LUDUS & PRAGMA

70. Goodbye, Good Girl!



70. Goodbye, Good Girl!

0Semua tersenyum menyambut kedatangannya. Tatapan teduh dengan pembawaan yang luar biasa terlihat begitu berwibawa. Ia pantas disebut sebagai seorang pemimpin dengan cara menyapa yang begitu elegan. Tak terkesan sombong, tetapi begitu hangat dan bersahabat. Usianya memang terbilang muda. Namun semua percaya bahwa ia adalah gadis yang pantas untuk dipercayai menjadi seorang pemimpin dengan pemikiran dewasanya. Davira Faranisa adalah putri kandung dari bos yang sebelumnya mengelola perusahaan ini. Banyak desas desus baik yang didengar oleh seluruh karyawan pasal gadis bernama Davira Faranisa. Itulah sebab mereka menyambut dengan cara hangat dan penuh kasih sayang.     

"Nona Davira!" Seseorang berteriak. Meksipun tak lantang, tetapi cukup untuk menghentikan langkah gadis yang baru saja ingin masuk ke dalam pintu lift yang terbuka selepas ia menekannya dengan lembut. Pria itu tak asing untuk Davira, sektretaris utamanya. Tuan Raka.     

Davira menatap kesayangannya. Tersenyum ringan dengan penuh kehangatan ia lemparkan pada Tuan Raka. Pria itu menghampiri, melambatkan laju langkah kaki selepas mendekat pada posisi Davira berdiri.     

"Ada masalah? Maaf aku terlambat datang. Ada urusan yang mendadak tadi." Davira menjelaskan dengan singkat. Kembali ia melangkah masuk ke dalam lift diekori oleh Tuan Raka. Keduanya kini berdiri sejajar. Menghadap ke depan dengan arah pandang yang sama.     

Pintu lift tertutup. Memantulkan samar bayangan keduanya.     

"Ada yang menunggumu di ruang tunggu lantai enam. Dia sudah datang sejak tadi pagi." Tuan Raka mengabarkan. Sukses membuat Davira mengernyitkan dahinya sama. Ia belum memulai apapun. Namun, belakangan ini banyak yang datang menemuinya di kantor.     

"Siapa? Aku mengenalnya?" tanya Davira tersenyum manis.     

"Wanita yang waktu itu. Di datang lagi." Tuan Raka mengakhiri kalimatnya sembari mencoba mengingat-ingat nama wanita muda seusia dengan Davira yang datang waktu itu. Kala itu ia ingin melamar pekerjaan, menjadi pegawai baru di tempat ini. Davira menolaknya mentah-mentah. Bahkan gadis itu berkata pada Tuan Raka untuk tak lagi menerima kehadirannya jikalau kembali datang dan memaksa.     

"Aku sudah memberi tahu untuk tidak mengijinkan kakinya melangkah di sini lagi." Gadis itu menyahut. Tak menatap pria berkacamata yang kini menundukkan pandangannya. Bersalah, tentunya. Tuan Raka tak bisa menjalankan perintah Davira untuk pertama kalinya dengan baik.     

"Aku sudah menyuruhnya untuk pergi. Namun, ia mengatakan bahwa ini terakhir kalinya dia datang ke sini sebelum pergi jauh."     

Davira kini menoleh. Kalimat yang baru saja lolos dari celah bibir laki-laki yang ada di depannya terasa begitu aneh. Menyebut kata pergi jauh membuat pikirannya melayang entah kemana perginya.     

"Dia mengatakan akan pergi?"     

"Dia bahkan datang membawa koper." Tuan Raka menyahut. Merekahkan senyum tipis di atas wajah tampannya. Ia masih tak mengerti hubungan macam apa yang terjalin di antara dua gadis cantik itu. Tamu yang datang menyambangi tempat ini selalu dengan wajah dan ekspresi penuh penyesalan. Sedangkan gadis yang ada di sisinya terlihat begitu tak acuh sembari mencoba memendam amarah di dalam dirinya.     

Pintu lift terbuka. Tepat angka di sisi tombol memberi informasi bahwa ini adalah lantai enam. Tujuan awal Davira untuk menemui tamunya.     

"Kau akan menemuinya?" tanya Tuan Raka memastikan kala langkah Davira tak kunjung tercipta. Gadis itu masih kokoh di tempatnya. Menatap jauh ke luar pintu lift sembari sesekali menghela napasnya kasar.     

