THE RICHMAN

The Richman - Love In The Air



The Richman - Love In The Air

2Richard kembali ke rumah, sementara itu Christabell ada di kamarnya, Ben sibuk dengan pemainan game di ponselnya sementara Adrianna tampak duduk di meja belajarnya menghadapi laptop yang menyala.     

"Sayang, anak-anak sudah tidur?" Tanya Richard setelah mengecup kening isterinya.     

"Ben tadi mengalami cidera saat bermain basket di sekolah." Christabell memulai menceritakan tentang anak-anaknya.     

Richard membuka dasinya dan melonggarkan kerah kemejanya. "Parah?" Tanya Richard santai.     

"Tidak." Jawab Christabell. Rich dan Bell tidak terlalu khawatir dengan Ben, dia adalah anak laki-laki yang sifatnya sedikit melenceng dari ayahnya. Dibandingkan belajar, dia lebih suka olahraga dan sudah sering sekali mengalami cidera, jadi ini bukan hal baru. Berbeda dengan Adrianna yang bisa dibilang kutu buku, dia lebih sering menghabiskan waktu di kamarnya untuk membaca buku, berselancar di internet, atau mendengarkan musik.     

"Adrianna?" Tanya Richard singkat sebelum masuk kedalam kamar mandi.     

"Hari ini dia pulang dengan taksi." Jawab Bell.     

Richard menyembulkan kembali kepalanya. "Taksi?" Alisnya bertaut dalam. "Mengapa dia naik taksi?" Berbeda dengan caranya memperlakukan sang putera, Richard begitu posesif pada puterinya, melebihi apapun.     

"Aku mengantar Ben kerumahsakit, dan tidak cukup waktu untuk meminta Patick menjemput Adrianna. Lagipula dia harus belajar mandiri sayang." Christabell mendekati suaminya dan mengecup bibir suaminya itu sekilas.     

Rich membalas ciuman Bell lembut. "Kau sedang merayuku agar aku tidak marah padamu?"Tanya Richard.     

"Anggap saja begitu." Christabell mencium suaminya itu lebih dalam.     

"Aku akan mandi." Richard menarik dirinya dan segera mandi. Dua minggu lalu Christabell harus menghadiri sebuah acara amal yang diadakan oleh yayasan yang didirikannya dan Richard memutuskan untuk pergi menjemput Adrianna, sementara Ben dijemput oleh Patric. Richard melihat ada satu orang anak laki-laki yang tampak menggoda puterinya itu dan Adrianna tidak bisa membela diri sama sekali. Richard mendekati si brandalan muda itu dan membawa pulang puterinya. Sejak saat itu kekhawatirannya tentang Adrianna semakin menjadi-jadi.     

***     

Setelah selesai mandi, Richard bergegas mengganti pakaiannya dengan celana piyama berwarna abu dan kaos putih polos. Dia tidak langsung menyambangi isterinya yang sudah berada di atas tempat tidur namun masih membaca buku.     

"Aku akan menemui Adrianna dulu." Ujar Richard.     

"Sayang, jangan terlalu berlebihan. Dia akan merasa tidak nyaman nanti." Cegah Christabell, dia segera menutup bukunya dan meletakkan kacamata yang dia kenakan. Dia beringsut turun dari ranjang dan berjalan ke arah Richard, "Kita bisa bicara besok." Ujarnya sembari menyentuh wajah suaminya itu dengan kedua tangannya.     

"Aku tahu kau begitu khwatir pada Adrianna karena kau melihat dia sebagai gadis yang lemah, cobalah memberinya kepercayaan sayang. Dia akan tumbuh menjadi gadis yang kuat dan bisa membela dirinya sendiri. Jangan selalu membuat situasi seolah-olah begitu berbahaya bagi Adrianna."     

Richard mengalah, akhirnya dia mengurungkan niatnya itu. "Aku punya banyak energy untuk menghawatirkan puteriku, dan puteraku yang tidak pernah menurut padaku, tapi karena kau melarangku menunjukkan perhatianku malam ini, maka kau harus bertanggung jawab untuk energy yang masih banyak tersisa di tubuhku." Richard mulai berputar-putar dengan kata-katanya.     

