LUDUS & PRAGMA

34. Hatiku, terluka.



34. Hatiku, terluka.

0  Suara dentingan ujung sendok yang membentur kasar permukaan piring kaca kini mulai samar sebab beberapa orang yang duduk mengelilingi meja makan sudah menyelesaikan aktivitasnya. Setelah berbincang dengan Arka beberapa menit lalu, satu suara nyaring meneriakki dua remaja yang entah sedang apa di lantai atas untuk segera turun dan menyantap hidangan yang sengaja dipesan untuk menjamu kedua tamu istimewanya malam ini.    

  Davira awalnya menolak dengan alasan bahwa jam segini sudah lewat dari jam makan malamnya. Jadi, ia tak bisa memaksakan perutnya untuk menerima makanan besar dan mengeyangkan lagi. Namun, bukan Desi namanya kalau tak sukses membujuk gadis bermata lebar dengan kedua pasang alis yang tipis melengkung bulan sabit itu. Mengatakan bahwa semuanya sudah terlanjur dipesan dan jikalau tak ada yang menyantapnya, maka akan mubajir nantinya.    

  Ia mengulurkan tangannya. Meraih tisu kemudian menyeka mulutnya dengan lembut. Melirik sang mama yang masih sibuk dengan gawai di tangannya.     

  "Nak Davira mau nambah lagi?" tanya seseroang padanya. Davira menoleh. Memberi sejenak tatapannya untuk wanita seusia dengan mamanya itu lalu menggeleng ringan.    

  "Tambah lagi, Nak. Sayang kalau gak di makan." Pria di sisi wanita itu menyahut kemudian. Mengembangkan senyum sembari mendorong sepiring daging untuk di dekatkan pada Davira.    

  "Makasih, Om. Davira udah kenyang banget." Gadis itu mengakhiri kalimat dengan ramah. Lagi-lagi tersenyum ringan kemudian menyenggol bahu sang mama yang kini menatapnya sejenak.    

  "Makasih makan malamnya, loh. Jadi ngerepotin kita," sahut Diana tertawa ringan. Semua yang mendengarnya ikut tertawa mengimbangi suasana akrab yang tercipta.     

  "Davira sekarang udah besar dan tambah cantik aja. Udah punya pacar, Nak?" Om Burhan—begitulah nama yang kerap diucapkan oleh orang-orang di sekitar pria berkumis sedikit tebal dengan hidung mengembang dan pipi cubby berbadan sedikit gempal— kembali membuka suara baritonnya. Pertanyaan singkat nan jelas itu membuat Davira sejenak menghentikan aktivitasnya. Melirik sang mama yang juga jelas menunggu jawaban darinya.     

  Diana bukanlah seorang mama kuno yang melarang ini itu untuk anak gadisnya. Bukan juga mama yang suka menjodoh-jodohkan putri dengan anak pengusaha kaya. Diana memberi kebebasan penuh pada Davira untuk memilih hidup dan menjalaninya dengan dewasa. Wanita itu hanya bisa mengawasi dan menuntunnya dari belakang.    

  "Belum kok, Om. Davira—"    

  "Dia baru dideketin sama temen Arka, Pa." Suara berat menyela dan mengema di ruangan. Memancing seluruh fokus untuk ikut juga memberi tatapan dan merespon kalimat yang dilontarkan oleh Arka.    

  Davira melirik tajam remaja yang duduk sedikit jauh darinya itu. Persetanan brengsek sahabat kecilnya ini!    

  "Arka cuma—"    

  "Namanya Adam." Remaja itu kembali menyela. Membuat Davira kini menggertakkan giginya samar. Awas saja besok di sekolah!    

  "Tapi Davira gak suka dia," tukas gadis itu cepat. Melirik Arka yang kini tertawa lirih sebab sukses membuat wajahnya memerah kali ini.    

  "Kalau suka juga gak papa." Desi menyahut dengan tawa ringan sebagai penutup kalimatnya. Menatap Diana yang hanya diam menyimak sembari mengangguk-anggukkan kepalanya setuju.    

  Semua orang ... sama saja!    

  "Nanti Arka cemburu."     

  Skak mat! Serangan balik dari Davira untuk memojokkan posisi Arka saat ini. Gadis itu kini menatap remaja yang melipat keningnya samar. Mengerutkan kedua sisi matanya sembari mendesisis ringan pada Davira.    

  "Arka, kamu suka Davira?" Diana menyahut seolah-olah terkejut dengan apa yang dikatakan oleh putrinya itu.     

