LUDUS & PRAGMA

134. Garis Sang Kuasa



134. Garis Sang Kuasa

0Pagi datang bersama dengan riuhnya suasana sekolah kalau mendekati jam masuk datang menyapa. Iringan langkah dua remaja yang kini tegas membelah rerumputan hijau yang ada dan menjadi pijakannya saat ini kini mulai seirama setelah sang remaja jangkung terus mencoba untuk menyamakan langkah kakinya dengan gadis berambut pendek lurus dengan ujung rapi yang jatuh di bawah sepasang telinganya. Rena Rahmawati.     

Sekarang gadis itu mulai hapal dan terbiasa berbicara dengan Arka Aditya. Layaknya seorang teman dekat yang sudah lama saling mengenal, seperti itu lah nyamannya Rena kalau sudah berbicara dengan Arka Aditya.     

Rena paham, meskipun ini adalah kali pertamanya bisa berteman baik dengan seorang remaja laki-laki juga memiliki sahabat baru seperti Davira Faranisa, namun ia akan mencoba terus menjadi gadis baik yang pengertian juga bisa mencintai apa yang dipunyainya saat ini. Pesan Lalita sebelum melakukan penerbangannya untuk meninggalkan Indonesia, akan selalu diingat oleh gadis itu apapun situasi dan kondisinya sekarang ini.     

"Gimana sama kakak lo?" tanya Arka memecah sepi yang membentang.     

"Gimana apanya?" Gadis di sisinya menyahut. Menatap remaja jangkung yang kini menoleh sembari menaikkan satu sisi bahu lebarnya.     

"Apapun yang terjadi kemaren lusa. Keadaan, situasi, suasana, apapun itu. Semuanya berjalan dengan lancar?" papar remaja jangkung itu memberi penjelasan atas kalimat ambigu yang sukses membuat Rena mengernyitkan dahinya barusan.     

"Baik-bik saja. Kak Lita mempercepat penerbangannya dua malam yang lalu. Menjelaskan situasi yang sedang dihadapinya dan kita ... tertawa bersama di akhir pembicaraan," jelasnya mempersingkat. Tersenyum ringan sembari menatap jalanan yang ada di depannya.     

"Minggu kemarin gue juga sempet telepon dia." Gadis itu mengimbuhkan. Menoleh dengan menaikkan arah pandangannya sebab ia hanya setinggi telinga remaja jangkung di sisinya itu.     

"Lo keliatan bahagia banget hari ini," tukas Arka menyela.     

Rena mengangguk sembari mengerang ringan. Semakin tegas mengembangkan senyum untuk menunjukkan betapa indahnya malam kemarin saat ia menutup hari dengan banyak bercerita bersama sang kakak. Tak banyak juga tak lama durasi panggilan yang mereka lakukan semalam. Hanya satu putaran jarum jam yang terasa begitu cepat untuk Lalita maupun Rena yang sedang dilanda kebahagiaan. Gadis berusia 17 tahun itu sukses membuat lelucon ringan di sela cerita yang disuguhkan untuk sang kakak. Ini dan itu, topik pembicaraan mereka tak menentu. Apapun yang bisa dikatakan oleh Rena juga Lalita untuk menyambung kalimat akan dilakukan dan dikatakan. Mereka bahagia. Melepas segala amarah dan tak suka juga dendam yang dipendam untuk melebur bersama kebahagian baru yang datang menyapa.     

"Sorry karena gue yang gak bisa datang dan menemani lo ke bandara." Arka kembali berucap.     

"Kemarin pun gue gak bisa mampir dan menanyakan kabar lo," imbuhnya membuat Rena kembali menoleh untuk menatap Arka Aditya.     

Gadis itu mengangguk. Mengerang lirih sembari mengangguk-anggukkan kepalanya ringan.     

"Ngomong-ngomong, Davira nemuin atau hubungi lo?"     

Rena kali ini menghentikan langkahnya. Memicu reaksi yang sama untuk remaja di sisinya. Arka menghentikan langkah kakinya. Ikut memutar tubuh menatap gadis yang kini tegas mengernyitkan dahinya sebab ia tak mengerti mengapa Arka melontarkan pertanyaan itu padanya.     

"Justru gue yang mau tanya, Davira sedang ada masalah?"     

Arka terdiam sejenak. Mematung sembari mencoba untuk menerka keadaan yang terjadi.     