Christabell berjinjit dan mengecup bibir suaminya, cukup lama sampai bisa di sebut melumat, tak sekedar mengecup. "Apa itu cukup bertanggung jawab?" Goda Christabell.     

Richard mencibir. "Aku kehilangan keseksian isteriku sejak dia sibuk menghabiskan uangku dengan yayasan yang dikelolanya, betapa menderitanya aku sebagai seorang suami." Richard menyeret langkahnya menuju ranjang dan segera berbaring, menutupi wajahnya dengan bantal. Kelakuan pria berusia lebih dari empat puluh tahun itu menjadi sangat lucu di mata Chrisatbell isterinya, Rich tidak pernah berubah     

Bell merangkak naik dan menindih perutnya. "Wohaa!" Richard membuka bantal penutup wajahnya hingga dia bisa melihat isterinya duduk dia tas pinggangnya.     

"Tidak sexy." Rich kembali menutup wajahnya, tapi Bell segera menarik bantal itu dan melemparnya ke lantai. Sementara Richard mengganjal kepalanya dengan dua tangan terlipat di belakang kepala, Christabell menarik tali piyamanya dan membiarkannya seolah tampak seperti tirai yang terbuka.     

"Wow, pilihan warna yang bagus." Puji Rich dengan senyum lebar. Tampaknya Richard menikmati pemandangan malam itu. Dibalik piyama berbahan sutera berwarna hitam yang membungkus rapat tubuhnya, Bell tampaknya mengenakan lingerie berwarna merah menantang.     

Christabell membungkuk hingga wajahnya cukup dekat dengan wajah suaminya, terlihat seolah akan mencium Richard, tapi tidak, dia berhenti di posisi yang tanggung, dan saat Rich mengangkat wajahnya untuk menyentuh bibirnya Bell menarik diri.     

"Di yayasan, aku tidak hanya belajar menghabiskan uang suamiku untuk anak-anak kurang beruntung dan juga lansia yang tidak memiliki tempat tinggal. Beberapa temanku bertukar pikiran, bagaimana menakhlukan suami nakal mereka yang lebih sering menatap wanita muda dibandingkan isterinya yang mulai keriput di rumah." Christabell melipat tangannya di dada.     

"Kau belum keriput sama sekali." Jawab Richard.     

"Itu hanya soal waktu."     

Richard menautkan alisnya. "Jadi kau pikir aku akan melirik gadis lain saat isteriku keriput?" Tanya Richard.     

"Mungkin saja." Jawab Christabell cepat.     

Richard tersenyum lebar. "Puteriku sudah sebesar itu, bagaimana mungkin aku membiarkan dia kehilangan respect pada ayahnya hanya gara-gara pilihan ayahnya yang salah."     

Christabell sekali lagi membungkuk dengan bertumpu pada dada suaminya. "Berjanjilah padaku pak tua, meskipun aku tidak menarik lagi, kau tidak akan meninggalkanku." Bell berbisik, Richard tidak menjawab, dia hanya berusaha menutup mulut isterinya dengan bibirnya, tapi Bell menarik dirinya lagi. Seolah merasa sedang dipermainkan, Richard akhirnya menyerah.     

"Ok, aku berjanji." Rich mengankat satu tangannya ke atas, melipat seluruh jarinya kecuali jari telunjuk dan jari tengah, seperti orang yang sedang membuat sumpah.     

"Itu baru benar." Bell merunduk sekali lagi, lalu mencium suaminya itu. Richard sebenarnya tidak terlalu suka drama di awal bercinta, tapi Christabell selalu berhasil memancing Richard untuk turn on dengan sikapnya yang menggemaskan.     

Cekrek, tiba-tiba pintu terbuka dan Bell menoleh segera setlah merapatkan kembali piyamanya.     

"Sorry." Ben berdiri di ambang pintu, sementara ayah dan ibunya membeku melihat puteranya memergoki mereka. Untung saja belum ada yang telanjang diantara mereka.     

"Ben, bisakah kau mengetuk pintu sebelum membukanya." Christabell beringsut turun, segera mengikat tali piyamanya dan menghampiri puteranya.     

Ben mengangkat bahu, sementara Richard terlihat kesal memilih untuk memutar tubuhnya dan tetap berbaring.     

