu hanya langkah tanpa tujuan yang jelas selepas membelanjakan uang dengan membeli kemeja dan jaket baru untuk dirinya mereka habiskan begitu saja. Tak mau berhenti berkeliling sebab dalam pembelaan dan alasan kuat gadis berambut pendek dengan tema pakaian 'tomboy elit' itu adalah ia ingin menikmati suasana dan mencuci mata juga me-refres-kan otaknya. Menyanggah dan tak acuh pada remaja yang terus saja merengek sebab perutnya mulai keroncongan sekarang ini.     

"Lo benaran gak mau makan dulu?" tanya sang remaja merengek manja. Menarik sembari menggoyangkan kantung keresek yang ada di genggaman tangan kiri Rena.     

"Gue yang traktir!" tukasnya mengimbuhkan.     

Rena menoleh. Berdecak ringan sembari menatap tautan alis garis dengan kerutan samar dahi yang diciptakan olehnya. "Gue gak nyuruh lo ikut," balasnya tak acuh. Kembali memalingkan wajahnya untuk menatap apa-apa saja yang ada di depan dan di sisinya saat ini.     

"Kita cuma tinggal naik pakek lift dan duduk sambil nunggu makanan. Gue yang bayar." Ia kembali merengek. Kali ini sigap menarik lengan gadis yang ada di sisinya membuat Rena terhenti dan menatapnya tajam.     

Mengingat sebelum mereka berdua sampai di tempat ini, remaja jangkung menyebalkan itu lah yang memaksa ikut dan menarik tubuh Rena untuk naik ke atas motor 'gedhe' pribadinya. Mengatakan dengan nada sedikit menjengkelkan bahwa Rena tak perlu membayar biaya ongkos untuk sampai ke tujuannya. Toh juga, remaja itu memang berniat untuk berjalan-jalan menyusuri kota malam ini. Jadi sekalian saja. Tak perlu duduk menunggu bus kota datang menjemput, hanya tinggal duduk dan menunggu moge milik remaja itu membelah padatnya jalan dan sampai ke tujuan mereka.     

"Kalau lo bukan temennya Davira, udah jorokin lo ke lantai bawah!" gerutunya kesal. Melepas cengkraman tangan Arka yang kuat menahan dirinya agar berhenti dan meladeni remaja itu sejenak.     

Rena kini memutar langkahnya. Berjalan ke arah eskalator yang ada di depannya. Diikuti oleh sepasang langkah kaki jenjang milik Arka Aditya.     

"Kenapa dari tadi lo gak mau naik lift? Lo gak caranya naik lift?" kekeh Arka mengejek. Tertawa ringan sembari terus mencoba menarik perhatian Rena yang ada di sisinya. Mulai melangkah naik ke eskalator yang ada di depannya.     

"Tenang. Gak usah malu sama gue. Kayak sama—"     

PLAK! Tamparan keras nan kuat mendarat tepat di atas kepala remaja yang kini mengerang ringan. Kembali mendongak untuk menatap Rena yang kini lebih tinggi darinya sebab gadis itu berada di satu anak tangga lebih tinggi darinya.     

"Lo ya! Jadi cewek kasar banget!" Arka kembali menggerutu. Mencoba untuk menarik perhatian Rena yang kembali tak acuh selepas membuat kepalanya terasa sedikit pusing.     

"Lo jadi nyebelin kalau lagi laper begini?" tukas gadis itu menghela napasnya kasar. Melirik beberapa orang yang ada di belakangnya yang kini tersenyum geli melihat tingkah dan mendengar apa yang dikatakan oleh Arka barusan itu.     

"Kalau lo gak diem, gue tinggalin lo di sini!" pekiknya dengan nada kesal. Kembali menatap lurus ke depan untuk menyambut lantai atas yang akan disambangi mereka kalau dua anak tangga eskalator sudah kembali menghilang dan berputar dari bawah lagi.     

"Lo mau makan apa?" tanya Rena tak ingin banyak berbasa-basi. Menelisik setiap bagian ruangan yang terlihat luas dan ramai. Puluhan kursi dan meja kini memenuhi ruangan, dengan jajaran toko makanan yang menjadi destinasi kuliner untuk siapapun yang datang berkunjung petang ini. Musik berganti. Tak lagi alunan lagu rock yang membuat gendang telinga pecah, kini melodi halus musik Ballad yang nyaman masuk ke dalam lubang telinga keduanya.     

"Jawab pertanyaan gue dulu, kenapa lo gak bisa naik lift?" tanya Arka mengubah arah pembicaraan.     

Gadis yang ada di depannya terhenti. Menghela napasnya kasar kemudian menoleh dan memutar tubuhnya menatap Arka Aditya dengan benar. "Karena gue punya kenangan buruk dan menjijikan di sana."     

"Lo punya trauma dengan lift?"     

Rena mengangguk-anggukkan kepalanya ringan. Mengerang lirih untuk menyetujui apa yang dikatakan oleh Arka barusan itu.     

"Trauma seperti apa?"     

Rena diam. Kembali berjalan dan mengacuhkan Remaja yang masih menunggu jawaban darinya.     

"Gue mau makan nasi goreng pedes manis yang ada di sana. Lo bisa beliin? Gue jagain tempatnya di sini," tukas gadis itu mengabaikan pertanyaan dari Arka.     

"Gue beliin kalau lo mau jawab pertanyaan dari—"     

"Itu akan membuat napsu makan lo hilang." Rena memotong kalimat milik Arka. Meletakkan tas punggung kecil berwarna pekat dengan bahas kulit sintesis yang mengkilap. Menatap remaja yang kini terdiam sembari melipat keningnya samar.     

"Katakan saja. Siapa tahu dengan mengatakan trauma lo itu, gue bisa membantu."     

Rena terdiam. Menundukkan pandangannya kemudian menarik kursi yang ada di sisinya. Duduk rapi dan kembali menaikkan pandangannya menatap Arka Aditya.     

"Gue naik lift pertama kali usia delapan tahun. Sebelumnya, gue sangat takut naik lift karena itu pasti menyeramkan. Tubuh kita dibawa naik dan kita tak tahu siapa yang membawa dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Singkatnya, itu sangat menyeramkan."     

"Lalu?" Arka memotong kalimat.     

"Kali pertama naik, gue merasa pusing dan mual."     

"Hanya karena itu?"     

"Bukan gue yang muntah sebab mabuk karena itu. Tapi seseorang yang ada di depan gue. Muntah dengan darah kental dan banyak yang --ah sialan! Kita akhiri," tukas Rena menggelengkan kepalanya. Bergidik ngerti sebab ia tak ingin mengingatnya sekarang.     

Arka sigap mengusap rambut milik Rena dengan lembut. Tersenyum ringan sembari sesekali mencoba untuk menenangkan hati Rena saat ini.     

"Jujur, kalian pacaran 'kan?" Seseorang menyela.Membuat Arka juga Rena menoleh padanya dengan cepat.     

"Ah! Sialan! Kalian lagi!"     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.