  Arka segera mengulurkan tangannya. Menggoyangkannya perlahan untuk memberi isyarat bahwa apa yang dikatakan Davira tak benar fakta dan kebenarannya.    

  "Kalau beneran suka juga nggak papa," kekeh Diana kemudian.    

  "Ngomong-ngomong, Mbak. Aku kemarin ketemu sama Mas Denis." Satu suara menyela. Merubah seluruh suasana penuh canda tawa menjadi diam hening sejenak setelah satu nama disebut dengan tegas.     

  Diana menatap putrinya. Kemudian menoleh untuk memberi tatapan pada Desi —wanita yang sebenarnya seusia dengannya namun katanya, lebih nyaman dan enak kalau memanggil Diana dengan embel-embel kata Mbak di depannya— lalu tersenyum kecut.    

  "Dia di Indonesia?" sahut Diana lirih. Mencoba terus melirik Davira yang kini terkesan tak acuh dengan mencoba untuk menyibukkan dirinya.    

  "Aku lihat dia bandara waktu aku nganterin temen aku ke sana." Desi melanjutkan. Menatap sejenak sang suami yang juga mulai tak acuh kala nama Denis disebut dengan tegas oleh istrinya.    

  "Dia mau ke luar negeri," imbuh Desi sesaat Diana baru saja ingin membuka bibirnya. Wanita karir itu kemudian mengangguk paham. Lagi-lagi mengembangkan senyum tipis untuk menanggapi kalimat dari teman lamanya itu.    

  "Dia gak nemuin kamu, Na?" Burhan kemudian menyela. Sesekali melirik Davira yang kini sibuk mengupas jeruk yang baru saja diambilnya dari dalam mangkuk buah.     

  Diana menggeleng. Menatap putrinya yang kini memasukkan satu potong buah jeruk ke dalam mulutnya. Matanya sayu, sedikit gusar menatap putrinya itu. Davira ... tak suka buah jeruk! Namun, yang ada dan yang bisa menahan air mata serta menahan amarah dalam hatinya setelah nama itu disebut hanyalah buah jeruk. Tak ada yang lain.    

  "Aku kira dia nemuin anaknya—"    

  "Papaku sudah meninggal," sahut Davira setelah sukses menelan satu potong buah jeruk.     

  Semua kini menatapnya. Baik Desi juga suami serta Arka yang kini memberi tatapan teduh padanya. Mata gadis itu berkaca-kaca!    

  "Jadi dia tak bisa menemui kami," lanjut gadis itu kemudian.    

  Diana meraih bahu anaknya. Lirih bibirnya berucap untuk memanggil nama Davira dan memberinya satu pengertian tentang keadaan yang ada.    

  "Menyingung masalah papa, itu membuat kami mengingat kematian menyedihkan yang merengut nyawanya dari kami. Jadi aku tak bisa menahannya." Davira mengoceh sembari sesekali menggigit bibir bawahnya.    

  "Maafin tante, Davira. Tante cuma—"    

  "Kami pamit. Kami sudah selesai makan," pungkasnya bangkit. Membungkuk ringan sembari tersenyum tipis kemudian berlalu dan berjalan tegas ke arah pintu keluar.    

  Diana menunduk sejenak. Menghela napasnya sesaat tersadar bahwa apa yang terjadi barusan adalah di luar kendalinya.     

  "Diana, maafin aku yang—"    

  "Aku yang meminta maaf karena sikap Davira barusan. Dia sedikit sensitif jika menyingung masalah papanya." Diana menyela. Berusaha tersenyum seramah mungkin untuk Desi juga suaminya.    

  "Aku harap kalian masih mau menampungnya beberapa hari setelah—"    

  "Tentu. Dia sudah kami anggap seperti putri kami sendiri," sahut Burhan dengan nada ringan.     

  Diana tersenyum. "Terimakasih, kalau begitu aku dan putriku pamit. Besok sepulang sekolah dia akan ke sini dan tidur beberapa hari di rumah ini."    

  Sepasang suami istri itu mengangguk. Sesekali tersenyum ringan untuk merespon Diana yang kini bangkit dan mulai berjalan ke arah pintu keluar.    

  ***LnP***    

  Mobil itu kini melaju sedang membelah sepinya jalanan kompleks sebab malam sudah tiba. Di dalam kawasan komplek jika malam begini tak akan ada orang yang beraktivitas di luar rumah. Semuanya lelah dan malam adalah waktu yang pas untuk melepas segala lelah yang ada.     

  Wanita berusia 40 tahunan itu masih sesekali melirik putri semata wajahnya yang kini menyandarkan kepalanya di sisi pintu mobil. Membuka kaca mobil separuh dan membiarkan dinginnya hawa malam menerpa dan menerbangkan rambut panjang sedikit ikal miliknya itu.    

