THE RICHMAN

The Richman - Black Shadow



The Richman - Black Shadow

3Pendeta menyampaikan sepatah kata terakhir setelah jenazah mendiang Paul Stell dikebumikan. Ammy tampak begitu terpukul, meskipun Paul bukanlah ayah kandungnya namun kesedihan terlihat jelas dimatanya. Senada dengan Ammy, Christabell juga merasakan kesedihan yang begitu mendalam. Dia baru saja mengecap kasih sayang seoang ayah belum lama ini dan sekarang harus ditinggalkan lagi.     

Petterson tampak memeluk isterinya, Ammy sementara Richard terus memegang tangan Christabell. Adrianna dan Ben ikut mengantar kakek mereka ke perisirahatan terakhir. Di dekat pusara Paul duduk Eleonora yang mulai terlihat tegar. Air mata tak lagi jatuh di wajahnya, begitu juga dengan Ammy dan Christabell. Mereka sepakat soal Paul Stell, orang yang mereka sayangi sudah berada di tempat yang jauh lebih baik saat ini, untuk itulah mereka tidak lagi menangisi jiwanya meskipun masih berduka.     

"Kita harus tegar." Ujar Eleonora pada kedua puterinya yang adalah puteri dari mendiang suaminya. Christabell dan Ammy mengangguk setuju. "Aku akan selalu ada di sini untuk kalian, Ammy, meskipun kita baru bertemu beberapa kali, aku harap kita tetap bisa saling berhubungan setelah kepergian Paul."     

"Tentu." Angguk Ammy.     

Christabell mengusap lengan saudari angkatnya itu. "Pintu rumahku selalu terbuka untukmu dan Petter."     

"Kami pasti bergunjung." Jawab Ammy. Setelah saling berpelukan, mereka memutuskan untuk berpisah. Eleonora ikut bersama dengan rombongan Richard dan Christabell untuk kembali ke kediamannya. Bagaimanapun juga, keluarga yang dimiliki oleh Eleonora hanyalah Richard dan Christabell pada akhirnya.     

Saat mobil melintas di jalanan area pemakaman terlintas sekilas seorang wanita dari kejauhan mengenakan pakaian serba hitam dan penutup kepala. Tapi wajahnya sungguh tak asing bagi Cristabell.     

"Apa yang kau lihat sayang?" Tanya Richard karena isterinya mendadak terlihat tegang setelah menoleh ke luar jendela mobil. Bell bahkan berulang-ulang memastikan apa yang dia lihat hingga menoleh ke kaca belakang mobil. Sepersekian detik dia sempat berpikir tapi kemudian menepisnya, karena saat dia menoleh ulang, wanita itu tidak ada di tempatnya semula.     

"Bukan apa-apa." Gelengnya.     

"Kau yakin?" Richard terlihat cukup khawatir karena air muka Christabell mendadak pucat.     

"Ya." Angguk Bell, namun gesture memang sulit untuk berbohong, lengan Bell mendekap puteranya yang tidur di pelukannya itu semakin erat.     

Seolah jiwa Eleonora tak berada di dalam raganya, tatapannya kosong, dia benar-benar hanya duduk dan memandang keluar. Sepanjang jalan area pemakaman mewah itu, yang dia pandang hanyalah deretan pemakaman yang ditumbuhi rumput hijau dengan berbagai patung berbentuk malaikat yang indah. Bukannya sebuah kengertian, namun Eleonora melihat itu sebagai sebuah kedamaian. Dalam hatinya, dia ingin segera bergabung dengan orang-orang yang sudah berbaring dengan damai di dalam sana.     

Seperti Paul, setelah berpetualang dalam kehidupan lebih dari tujuh puluh tahun, ahirnya dia menyerah dan memilih berbaring dalam kedamaian di sisi wanita yang begitu di cintainya, Layla Stone. Seperti pilihan yang diambil oleh mantan suaminya, mendiang ayah Richard, yang pada akhirnya juga memilih berbaring dalam kedamaian selamanya di sisi tempat peristirahatan sang isteri.     

Eleonora berbisik dalam hati, "Jika tiba waktuku, aku ingin berbaring di sisi puteraku, Brandon." Matanya nanar menatap ke luar. Sepanjang perjalanan Eleonora terdiam meski dalam batinnya begitu bergemuruh.     

