THE RICHMAN

The Richman - Step Mother



The Richman - Step Mother

0Anak-anak sudah jatuh tertidur beberapa waktu meskipun lebih larut dibandingkan hari-hari biasanya. Wajah Richard yang semula berseri setelah sempat melihat isterinya melintas di hadapannya hanya dengan handuk, dan sudah lebih dari dua minggu dirinya tidak mendapatkan kesempatan untuk memuaskan hasratnya karena baby Ben menderita influenza dan menyita perhatian ibunya sepenuhnya.     

"Apa Ben sudah tidur?" Tanya Rich kesal. Christabell yang baru saja membaringkan puteranya itu tersenyum lebar ke arah suaminya.     

"Masih ada satu PR, memeriksa Adrianna di kamarnya." Ujar Bell sembari menggulung rambutnya.     

"Akan kuperiksa, kau Kau punya waktu untuk bersiap-siap Mrs. Anthony." Binar dimata Richard mulai muncul dan dia bergegas keluar dari kamar untuk memeriksa Adrianna di kamarnya. Richard baru saja membetulkan posisi selimut puterinya itu saat Adrianna tiba-tiba mengigau dan memegang erat tangan ayahnya.     

"Oh...." Richard menahan diri untuk tidak segera melepaskannya. Rich terpaksa harus duduk di tepi ranjang Adrianna sampai bocah itu mulai melepaskan tangannya. Dan benar saja, lima menit menjadi waktu yang sangat lama bagi Richard karena hasratnya sudah sampai di ujung kepala rasanya.     

Richard bergegas meninggalkan kamar Adrianna setelah mengecup lembut kening puterinya itu, dan dengan sangat percaya diri dia kembali kedalam kamar dan langsung mengunci pintu. Suasana di dalam kamar sudah sangat mendukung dengan hanya menyisakan lampu tidur dan Christabell tampak sudah setengah berbaring di atas ranjang menunggu suaminya.     

Richard merangkak naik ke atas dan langsung meraih bibir isterinya dengan miliknya. Menciumnya dengan penuh gairah, bahkan deru nafasnya terasa menerpa wajah isterinya itu. Tangannya dengan terampil menyusup di balik leher jenjang Christabell dan mencengkeram di sana sambil terus menciumi Bell.     

Sementara satu tangannya yang bebas segera bergrilya di balik piyama tidur berbentuk kimono dengan warna hijau botol yang dikenakan isterinya itu. Christabell meliuk saat area sensitifnya disentuh oleh suaminya, dan Richard tidak membuang waktu untuk mengekplorasi wilayah-wilayah jajahannya. Tempat-tempat paling sensitif milik isterinya itu sudah dia hafalkan diluar kepala.     

Suasana semakin panas karena Christabell tak tinggal diam, sesekali dia membalas serangan yang berikan oleh suaminya itu dan berhasil membuat Richard terkejut dalam kenikmatan. Baru saja menuju puncap forplay tiba-tiba ponsel Rich berbunyi, dan cukup keras untuk bisa membangunkan baby Ben.     

"Shit!" Umpat Rich, dia melepaskan ciumannya dan merangkak untuk menggapai ponselnya, kemudian menatap ke layar ponsel untuk melihat siapa yang menghubunginya. Dilayar tertulis "mom calling" alis Richard berkerut, meski dia sudah mematikan suara ponselnya, tapi panggilan itu masih menyala-nyala dalam getar menanti di jawab.     

Christabell berbalik, dan mengintip dari balik punggung suaminya.     

"Kau tidak ingin menerimanya?" Bisik Bell.     

Richard tampak menghela nafas dalam. "Halo." Akhirnya Rich membuka suara.     

"Aku berada di pagar depan rumahmu dan para penjaga melarangku masuk." Ujar wanita itu.     

"Wait." Richard mengakhiri panggilannya, dia berbalik dan menatap isterinya. "Dia ada di depan gerbang." Ujar Rich.     

Christabell menatap dalam pada Richard. "Do what you want to do." Dia mengusap punggung suaminya itu untuk memberikan dukungan. Christabell tahu betul bahwa Richard adalah pria penyayang. Dia tidak mungkin meninggalkan ibu tirinya itu sendiri setelah wanita itu berusia senja dan tidak ada lagi yang bisa dia andalkan di masa tuanya.     

Richard mengecup bibir isterinya itu sekilas, "Kita lanjutkan nanti." ujarnya, kemudian mengambil kaos yang sempat dia tanggalkan tadi dan mengenakannya sembari berjalan keluar dari kamar.     

***     

Sesampai diluar pagar, Richard mengambil alih koper ibunya dan menyeretnya masuk.     

"Mengapa kau datang sangat malam?" tanya Richard, begitu mereka sampai di dalam rumah dan duduk di ruang tamu rumah besar milik Rich.     

"Aku kehabisan uang." Jawab wanita tua itu.     