Davira kini menoleh. "Jika ada seseorang yang ingin menemuiku, tolong jadwalkan untuk nanti siang saja. Aku akan sedikit lama," titahnya pada laki-laki tua yang ada di sisinya. Tuan Raka tersenyum. Sembari menganggukkan kepalanya, tubuh pria itu membungkuk ringan. Memberi segala macam bentuk penghormatan untuk gadis yang ada di depannya.     

*** LudusPragmaVol3 ***     

Pintu kaca itu terbuka. Menampilkan tubuh seorang gadis yang duduk sembari melipat rapi kakinya dengan tangan yang masih kuat menggenggam koran harian untuk ia baca. Tak ada suara di ruangan ini, hening dan sepi adalah suasana yang tercipta kala Davira memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan. Langkah kaki gadis itu terhenti. Tepat berdiri di sisi ambang pintu sembari menatap gadis yang belum menyadari kedatangan dirinya sekarang ini.     

Ia melirik tepat di ujung sofa. Sebuah koper berukuran besar duduk rapi di sana. Menemani sang pemilik yang kokoh dalam fokusnya untuk menyapu setiap kalimat di dalam koran.     

"Katakan apa tujuan lo datang kemari." Ia memutuskan untuk membuka percakapan sekarang ini. Menyita fokus gadis berambut panjang yang mulai menurunkan koran di dalam genggamannya. Tak ada lagi yang menghalanginya untuk saling menatap. Dari jarak yang semakin dekat, Davina bisa menebak bahwa ini adalah hari bahagia untuk Davira. Gadis itu tak terlihat masam dengan ekspresi wajah yang menjengkelkan. Mungkin ia mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini. Kembali ke Indonesia, bukan hanya pasal menjalani kehidupan di lingkungan barunya. Kembali ke tempat ini adalah sebuah pilihan dengan ribuan risiko yang menghadangnya.     

"Gue?" Davina menyela. Menatap setiap langkah dan aktivitas yang diciptakan oleh Davira. Gadis itu mengambil satu sisi sofa yang kosong. Duduk di sana dengan jarak sedang yang tak terlalu jauh. Pas untuk memulai berbincang dengan lawan bicaranya.     

Davina mengeluarkan paspor yang ada di dalam tas kecil miliknya. Menyodorkan benda itu tepat mengarah pada gadis yan duduk di depannya. Davira melirik. Mencoba memastikan bahwa apa yang diberikan Davina untuk dirinya tak palsu.     

"Gue akan pergi setelah ini." Gadis itu memulai. Tak ingin berbasa-basi, sebab waktu keberangkatannya hanya tinggal dua jam lagi.     

"Jadi?" tanya Davira bersiap dingin. Pergi atau tidak, akan sama saja untuknya.     

"Gue akan terbang ke Amerika dua jam lagi. Mungkin gue gak akan kembali lagi ke Indonesia," ucapnya mempersingkat.     

Davira menyeringai. "Jadi urusannya sama gue?"     

"Gue membawa koper dan paspor ke sini untuk membuat lo yakin. Gue harap lo bisa percaya dengan apa yang gue katakan." Davina terus mengabaikan kelimat gadis yang ada di depannya. Kokoh pada apa yang ingin ia katakan pada Davira.     

"Jadi?" Davira juga kokoh pada pertanyaannya. Ia tak ingin menggubris apapun yang dikatakan oleh gadis di depannya itu. Bukan urusan Davira mau pergi kemana Davina selepas ini.     

"Jadi maafkan gue." Gadis itu menutup kalimat. Tersenyum manis sembari sesekali menghela napasnya singkat. Benar, datangnya kemari hanya untuk meminta pengampunan darinya.     

"Gue tulus mengatakan ini. Maaf karena mengambil kebahagian lo dulu," imbuhnya melirih. Mulai menundukkan wajahnya tak lagi memiliki keberanian untuk menatap Davira.     

Davira masih bungkam. Gadis itu enggan menjawab sepatah katapun sekarang ini.     

"Toh juga gue akan pergi setelah ini. Jadi kita gak akan pernah bertemu lagi. Gue sudah banyak menerima hukuman tentang apa yang terjadi di masa lalu." Davina menghentikan sejenak kalimatnya. Ia mulai menatap Davira yang menghela napasnya kasar.     

"Jadi maafkan gue," pungkasnya menutup kalimat.     

Davira menatapnya. Aneh, tiba-tiba saja ia merasakan hal yang aneh di dalam hatinya. "Kembalilah sesekali dalam setahun. Setidaknya kunjungi aku setiap akhir tahun," ucap Davira melirih sembari memainkan ujung jari jemarinya.     

... To be Continued ..     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.