  Diana mengulurkan satu tangannya. Menepuk-nepuk paha gadis yang masih tak acuh dengan keberadaannya.     

  "Tutup kaca mobilnya, nanti kamu bisa masuk angin." Diana akhirnya menyela dengan suara lembutnya.    

  Gadis yang diberi perintah hanya diam sembari terus tak acuh dengan apa kata Diana.     

  "Davira," panggilnya kemudian.    

  Lagi-lagi gadis itu hanya diam tak mau bersuara atau sedikit merespon untuk kalimat yang diucapkan mamanya.    

  "Tutup jendelanya dan lihat mama," perintahnya.    

  Gadis itu masih dengan tempat dan pendirian yang sama. Bungkam tak bersuara adalah pilihannya.    

  "DAVIRA FARANISA!" sentak Diana kemudian. Menepikan mobil yang dikendarainya di sisi jalanan.    

  Gadis di sisinya menoleh.Tersenyum seringai kemudian terkekeh kecil. Diana menyipitkan matanya. Anak gadisnya ini terkadang benar-benar terlihat aneh.    

  "Mama bertemu dengannya?" tanya Davira kemudian.    

  Diana bungkam sejenak. Menarik napasnya dalam-dalam kemudian menghelanya perlahan.    

  "Dengarkan mama, sayang." Diana kini melirihkan suaranya. Menarik tangan Davira yang masih diam untuk menunggu jawaban dari mamanya itu.    

  "Mama hanya—"    

  "Mama bertemu dengannya?" Davira mengulang pertanyaannya kala sang mama mencoba untuk mengabaikan.    

  "Mama tadi bilang mama juga gak tau kalau ...."    

  "Mama bohong," sahut Davira kemudian.     

  "Mama gak bohong sama kamu. Mana mungkin mama berani berbohong sementara mama mengajarkan kamu untuk tidak berbohong pada siapapun," terang Diana menjelaskan situasi yang ada.     

  "Mama juga ngajarin aku untuk bisa membaca kebohongan seseorang 'kan?" ucap Davira tersenyum picik.    

  Diana bungkam.     

  "Arka selalu bilang sama Davira, kalau Davira berbicara panjang lebar itu artinya Davira berbicara dengan jujur. Tapi, kalau Davira mulai bungkam dan banyak diam ... itu artinya Davira sedang berbohong."    

  "Davira selalu bertanya-tanya, darimana 'kah Davira mendapat sifat aneh seperti itu. Sekarang Davira tahu jawabannya," lanjut gadis itu sembari terus menatap mamanya. Matanya kini benar-benar terasa berat sebab ribuan bulir air mata yang ditahannya agar tak keluar saat ini.    

  "Jawabannya adalah dari mama. Davira mendapat sifat itu ... dari mama," pungkasnya melepas kasar genggaman Diana.     

  Wanita itu menghela napasnya kasar. Seakan tak percaya jikalau anak semata wayangnya bisa berbicara dengan tatapan begitu mengerikan untuk gadis seusianya. Ia bahkan tak tahu, berapa banyak luka yang dipendam putrinya ini.     

  "Mama mengkhianati perjanjian kita. Mama berjanji akan terus bersama Davira dan tak pernah datang pada laki-laki itu lagi dengan imbalan Davira terus melanjutkan hidup dan membangun mimpi. Mama, mengkhianatinya dengan bertemu laki-laki itu!"    

  "Dia papamu Davira!"    

  "Papa mana yang pergi dengan wanita lain di depan putrinya sendiri, Mama!" Davira ikut berteriak kala suara lantang Diana merespon kalimatnya. Perlahan air matanya turun membasahi pipi. Kasar jari jemarinya menyeka air mata itu. Menunduk sejenak kemudian menghela napasnya kasar.    

  "Mama masih mencintainya?" tanya Davira kemudian.    

  Diana diam. Seakan tak mampu berucap sepatah katapun setelah mendengar teriakan dari putri semata wayangnya.    

  "Benar ternyata. Mama masih mencintainya," tukas gadis itu melirih.    

  "Mama hanya kasian dengan papa—"    

  "Wah, mendengar mama membelanya ... hatiku benar-benar terluka," pungkasnya menutup kalimat. Mendorong pintu mobil kemudian berjalan keluar tanpa menghiraukan teriakan dari mamanya yang terus memanggil nama Davira.     

  Diana akhirnya paham bahwa anak gadisnya sedang ingin sendiri saat ini.    

  ...To be Continued...


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.