THE RICHMAN

The Richman - Family



The Richman - Family

1Christabell mengetuk pintu kamar Eleonora, berniat untuk menawarkan sarapan pagi pada wanita itu. Setelah tiga kali mencoba dan bersiap untuk mengurungkan diri, akhirnya pintu kamar terbuka, wanita tua itu berdiri di ambang pintu dengan piyama tidurnya.     

"Em… anda mau sarapan di kamar atau ikut bergabung dengan kami sarapan di ruang makan?" Tanya Crhistabell canggung.     

Wanita itu menatap Christabell dalam-dalam, dia mencari apa yang dilihat oleh Brandon darinya. Mengapa bagi Brandon, wanita yang berdiri di hadapannya ini begitu menarik, dan mengapa Brandon bersikap begitu bodoh karena merasa gagal memiliki wanita ini.     

"Aku akan bersiap." Jawab Eleonora setelah tidak menemukan apapun.     

"Baik, kami menunggumu di ruang makan." Pungkas Christabell sebelum meninggalkan kamar yang ditempati oleh ibu tiri dari suaminya itu.     

Richard menatap isterinya yang berjalan menuju ruang makan, sementara Adrianna sudah mulai makan sarapannya begitu juga dengan Richard. "Apa dia ingin sarapannya diantar ke kamar?" Tanya Rich.     

"Tidak, dia akan bergabung dengan kita" Jawab Bell. Tak berapa lama Eleonora datang dan menarik bangku kemudian duduk berhadapan dengan Christabell, Richard dan juga Adrianna.     

"Ini tehmu" Christabell menyodorkan secangkir teh hangat. Dipagi hari Eleonora hanya menyantap roti gandum dengan biji-bijian, itu yang dikatakan Rich dan dia meminta untuk disiapkan apa yang menjadi kesukaan ibu mertuanya itu.     

"Thanks." Eleonora menyesap kopi hangat itu, dan tampak menikmati aromanya. Teh yang sama yang selalu dia seduh setiap hari selama bertahun-tahun tinggal di kediaman keluarga Anthony, bukan sembarang the karena harganyapun istimewa.     

"Christabell akan menemanimu berbelanja hari ini jika kau mau." Ujar Richard.     

Eleonora meletakkan cangkirnya. "Aku hanya ingin istirahat." Tolaknya.     

Adrianna turun dari kursinya dan memeluk wanita yang baru pertama kali di lihatnya itu, "Grandma, grandma mau bermain denganku?" Binar dimata bocah kecil itu begitu hangat hingga seluruh es yang membekukan hati Eleonora mencair seketika. Sudah begitu lama dia ingin dipanggil dengan sebutan itu.     

"Sweety…" Eleonora menyentuh wajah gadis mungil itu, seketika membuat Rich dan Bell saling menatap dan tersenyum sekilas.     

"Tentu Grandma mau main denganmu." Jawab wanita itu.     

Adrianna berteriak "Horayy!!" Dengan begitu girang. Gadis mungil itu memang sangat cerdas, baru pagi tadi Christabell menjelaskan tentang siapa Eleonora dan mengapa wanita tua itu ada dirumah mereka, dan kini Adriannalah yang justru bisa meluluhkan hati neneknya itu. Mekipun wanita itu bukan wanita yang melahirkan ayahnya, tapi Richard tumbuh dibawah asuhannya, dan keluarga tidak melulu soal ikatan darah, justru ikatan emosional jauh lebih penting.     

Richard berpamitan pada seluruh anggota keluarga termasuk ibu tirinya sebelum berangkat ke kantor sementara itu Adrianna tampak sudah langsung lengket dengan neneknya dan itu memberi ruang pada Christabell untuk mengurus baby Ben yang baru saja bangun. Tuan muda itu memang sedikit berbeda dengan bayi biasanya, dia lebih suka tidur dibandingkan aktifitas lainnya, apalagi jika perutnya kenyang.     

***     

Eleonora duduk di sebelah Adrianna dan membacakan dongeng untuk bocah kecil itu.     