"Apa yang kau inginkan sayang?" Tanya Bell lembut. Bagi Christabell, puteranya Ben masih tampak seperti bocah lima tahun yang selalu haus perhatian dan kasih sayang. Berbeda dengan Adrianna yang berpikiran dewasa, Ben benar-benar masih seperti anak-anak.     

"Aku ingin tidur di kamar mommy." Ujarnya.     

Christabell menoleh kea rah Richard, dan Rich semakin jengkel.     

"Aku akan mengantarmu ke kamar dan menemanimu sampai kau tertidur, ok." Pelajaran soal memiliki kamar sendiri memang jauh lebih sulit di ajarkan pada Ben dibandingkan saat menajari Adrianna. Sampai usia sepuluh tahun Ben berhasil menyiksa Richard dan Christabell karena dia selalu tidur diantara ayah dan ibunya.     

"Ok." Ben menyerah dan akhirnya memilih untuk kembali ke kamar diantarakan oleh ibunya. Padahal setelah sampa di kamar, tak lebih dari sepuluh menit kemudian Ben jatuh tertidur. Padahal sepanjang hari Ben bisa berada di kamarnya sendiri saat memainkan game di ponselnya atau di PC atau di laptopnya, tapi saat waktunya tidur, dia akan mengusik ketenangan Richard dan ibunya.     

Setelah menyelimuti puteranya itu, Bell kembali ke kamarnya, dan kali ini mengunci kamar itu. Kebiasaan tidak mengunci kamar akan sangat berbahaya karena Ben bisa menyelinap kapan saja. Dan ini bukan kali pertama, Ben bahkan pernah memergoki ibunya dan ayahnya tengah bercinta di kamar mandi saat usianya empat tahun. Kala itu Ben terbangun dan tidak menemukan ibu dan ayahnya di atas ranjang. Akhirnya dia beringsut turun dari ranjang dan mencari ke sekeliling, sampai dia akhirnya membuka pintu toilet dan melihat Rich dan Bell tengah bercinta, untung saja mereka memakai pakaian, hingga tak banyak pertanyaan yang keluar dari bibir mungil Ben. Richard segera menarik diri dan berbalik untuk menyembunyikan miliknya, sementara Bell segera menurunkan piyamanya dan menggiring si mungil Ben untuk naik ke atas ranjang dan tidur kembali.     

"Aku mulai berpikir untuk mengirimnya ke asrama." Seloroh Richard saat isterinya kembali merangkak ke atas tubuhnya dan menciumnya. Rambut panjang lurus milik Bell menjuntai hingga menyentuh wajah suaminya itu.     

Christabell membalas candaan Richard. "Jangan macam-macam pada puteraku." Balasnya.     

"Jika begitu beri tahu dia, jangan lagi mengganggu kesenangan ayahnya."     

Bell segera mencium bibir suaminya agar tidak lagi banyak kalimat protes yang keluar dari bibir Richard. Seperti pasangan pada umumnya, Christabell dan Richard masih begitu bergairah saat memadu cinta meskipun usia tak lagi muda. Richard justru semakin matang dengan rambut putihnya yang mulai tumbuh acak di beberapa bagian kepala juga di jambangnya yang kini dibiarkan sedikit berbulu.     

***     

Sementara itu di dalam kamar Adrianna tampak sedang menjadi seorang penguntit. Dia mencari akun sosial media Javier Walton di beberapa platrofm media sosial dan tampaknya nihil.     

"Dasar pria misterius." Gerutu Adrianna karena tidak biasanya dia sulit mendapatkan informasi tentang seseroang. Bagaikan foto copy dari ayahnya, Adrianna selalu senang mencari tahu informasi secara detail tentang orang baru yang dikenalnya sebelum memutuskan untuk menjalin hubungan pertemanan atau hubungan bisnis.     

Adrianna meletakkan laptopnya di atas meja dalam keadaan tertutup setelah mematikan alat canggih berharga mahal yang diberikan ayahnya sebagai kado di ulangtahunnya yang ke enambelas beberapa bulan lalu.     

Dia merangkak ke atas ranjang dan menarik selimut. Sesaat kemudian Adrianna menekan saklar lampu di dekat tempat tidurnya hingga menyisakan lampu tidur. Namun sebelum benar-benar tertidur, sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya.     