"Aku akan meminta orang menyiapkan kamar untukmu." ujar Richard.     

"Terimakasih karena tidak menolakku." Ujar wanita itu.     

Richard memeluk wanita tua itu dan Eleonora justru membeku saat kehangatan tubuh putera tirinya itu memeluknya. "Aku selalu menganggapmu sebagai ibuku." Ujar Rich.     

"Istirahatlah, kita bisa bicara besok." Richard menatap mata wanita tua itu sebelum meninggalkanya. Sementara Eleonora mengunci pintu kamarnya dari dalam, Richard berjalan gontai menuju kamarnya. Hasratnya yang menggebu pada isterinya mendadak menguap hilang. Saat dia masuk ke dalam kamar, binar dimatanya sudah tak tampak.     

Richard merangkak naik ke ranjang dan meringkuk di pelukan Christabell. Airmukanya benar-benar kusut. Jemari Bell menari di sela-sela rambutnya yang lebat, mencoba memberikan ketenangan.     

"Is she ok?" Tanya Bell lirih, meski Bell tahu tidak ada yang baik-baik saja setelah melihat wajah suaminya pasca bertemu dengan ibu tirinya beberapa saat lalu.     

Rahang Rich mengeras sekilas. "I have no idea, dia terlihat sangat menyedihkan." Rich membelit isterinya itu lebih ketat dengan kedua tangannya, karena berada di pelukan Christabell adalah tempat terbaik untuk mengaduh. "She has nothing left..." Ujar Richard lirih, "Dan semua itu karenaku."     

"Don't blame your self honey." Bell merunduk mengecup kepala suaminya. "Aku tahu kau sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk melindungi semua orang, tapi tidak semuanya bisa berjalan seperti yang kau inginkan, it's part of destiny, it's not your fault." Christabell membesarkan hati suaminya itu.     

"Dia akan baik-baik saja, kita berdua akan merawatnya dan membuatnya merasa memiliki keluarga." Ujar Christabell.     

Richard tersenyum, tapi tampak ironis. "Kau tidak mengenal siapa Eleonora sayang." Jawab Richard.     

"Beritahu aku kalau begitu, agar aku bisa menentukan sikapku."     

Richard mendongak menatap isterinya itu. "Terimakasih sayang." Richard menyibakkan rambut Christabell yang menjuntai dan menyentuh wajahnya. "Maaf aku kehilangan moodku."     

"It's ok." Bell mencoba mengerti. "Belakangan ini kehidupan terasa begitu mengejutkan. Banyak sekali kejadian yang membuatku sulit mencernanya."     

Richard berguling dan memberikan ruang di sisinya agar isterinya bisa berbaring sejajar dengannya. "Terkadang aku berpikir, bagaimana jika malam itu aku tidak memilihmu."     

"Maka kita tidak akan ada di tempat ini sekarang, berbaring di samping box bayi, tidak akan ada Adrianna dan Ben."     

"Belum tentu." Richard tidak setuju.     

"Lalu?" Alis Christabell bertaut. "Aku pernah mendengar seseorang berkata padaku, jika seseorang ditakdirkan untuk berada di jalanmu, dan dia tidak bertemu denganmu malam ini, maka mungkin kau akan bertemu dengannya besok pagi, tahun depan atau beberapa puluh tahun lagi, tapi kalian pasti akan bertemu, hanya cara, tempat dan waktunya yang berbeda."     

Christabell beringsut, meletakkan kepalanya di lengan suaminya, dan bersandar penuh. "Jadi kau tetap yakin bahwa kita akan bersama meskipun malam itu mungkin kita tidak bertemu?"     

"Bisa jadi."     

Christabell mendongak menatap suaminya. "Apa kau pernah berpikir menyesal bertemu denganku sayang?" Tanya Bell pada suaminya itu.     

Richard menjawab cepat. "Meet you was the best part of my whole journey."     

"Tapi setelah kita bersama, begitu banyak kejadian buruk terjadi." sesal Christabell.     

"Mengapa kau hanya menghitung hal buruknya saja, kau tidak memperhitungkan berapa juta kejadian baik yang juga kita alami. Mengapa memperbandingkan baik dan buruk, itu sudah menjadi kesatuan dalam hidup, ada yang indah dan ada yang kurang indah." Richard memprotes kalimat isterinya itu. "But, as long as we're together, all the bad times are still good for me."     

"I love you Richman." Christabell mengecup bibir suaminya itu, dan entah mengapa, meski gairah itu sempat padam beberapa saat lalu, tapi Rich seolah menemukannya lagi saat bibirnya berhasil melumat kelembutan dan kehanatan bibir isterinya. Namun karena Christabell tahu bahwa Rich sudah kehilangan mood, maka dia berniat untuk menarik diri, tapi Rich memaksanya tetap berada di tempatnya dengan mengetatkan pelukannya.     

"Don't move." Bisik Richard.     

