THE RICHMAN

The Richman - Adrianna



The Richman - Adrianna

0.Richard tampak duduk di meja makan menghadapi kopi dan juga surat kabar sementara Ben yang tampak sudah sangat terlambat, tergopoh-gopoh berlari menuju susu dan sandwich yang disiapkan untuknya .     

"Pelan-pelan sayang." Christabell memperingatinya.     

Eleonora sang nenek yang sudah sangat tua tampak menggelengkan kepala melihat tingkah sang cucu. Sementara itu Adrianna sesekali melirik ke atas ponselnya yang ada di atas meja. Richard memperhatikan puterinya itu diam-diam.     

"Makananmu akan dingin jika hanya kau aduk-aduk seperti itu." Ujar Richard dan Adrianna dibuat terkejut oleh teguran sang ayah. Adrianna segera menyuapkan satu sendok penuh telur orak-arik itu ke dalam mulutnya. Christabell menyipitkan mata ke arah suaminya dan menggeleng, menandakan agar Rich tidak memaksa Adrianna.     

"Hari ini ayah yang akan mengantarmu." Richard melipat korannya dan menatap ke arah Adrianna, hal itu begitu mengejtukan bagi Adrianna hingga dia hampir tersedak makanannya.     

"Tapi aku akan pergi dengan patric hari ini." Tolak remaja cantik itu.     

Richard melipat tangannya, "Patrick akan mengantar Ben hari ini."     

"Mommy?" Adrianna yang biasanya tidak berargumen mendadak berani memperjuangkan apa yang jadi pilihannya dan itu semakin membuat kecurigaan ayahnya memuncak.     

Richard menatap ke arah Christabell, "Mommy hari ini ada acara di yayasan, bukan begitu sayang?" Richard memaksa Christabell untuk bersekongkol dengannya dan mengiyakan apa yang dikatakannya.     

"Iya sayang, maaf, mommy baru membaca undangannya pagi ini." Bell memang tak pandai berbohong, tapi ekspresinya cukup untuk menipu anak-anaknya.     

"Aku akan berangkat dengan Patric, hari ini aku ada ujian pagi." Ben Segera mencium ibunya dan melambai pada ayahnya, meskipun lengannya mengalami cidera tapi dia tak tampak menderita kesakitan atau apapun.     

Adrianna akhirnya diam dan memilih untuk menerima takdirnya, memiliki ayah yang super posesif memang tidak mudah, dan dia harus menerima itu.     

***     

Richard menyetir sendiri mobilnya sementara Adrianna duduk di sampingnya.     

"Kau tidak suka daddy mengantarmu?" Tanya Richard, karena hampir separuh perjalanan Adrianna tidak bersuara barang sedikitpun. Gadis itu menoleh ke arah ayahnya dan menggeleng.     

"Kau sudah punya kekasih?" Richard tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk menanyakan pertanyaan yang beberapa waktu terakhir bersarang di kepalanya.     

"Tidak." Adrianna menggeleng, jelas sekali dia tidak suka diinterogasi oleh ayahnya seperti itu.     

Richard menghela nafas dalam, "Daddy tidak bisa membiarkanmu diganggu anak brandal itu." Ujar Richard, mendadak itu melembutkan hati Adrianna. "Harusnya kau punya pacar, jadi ada yang menjagamu dari para brandalan itu." Keluh Richard, entah mengapa Adrianna menoleh ke arah ayahnya itu dengan binar terselubung di matanya.     

"Kenapa kau menatap daddy seperti itu?" Tanya Richard, dan puterinya mengangkat bahu. "Aku hanya berpikir Daddy tidak akan pernah mengijinkanku." Jawabnya polos.     

"Kau hampir tujuh belas tahun dan tidak ada alasan daddy melarangmu." Ujar Richard.     

Adrianna tertunduk, "Aku punya teman, tapi dia bukan kekasihku." Akhirnya Adrianna mengaku, dan inilah yang di tunggu-tunggu oleh ayahnya. Sebenarnya dalam hati, Richard tidak begitu rela jika puterinya di sentuh oleh anak-anak ingusan yang sangat berpotensi melukai hati puterinya. Richard tidak siap menerima kenyataan melihat puteri kesayangannya suatu hari mengalami patah hati, meskipun patah hati bukanlah hal yang bisa di hindarkan dari kehidupan kawulamuda.     

"Siapa anak itu?" Tanya Richard.     

"Javier." Adrianna begitu lugu hingga langsung membuka semua rahasianya di hadapan sang ayah yang memang begitu pandai menggunakan dominasinya untuk membuka suara sang puteri.     

Richard mengerucutkan bibirnya sekilas, seolah sedang mempertimbangkan sebuah strategi baru. "Ajak dia bertemu daddy."     

"WHAT?!" Mata Adrianna membulat, hampir saja lepas dari kerongkongannya. "Apa yang akan daddy lakukan padanya?" Adrianna tampak tidak percaya dengan niat baik sayang ayah.     

Richard tersenyum, dia menggeleng tak percaya. "Pertanyaan macam apa itu? Kau berpikir daddy akan menembaknya di tempat?" Richard terkekeh.     

Adrianna melempar pandangannya keluar melalui kaca mobilnya. "Sampai kapan Daddy akan seperti ini?" Tanya Adrianna mendadak, dan pertanyaan itu sempat membuat Richard tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Rahang Richard mengeras sekilas.     