"Adrianna Anthony." Tulis seseroang yang nomor ponselnya belum dia simpan, pesan itu diterima melalui media perpesanan. Adrianna tak lantas membalasnya, dia memilih untuk melihat foto profil si pengirim untuk tahu siapa pria yang mengiriminya pesan itu.     

Seulas senyum mengembang di wajahnya tat kala wajah pria di profil picture itu adalah wajah Javier. Bagaikan hewan buruan yang masuk ke kandang pemangsa, setelah susah payah mencari informasi tentang Javier melalui berbagai media sosial juga jejaring internet, ternyata Javier dengan sukarela menyerahkan diri dengan mengiriminya pesan singkat lebih dulu.     

"Javier Walton." Balas Adrianna.     

"Kau menunggu pesanku, sampai tidak bisa tidur?" Balas Jav dengan penuh percaya diri, dan balasan itu membuat Adrianna memutar matanya, meski menganggap Javier sebagai pria yang terlalu percaya diri, tapi di sisi lain, Javier Walton memang sangat menarik. Tak hanya dari sisi dirinya yang sok tampan, sok paling menarik, tapi dia yang ternyata bisa bersikap layaknya pria dewasa dan juga sisi dirinya yang misterius.     

Berbeda dengan Andrew Gonzales yang gemar memamerkan harta kekayan orang tuanya di sosial media, juga memamerkan lingkaran pertemanannya dengan anak-anak konglomerat, Javier Walton bahkan tak memiliki akun sosial media apapun selain sosial media perpesanan dengan foto profil paling standard, dia berfoto di atas motornya dengan memegang helm.     

Adrianna mengigit bibirnya sekilas, dia tampak memikirkan harus menjawab apa, atau lebih baik tidak menjawabnya? Adrianna sempat melemparkan ponselnya dan menutupinya dengan bantal, tapi tampaknya dia begitu penasaran hingga tak bisa membiarkan pesan Jav tak berbalas.     

"Jangan terlalu percaya diri Mr. Walton." Balas Adrianna, dia benar-benar gadis kaku yang harus banyak belajar dari ayah dan ibunya soal mengungkapkan cinta dan menunjukkan perasaan.     

Javier tersenyum saat melihat balasan pesan dari Adrianna itu, dia tampak sedang duduk di sebuah studio musik setelah berlatih musik dengan teman-temannya.     

Jav tersenyum sekali lagi, kemudian dia membalas pesan Adrianna. Entah mengapa seharian penuh isi kepalanya hanyalah tentang Adrianna Anthony, si gadis manis yang lugu dan menggemaskan itu. "Aku begitu penasaran pada ayahmu sampai tidak bisa tidur, bolehkah aku menjemputmu besok meskipun bertaruh nyawa?"     

Adrianna tersenyum membaca balasan Javier, jarinya yang panjang segera mengetik jawaban dengan cepat. "Sebelum menjemputku minta orangtuamu menyiapkan pemakamanmu, mungkin ayahku benar-benar akan menembakmu saat kau menjemputku dengan motor kesayanganmu."     

Javier membaca balasan itu, ada senyum tertahan di wajahnya, tapi dalam hatinya senyum lebar mengembang.     

"Jav, kau gila?" Tanya salah seorang temannya yang melihat Jav bermain dengan ponselnya lalu sesekali tersenyum.     

"Oh, tidak." Geleng Jav.     

"Baiklah, kita cukup latihan hari ini, kita akan lanjutkan besok." Kata salah seorang temannya sebelum mereka bubar meninggalkan studio itu. Sebelum pulang dengan mengendarai motornya Jav membalas pesan Adrianna lagi. "Tunggu aku besok." Tulisnya.     

"Jika kau ingin tetap jadi temanku, maka jangan berani-berani datang kerumahku." Balas Adrianna.     

"Ok, aku lebih memilih menjadi temanmu daripada mengenal ayahmu." Balas Javier. Itu menajdi pembicaraan yang membuat hati Adrianna berdebar-debar tak menentu dibuatnya. Dia bahkan tak langsung bisa jatuh tertidur, semu merah di wajahnya masih bertahan selama di benaknya masih terbayang wajah Javier Walton.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.