"Gue telepon dia dan mengirimi pesan, tapi gak direspon sama Davira." Rena mengimbuhkan. Menatap remaja yang kini menghela napasnya ringan.     

"Ternyata dia beneran gak nerima tamu kemarin." Lirih suaranya berucap. Membuat Rena sedikit memajukan langkahnya untuk bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Arka Aditya.     

"Kalian gak berangkat bareng lagi, lo tanya ke gue apakah Davira mengirimi pesan ... kalian berantem?" tanya Rena menebak asal.     

Arka menggelengkan kepalanya ringan. "Bukan sama gue. Tapi sama Adam," ucapnya mempersingkat.     

Rena kini menyeringai samar. "Karena Kayla lagi?"     

"Hm. Ceritanya panjang. Jadi gue gak bisa jelasin sekarang sekarang," tukas Arka menutup kalimatnya dengan helaan napas kasar.     

***LnP***     

Mata bulatnya tertuju pada tarian luwes pena hitam dengan ujung tajam yang menggores kasar permukaan kertas putih bergaris biru tua tipis yang kini mulai penuh dengan coretan garis abstrak tak berbentuk. Jika seseorang menatap Davira Faranisa dari jarak yang cukup jauh, maka mereka akan mengira bahwa gadis berambut panjang tanpa poni yang diikat separuhnya itu pasti sedang fokus dengan tulisan berisi catatan teori yang di catat oleh sang guru di atas papan tulis sebelum ijin pergi dan meninggalkan suasana kelas tempatnya mengajar.     

Davira kini menghela napasnya kasar. Menatap gumpalan garis absrak yang kini memenuhi kertas di sikunya. Kemudian meletakkan pena hitam yang ada di dalam genggamannya sebab tinta penanya sudah habis saat ini. Niat hati ingin merogoh masuk ke dalam tempat pensil yang menjadi pembatasnya duduk dengan si teman sebangku untuk memulai aktivitas absurd-nya lagi.     

Arka mencegah. Menarik tempat pensil milik Davira dan menyembunyikannya di dalam loker meja miliknya. Membuat Davira kini mendongak dan memberi tatapan tajam untuknya.     

"Balikkin. Gue gak mood bercanda," lirihnya berucap. Melirik tangan remaja yang ada di sisinya.     

"Sayang bolpoinnya, bisa buat gue nulis." Arka menyahut. Menggelengkan kepalanya ringan sembari tersenyum kaku.     

"Terserah lo aja." Davira kini mengubah arah lensanya. Melipat tangannya rapi di atas meja kemudian meletakkan kepala di atasnya. Hatiny terluka, perasaannya kalut, raganya tak berenergi, dan kepalanmya terasa berat saat ini. Adam terlalu dalam melukai Davira dengan kalimat perbandingan yang dilontarkan untuk Davira.     

Arka kini mengusap lembut permukaan rambut milik sahabatnya. Tersenyum ringan untuk mencoba membuat Davira lebih bersemangat sekarang ini.     

"Lo masih gak nerima tamu sekarang ini?" tanya Arka dengan nada lembut. Menghentikan aktivitas membelai lembut helai demi helai rambut panjang milik sahabat kecilnya itu.     

"Adam kemarin nemuin lo?" Gadis itu kini menyahut. Masih dengan nada malas dan tak bersemangat. Menatap sayu Arka yang mengerang sembari menganggukkan kepalanya setuju.     

"Apa yang kalian omongin?"     

"Lo gak tanya kita berantem atau enggak?" kekeh Arka tertawa kecil.     

Davia lagi-lagi menghela napasnya. Memiringkan kepalanya agar lebih nyaman menatap remaja jangkung yang kini mengimbangi posisi dengan meletakkan kepalanya. Menatap sepasang lensa indah milik Davira kemudian kembali merekahkan senyum di atas paras tamapnnya.     

"Wajah lo baik-baik aja. Gak ada luka—"     

"Karena gue yang menang." Arka memotong kalimat Davira.     

Gadis itu tersenyum lebar. Terkekeh kecil menatap perubahan ekspresi wajah milik Arka Aditya.     

"Lo gak jago berantem. Menang adalah hal yang mustahil."     