"Apa dulu daddy sering meminta Grandma membacakan dongeng?" Tanyanya polos, membuat Eleonora tersenyum sekilas.     

"Tidak sayang, ayahmu lebih suka membaca buku sendiri di kamarnya." Jawab wanita tua itu, benar memang Richard tumbuh menjadi anak yang mandiri dan lebih sering menghabiskan waktunya untuk menikmati hobinya sendiri. Eleonora hampir tidak punya waktu untuk bicara pada Richard. Hanya sesekali Richard mau bicara padanya.     

"Apa daddy anak yang penurut saat kecil?" Adrianna benar-benar bisa menyihir Eleonora dengan binary dimatanya setiap kali mereka bersitatap.     

Eleonora menaikkan alisnya sekilas, seolah mengkonfirmasi, namun sejurus kemudian dia menjelaskannya dengan panjang. "Ayahmu anak yang baik. Dia penurut dan tidak pernah membuat masalah." Terangnya, dan itu membuat Adrianna semakin mengagumi ayahnya itu. "Dia juga sangat menyayangi orangtuanya." Imbuhnya. Yang dia maksud adalah ayah dan mendiang ibunya. Meskipun tidak pernah mengungkapkan rasa cintanya secara verbal, namun dalam batin Eleonora, dia juga yakin betul bahwa putera tirinya itu mencintai dirinya juga.     

"Ayahmu adalah orang yang baik." Puji Eleonora, dan tak sengaja pujian itu terdengar oleh Christabell yang melintas di depan kamar Adrianna dengan pintu yang setengah terbuka. Christabell menahan langkahnya dan memilih untuk sedikit lebih lama menguping untuk mendengarkan apa saja yang dibicarakan cucu dan neneknya itu.     

"Bisa ceritakan padaku kejadian lucu saat daddy kecil, Grandma. Kumohon…" Adrianna lagi-lagi melontarkan kalimat yang benar-benar diluar dugaan Eleonora. "Daddy tidak pernah menceritakan masakecilnya padaku. Daddy bilang, tidak banyak yang bisa diceritakan." Ujar bocah itu menirukan gaya bicara ayahnya dan itu membuat Eleonora terkikik geli.     

"Oh ya, ada sebuah kejadian lucu. Waktu itu ayahmu sangat takut dengan laba-laba, dia berteriak-teriak saat ada laba-laba masuk ke dalam kamarnya." Eleonora memulai cerita. "Ayahmu mungkin tidak takut pada ular, buaya, singa atau hewan lainnya, tapi lucunya dia bisa sangat ketakutan saat melihat laba-laba berada di dalam kamarnya." Terangnya, dan itu membuat Adrianna cekikikan.     

"Kenapa daddy sangat takut laba-laba?"     

"Dia takut jika harus berubah menjadi spiderman saat laba-laba itu mengigitnya." Eleonora menceritakan satu-satunya aib yang dimiliki oleh Richard dimasa mudanya, dan itu berhasil membuat Christabell ikut tersenyum lebar. Dia jadi punya ide untuk mengerjai suaminya itu. Bell undur diri dari tempatnya berdiri dan berjalan kea rah dapur untuk mengambil potongan buah dan membawanya ke kamar Adrianna.     

Bell masuk kedalam setelah mengetuk pintu, "Aku membawakan potongan buah." Senyumnya lebar meskipun tak langsung dibalas oleh Eleonora.     

"Mommy, aku akan bermain dengan Zoey." Dia langsung berlari keluar kamar begitu melihat Zoey melintas. "Zoey, kita harus bermain kau ingat?" Protesnya pada sang pengasuh dan Zoey tampak segera mengikuti kemauan Adrianna, menyisakan dua orang wanita dewasa, Christabell dan Eleonora Anthony.     

"Aku benar-benar ingin meminta maaf jika aku dipersalahkan untuk semua yang terjadi." Ujar Christabell, rasa bersalah itu jelas mengganjal di dalam hatinya, meski sesungguhnya Christabell tidak ikut campur sama sekali dalam semua kejadian yang terjadi.     