"Daddy hanya tidak ingin ada yang melukaimu." Jawabnya kemudian.     

Adrianna menatap ayahnya, "Aku sekarang enambelas tahun, hampir tujubelas tahun dan tidak pernah sekalipun aku membantah apa yang daddy katakan padaku. Tidakbisakah Daddy percaya padaku sedikitpun?"     

Richard menghela nafas, dia terlihat merasa bersalah. "Ini bukan soal percaya atau tidak percaya sayang, Daddy justru tidak bisa mempercayakan dirimu pada orang lain. I don't want anyone hurt you."     

Adrianna mendengus kesal. "Aku cukup dewasa untuk menjaga diriku sendiri, selayaknya anak usia remaja seperti teman-temanku. Mereka semua memiliki kebebasan yang seharusnya mereka dapatkan dari orangtua mereka. Mereka diberikan tanggungjawab untuk menjaga diri mereka sendiri dan mereka bisa, mengapa aku tidak?"     

Richard mengusap-usap dagunya dengan telunjuk, sementara satu tangannya tetap memegang kendali setir mobilnya. "Kita buat kesepakatan." Rich menawarkan win-win solution untuk puterinya itu.     

"Apa?" Adrianna tampak tak ingin mendengar tawaran ayahnya itu, sudah barang tentu tawarn itu akan menguntungkan ayahnya dibandikan dirinya.     

"Aku akan memberikan kebebasan bersyarat padamu setelah usiamu genap tujuhbelas tahun. Kau akan memiliki mobilmu sendiri, dan kau boleh berhubungan dengan lawan jenis secara terbatas." Richard jelas memberikan garis bawah tebal dalam kalimat "berhubungan dengan lawan jenis secara terbatas." Dia tidak ingin puterinya itu kehilangan masa muda yang menyenangkan karena terlalu sibuk mengurus asmara. Dia benar-benar ingin puteri kesayangannya hidup seperti dirinya, belajar banyak, karena Adrianna jauh lebih potensial untuk melanjutkan bisnis keluarga dibandingkan dengan adiknya Ben yang lebih senang dengan kehidupan tanpa aturan.     

Adrianna menghela nafas, "No choice." Dia mengangguk pasrah.     

Richard menoleh sekilas ke arah puterinya itu, "Kau tahu, Daddy berharap banyak padamu." Jujurnya, dan Adrianna mengangguk.     

Tak terasa perjalanan mereka berakhir di pelataran sekolah. Richard yang semula berniat untuk tetap di dalam mobil akhirnya berubah pikiran saat seorang pria muda menghampiri puterinya dan terlihat dari kaca depan mobilnya.     

"Adrianna!" Panggil Richard, Adrianna menghentikan langkahnya dan tak langsung menoleh, tapi Richard tidak membuang waktu, dia berlari kecil ke arah puterinya, sementara Adrianna tampak sibuk mengusir teman prianya itu dan si pria bersikukuh untuk tidak pergi.     

"Sir." Sapa Javier Walton, si anak muda yang tampaknya memiliki kepercayaan diri setinggi langit hingga dia tak takut pada apapun dan siapapun. Dia bahkan mengulurkan tangan pada Richard, meskipun Richard tidak terlalu suka melihat puterinya berada dekat dengan teman pria, tapi sikap gantlemen yang dia lihat dari anak muda ini cukup meluluhkan hatinya. Richard menjabat tangan anak muda itu.     

"Javier Walton." Jav menyebutkan namanya.     

"Richard Anthony." Jawab Richard, dia jelas sekali ingin menunjukan dominasinya, tapi itu tidak terlalu berpengaruh pada Jav. Meskipun usia keduanya terpaut jauh, bagaikan ayah dan anak, tapi Jav juga tampak dominan dan tidak terintimidasi sama sekali.     

"Aku teman sekelas Adrianna." Javier menjelaskan siapa dirinya.     

"Oh, bagus. Tolong jaga puteriku dari anak-anak nakal yang suka mengganggunya."     

Javier tersenyum lebar. "Pasti Sir." Janjinya tegas.     

"Ok, daddy akan menjemputmu pulang sekolah." Ujar Richard, Dia jelas langsung memasang kuda-kuda dan memperketat penjagaan terhadap puterinya itu. Tidak akan dibiarkannya Javier Walton punya akses sedikitpun lebih leluasa untuk bersama puterinya kecuali di dalam kelas.     

"Saya bisa mengantar Adrianna jika anda tidak keberatan. "Jav menawarkan diri, tapi Richard hanya tersenyum sekilas.     

"Kami sudah sepakat soal ini anak muda." Richard menepuk pundak Jav dan berlari kecil kembali ke mobilnya. Adrianna memutar matanya dan Javier tampak begitu kagum dengan karisma yang dimiliki ayah Adrianna.     

"Ayahmu sangat keren." Puji Jav.     

Adrianna mengangkat bahunya. "Lebih seperti sangat menyebalkan." Jawab Adrianna sambil berjalan masuk ke pintu utama menuju bangunan utama sekolah tempat kelasnya berada.     

"Kalian punya kesepakatan apa?" Tanya Jav.     

"Itu bukan kesepakatan, Ayahku hanya hoby mendikte anak-anaknya." Jawab Adrianna dan itu membuat Jav tersenyum lebar.     

Pembicaraan mereka berlanjut hingga mereka masuk kedalam kelas dan menunggu guru sastra mereka Mss. Anne masuk kedalam kelas.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.