Arka tertawa. Menganggukkan kepala untuk memberi respon pada gadis di sisinya itu . Davira begitu mengenal dirinya dengan baik. Mulai dari hal baik hingga sampai ke hal terburuk yang dimiliki oleh Arka Aditya. Mulai dari hal kecil hingga hal yang paling besar sekalipun. Arka bersyukur sebab berubahnya Davira tak sepenuhnya melupakan dan menjauh dari dirinya sebagai seorang sahabat.     

"Apa yang kalian omongin kemarin?" ulang Davira mempertegas.     

"Bukan apa-apa," jawab Arka dengan nada singkat.     

"Lo gak mau cerita?" Davira kembali menimpali. Bangkit dari posisinya kemudian menyandarkan tubuhnya ke belakang. Melipat kedua tangan di atas perut datar miliknya lalu memindah fokus untuk menatap sang sahabat yang kini mengikuti aktivitasnya.     

"Lo bisa tanya Adam sendiri."     

"Kalau Kayla, kenapa lo bawa dia pergi kemarin?" Gadis itu kembali melontarkan pertanyaan dengan arah objek pembicaraan yang berbeda. Lagi-lagi meletakkan fokusnya untuk sahabat yang duduk sembari mendengarkan dengan baik.     

"Gue cuma minta dia untuk tidak memulai pertengkaran lagi. Pelukan itu, bukan salahnya Adam."     

Davira menarik satu sisi bibirnya untuk menyeringai tajam. "Lo sekarang udah bisa belain Adam?"     

Arka menurunkan sejenak pandangannya. "Ra, lo masih ingat dengan apa yang gue katakan sebelum lo dan Adam jadian?"     

Davira bungkam. Diam dan mematung serta menghentikan segala aktivitasnya.     

"Lepaskan dan jangan memaksa jika itu menyakitkan. Masih ada kebahagian lain yang bisa lo jempu," ucap Arka menaikkan pandangannya.     

"Apa yang lo rasain sekarang? Itu yang Kayla tanyakan ke gue sebelum kita mengakhiri pembicaraan."     

"Dan apa yang lo katakan untuk menjawab itu?" Gadis di sisinya menimpali. Mencoba untuk menelisik dan menerka apa saja yang sedang bersarang di dalam kepala remaja tampan di sisinya itu. Davira paham benar kalau rasa yang ada di dalam hati Arka Aditya teruntuk Davira Faranisa tak akan pernah berkurang dalam waktu dekat ini. Remaja jangkung yang ada di sisinya itu selalu sakja sukses menyembunyikan segala yang sedang terjadi dan dirasakan olehnya. Davira hapal benar itu. Menjadi sahabat yang sudah bertahun-tahun lamanya berbagi duka bersama, Arka tak pernah sekalipun memulai obrolan dengan membicarakan bagaimana perasaannya hari ini, apa yang sedang terjadi padanya saat ini, dan masalah apa yang sedang dihadapi oleh remaja jangkung itu sekarang ini? Jika Davira tak bertanya maka Arka tak akan pernah mau berkata.     

Bukan tak percaya denagn sang sahabat, namun remaja tampan dengan poni naik itu hanya tak ingin keluh kesalnya menjadi beban pemikiran untuk sang gadis tercinta. Arka hanya ingin melihat Davira bahagia dan tersenyum. Mendapati gadis itu tertawa bersama laki-laki yang sedang dicintainya sekarang ini saja sudah membuat Arka Aditya lega dan mengabaikan segala macam rasa sesak dan sakit yang ada di dalam hatinya.     

"Gue gak menjawab." Arka menyahut selepas diam tak bersuara dengan bentangan sunyi yang datang menyela di antara keduanya.     

"Kenapa gak jawab?"     

"Karena gue gak tahu, apa yang sedang gue rasai kemarin. Melihat Adam membuat lo sakit hati adalah luka lain yang ada di dalam diri gue kemarin. Melindungi lo dan Kayla adalah kepuasaan buat gue, dan melihat lo pergi meninggalkan Adam ... adalah harapan baru buat gue." Arka kini membuat pengakuan. Rasa yang bercampur aduk di dalam dirinya sukses membuat remaja itu tak mampu mendeksripsikan dengan baik, bagaimana perasaannya untuk menyambut dunia baru milik sang sahabat baik.     

"Kenapa harapan baru?"     

Arka menundukkan pandangannya. "Karena lo pasti akan datang ke arah gue setelah itu."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.