Eleonora menghela nafas dalam. "Sejak dulu Richard dan Brandon memiliki selera yang berbeda. Meskipun mereka terkadang bertengkar untuk memperebutkan mainan atau sebuah benda tapi mereka tidak pernah melakukannya sampai sejauh ini." Ujarnya sembari meremas tangannya sendiri. Eleonora tampak begitu gelisah.     

Christabell meraih tangan wanita itu. "Aku tumubuh tanpa ibu yang merawatku, dan kini aku menjadi ibu dari dua orang anak. Aku bisa mengerti perasaan kehilangan yang kau alami. Aku sungguh menyesal untuk semua yang terjadi."     

Eleonora mulai berkaca. "Aku mengandung Brandon dan membesarkannya sendiri. Banyak hal buruk kualami demi tetap bisa memberikan kehidupan yang layak untuknya. Aku berharap banyak pada anak itu, dan sekarang semuanya sia-sia."     

"Kau masih memiliki puteramu yang lain." Christabell menatap dalam mata wanita tua yang mulai keriput itu. "Dan jika kau mau, aku sungguh ingin memanggilmu mommy." Ujar Bell dengan bibir bergetar. Ingatan akan Layla Stone melintas jelas di benaknya. Ibu yang ingin dia rawat di masa tuanya namun pergi begitu saja meninggalkannya.     

Air mata Eleonora berjatuhan, dia merangkul Christabell dalam dekapannya. Hatinya hancur saat menyadari bahwa nilai kehidupan yang selama ini dia cari ternyata salah. Uang bukanlah segalanya meski hampir segalanya butuh uang. Cinta, dan kasih sayang seharusnya menjadi nilai yang dia perjuangkan, dan jika itu benar yang dia kerjakan sedari muda tentu dia tidak akan mengalami banyak kekerasan yang bahkan ikut disaksikan oleh puteranya sendiri Brandon. Mungkin saja semua kekerasan fisik, verbal dan juga seksual yang dialami ibunya meninggalkan bekas tersendiri dalam diri Brandon hingga akhirnya membuat kondisi kejiwaanya tidak stabil.     

"Aku tidak pantas mempersalahkan siapapun atas apa yang menimpa puteraku." Ujar Eleonora setelah melepaskan pelukannya dari Christabell. "Aku memberikan kehidupan yang keras dan sulit baginya dimasa kanak-kanak hingga dia tumbuh seperti ini." Matanya menerawang jauh tak bertepi.     

"Mungkin jika aku bertemu dengan ayah Richard lebih awal dan Brandon tidak melihat begitu banyak kekerasan yang menimpa ibunya, kejiwaannya tidak akan terguncang." Imbuhnya. "Aku berbicara dengan dokter yang merawatnya dan dokter itu mengatakan, ada banyak dendam yang disimpan olehnya. Dia membenci banyak orang yang melukai ibunya. Begitu banyak adegan kekerasan yang dilihat langsung olehnya saat kanak-kanak membuatnya merasa bahwa bertindak kasar itu diperbolehkan." Eleonora menatap Christabell, sesekali airmatanya masih jatuh.     

Wanita itu mengambil tissue dan menyeka jejak air matanya. "Aku berkencan dengan beberapa pria untuk bertahan hidup. Dan setiap kali mereka tidak puas dengan apa yang kuberikan mereka akan memakiku, memukul, menendang bahkan meludahiku. Dan itu semua didengar dan dilihat Brandon dari dalam lemari pakaian tempatnya selalu bersembunyi jika kekasihku datang." Air matanya kembali berjatuhan. "Kala itu usia Brandon baru lima tahun, dia masih sangat kecil." Imbuhnya lagi, hatinya bagaikan tersayat-sayat saat mengatakan semua itu pada Christabell.     

Cerita yang selalu dia simpan untuknya sendiri. Bahkan mendiang Ayah Richard juga tidak pernah mendengar cerita itu. Mereka berkenalan sebagai dua orang dewasa yang tidak lagi memiliki pasangan, dan kala itu Eleonora sudah berada di posisi yang sedikit lebih baik. Meskipun tidak kaya, dia tidak lagi bergantung hidup dari satu pria ke pria lainnya, namun ayah Richard berhasil membuatnya bergantung sepenuhnya.     