Jemari Rich menyusup dan memegang tengkuk Christabell untuk menyangganya tetap di posisi sementara bibirnya terus mengeksplorasi kelembutan bibir sang isteri. Rich bahkan mendorong lidahnya untuk menemukan lidah isterinya itu dan bermain dengannya. Ciuman yang begitu dalam dan penuh gairah, disambut dengan jemari christabell yang segera menarik ujung kaos yang dikenakan suaminya hingga lolos melalui kepalanya dan membuat otot-otot perut Richard Anthony terlihat begitu menggoda.     

Christabell tak pasrah begitu saja, dia mendorong suaminya untuk berbaring terlentang kemudian beringsut untuk melucuti celana suaminya. Dengan berani Christabell memulai pemanasan oral memunggungi suaminya, membuat Richard meringis menahan ngilu yang membawa kenikmatan.     

"Ahhhh..." Erangnya saat Christabell benar-benar mulai liar dan tak terkendali. Hasrat yang sudah tersimpan selama beberapa hari tampaknya kembali bangkit dan kini justru meluap-luap, membanjir hingga membuat seluruh ruangan menjadi panas.     

Mengeksplorasi berbagai posisi untuk memberikan kenikmatan satu sama lain membuat mereka sulit untuk berhenti. Deru nafas mereka bersahutan, apalagi saat Christabell melakukan pose vaforitnya, berada diatas dan memimpin permainan. Richard dengan kedua lengan kekarnya membantu Christabell bergerak hingga mereka menemukan pelepasannya, dan Christabell terhuyung jatuh ke pelukan suaminya.     

Nafas mereka masih memburu dengan sisa-sisa keringat yang membanjir sementara di seluruh rumah semua terasa hening. Berselang tiga ruangan dari kamar Richard dan Christabell terdapat kamar yang ditempati oleh Eleonora, dia meringkuk sendiri di balik selimut dengan air mata berderai.     

Teringat olehnya bagaimana dia melewati hari-hari yang buruk, membesarkan seorang putera tanpa pernikahan. Bergantung dari satu pria ke pria lainnya, berkali-kali menjadi simpanan, mendapatkan kekerasan fisik, verbal maupun seksual demi tetap bisa menghidupi satu-satunya putera yang dia harapkan di masa tua akan menjadi tempat bergantung saat tubuhnya tak lagi berdaya untuk bertahan sendiri.     

Bertemu dengan ayah Richard adalah bagian terbaik dari kehidupan Eleonora. Meski seumur pernikahannya, Eleonora tidak pernah merasakan hubungan layaknya suami isteri karena ayah Rich lebih menganggapnya sebagai wanita lain yang tinggal di dalam rumah untuk membantu menjaga puteranya. Bagi Eleonor itupun tak jadi masalah asal dia bisa menghidupi Brandon dengan layak dan bisa memberikannya fasilitas pendidikan yang terbaik.     

Ayah Richard tidak pernah membedakan mereka berdua dari segi fasilitas, baik itu pangan, sandang dan papan, juga kendaraan. Yang membedakan Brandon dengan Richard adalah nama mereka tertera di dalam surat wasiat dengan prosentase pembagian kekayaan yang jauh berbeda. Richard mendapatkan delapan puluh persen lebih kekayaan ayahnya sementara Brandon dan ibunya hanya duapuluh persen.     

Meski begitu, karena kekayaan ayah Rich yang begitu banyak, bahkan duapuluh persen saja sudah sangat banyak. Sayangnya Brandon tidak tumuh seperti Richard, meski dibesarkan dengan berbagai fasilitas yang sama. Dia memiliki darah ayah biologisnya yang adalah seorang musisi jalanan. Brandon suka dengan musik dan hidup untuk apa yang disukainya. Terkadang saat dirinya sedang merasakan kebuntuan saat bermusik, Brandon lari ke obat-obatan terlarang dan juga alkohol. Dua puluh persen harta kekayaan yang dimilikinya habis dalam sekejap.     

Meski begitu, Richard masih terus menopang hidup ibu dan adik tirinya itu hingga setahun terakhir. Dia bahkan masih terus mengirim uang untuk membayar biaya rumahsakit meski Brandon tak lagi dirawat.     

Eleonora menangisi nasib putera kandungnya Brandon Anthony, sekaligus menangisi kebaikan hati putera tirinya Richard Anthony. Meski tak lahir dari rahimnya, tapi Eleonora benar-benar bisa merasakan ketulusan hati Richard. Dia dilahirkan dari rahim seorang ibu yang begitu tulus bagaikan malaikat dan kebaikan hati ayahnya yang tak berbatas membuatnya tumbuh menjadi pria mapan yang memiliki kelembutan hati dan juga tanggung jawab.     

"Maafkan aku puteraku..." Bisiknya disela tangisnya. Dia meminta maaf untuk Brandon yang bernasib malang juga untuk penolakannya pada Richard, sang anak tiri yang meski sudah disakiti berkali-kali tetap memaafkannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.