"Bertemu dengan ayah Richard adalah keajaiban dalam hidupku." Terangnya. "Dia pria yang tampan, baik hati dan penyayang." Kenang Eleonora. "Meskipun dia mengatakan bahwa mendiang isterinya adalah satu-satunya wanita yang dia cintai dan akan tetap seperti itu sampai akhir hayatnya, tapi dia menghormatiku sebagai seorang wanita. Dia juga menjaga puteraku seperti putera kandungnya."     

"Aku jatuh cinta padanya." Eleonora mengungkapkan kejujuran lain yang tidak pernah dia katakana pada siapapun bahkan putera kandungnya sendiri.     

Christabell membeku mendengarnya. "Semua wanita yang berada dekat dengannya akan merasa nyaman dan dicintai, juga di hargai." Ujarnya. "Meski sampai akhir hayatnya dia tidak pernah mengatakan bahwa dia mencintaiku, aku tetap mencintainya." Ujarnya.     

"Aku mengerti perasaanmu." Christabell meremas tangan wanita tua itu.     

Eleonora menghapus air matanya. "Bersusah payah aku berusaha menjadi wanita yang sempurna agar dia bisa memandangku sebagai isteri yang sesungguhnya, tapi dia tidak melakukannya. Ayah Richard adalah pria yang setia, dan Richard menuruni semua sifatnya itu." Eleonora mengakhiri kalimatnya dengan seulas senyuman, dan Christabell mengangguk setuju.     

"Sekarang aku mengerti mengapa puteraku begitu menginginkanmu." Eleonora meraih wajah Christabell dan menatapnya dalam, sementara Christabell terlihat beingung.     

"Kau sangat sederhana, lembut, hangat, dan penuh perhatian. Aku bisa melihat ada cinta didalam tatapn matamu setiap kali kau bicara pada Richard." Terangnya. "Brandon merindukan itu dari ibunya, dia ingin memiliki seseorang yang seperti itu dalam hidupnya, karena aku tidak seperti itu." Ungkapnya penuh sesal.     

"Aku selalu ambisius dan memaksanya melakukan banyak hal yang aku inginkan, semua itu kulakukan karena aku lelah menjadi miskin. Bagiku harta adalah segalanya saat itu hingga aku lupa bagaimana menatap puteraku dengan penuh cinta seperti yang kau lakukan pada Richard dan anak-anakmu, bahkan padaku, orang asing bagimu."     

"Mommy…" Christabell memeluk wanita itu. "Bagiku kau adalah ibu dari suamiku, dan bukan orang asing samasekali."     

Eleonora bergetar dalam tangis. Dia benar-benar terharu dengan penerimaan Richard dan isterinya yang sedemikian baik. Sebelum itu, saat mendengar kabar kematian puteranya yang tewas ditembus peluru polisi karena membuat keonaran di sebuah rumahsakit, Eleonora sempat berpikir bahwa dia akan berakhir di panti jompo, tempat orang-orang tua yang tak lagi diinginkan oleh anak-anak mereka. Menjadi tua dan pikun, bahkan di saat kematiannya tak akan ada orang yang menangis di pemakamannya, tapi kini semua berubah. Dia merasa bahwa dia masih layak untuk hidup dan dia merasa memiliki keluarga. Richard adalah putera dari pria yang dicintainya di sisa hidupnya, dan memanggilnya ibu meskipun tak lahir dari rahimnya.     

Brandon memang darah dagingnya, tapi pilihannya sudah membuat mereka tak lagi bisa bersama. Menyesalpun tak ada gunannya lagi. Mulai sekarang Eleonora merasakan bahwa dirinya benar-benar ingin hidup. Ditengah keluarga Richard dia merasa dilahirkan kembali, menjadi pribadi yang berbeda, menjadi ibu, menjadi nenek, dan itu sangat membahagiakan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.