Setibanya di rumah, Eleonora bahkan langsung masuk kedalam kamar. Seperti kekasih yang baru saja kehilangan belahan jiwanya, kesedihan yang mendalam terlihat jelas dimatanya, dan untuk itu Richard dan Christabell memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk sang ibu bisa menerima keadaan dan mulai menyembuhkan hatinya. Semua jelas perlu waktu, dan Eleonora bukanlah wanita tua yang lemah, sudah ribuan kali kegagalan dia alami dalam kehidupan, bahkan mungkin rasa kehilangan Paul Stell tak seberat saat dia harus kehilangan putera kandungnya.     

***     

Setelah membaringkan Ben dan juga melihat Adrianna yang mulai mengantuk dan jatuh tertidur karena kelelahan sejak pagi, Christabell membersihkan dirinya setelah Ricard selesai mandi dan meminta waktu untuk mengerjakan sedikit perkerjaannya, meskipun ini masih dalam suasana duka.     

Christabell yang membasahi dirinya dengan derasnya air shower tampaknya tak bisa mengusir bayangan wajah yang selintas dia lihat saat dalam perjalanan keluar dari kompleks pemakaman itu. Christabell bahkan yakin sekali bahwa wanita itu adalah Grabrieele Zein, wanita yang karena penculikan terhadap dirinya harus berhadapan dengan kasus hukum, dan di kurung di dalam penjara selama bertahun-tahun.     

Tapi setelah hampir enam tahun berlalu sejak Gabrielle tertangkap dan dipenjara, Christabell dan Richard tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Kehidupan Richard dan Christabell bahkan tidak memberi sedikit ruangpun untuk mengingat wanita itu. Dan kini kemunculannya kembali bagaikan momok mengerikan bagi Christabell.     

Setelah selesai membersihkan diri dan berjalan keluar kamar untuk mengeringkan rambutnya, tiba-tiba Bell terkejut bukan kepalang saat Richard menyambanginya.     

"Ah…" Bell hampir terlonjak karena terkejut.     

Richard menautkan alisnya. "Apa yang terjadi padamu sayang?" Tanya Richard bingung.     

"Kau mengejutkanku." Jawab Christabell, Richard menatap isterinya itu. "Aku dari tadi berdiri di sini dan kau tidak melihatku?' Tanya Richard. "Apa yang kau pikirkan?" Tanya Richard curiga.     

"Tidak." Bohong Bell, "Aku hanya tidak melihatmu tadi." Dia masih berusaha meyakinkan suaminya itu. Richard menghampirinya dan memegangi lengannya, "Aku tahu, kepergian ayahmu yang mendadak membuatmu sangat sedih. Tapi aku yakin kau bisa melewatinya."     

Christabell mengusap tangan suaminya itu, dia tersenyum sekilas. "Ini bukan soalh ayahku Rich, ini lebih buruk dari itu, jika apa yang kulihat itu benar-benar dia." Gumam Christabell dalam hati. Tapi wanita itu menyimpannya untuk dirinya sendiri, dia tidak ingin Richard mengingat atau mendengar tentang mantan kekasihnya itu lagi. Bagi Christabell ini adalah pertarungan hidup dan mati dirinya dan si wanita iblis bernama Gabrielle Zein.     

Wanita yang dengan begitu tega menculik dirinya dalam keadaan hamil tua dan membuangnya ke Poerto Rico. Dan jika sekarang dia muncul kembali, itu berarti dia menunggu pembalasannya.     

"Apapun yang kau lakukan, Richard Anthony tetap akan menjadi milikku." Batin Christabell, dia menatap ke arah cermin dan melihat pada bayangan dirinya sendiri seolah menandaskan itu pada wanita bernama Gabrielle Zein yang bersarang di benaknya saat ini.     

"Aku akan menemui ibuku." Ujar Richard.     

"Ya." Angguk Christabell.     

Bagaimanapun juga Eleonora juga berduka atas kepergian Paul dan dia juga berhak mendapatkan penghiburan dari puteranya itu. Richard berjalan keluar dari kamarnya dan menyambangi Eleonora yang berada di dalam kamar.     

Tok Tok     

Suara pintu diketuk dan Eleonora menyahutnya dari dalam kamar. Awalnya ragu, namun akhirnya Rich menekan handle pintu dan membukanya. Dilihatnya Eleonora duduk di atas ranjangnya dengan separuh tubuhnya berada di balik selimut, setengah berbaring.     

"Aku akan keluar jika kau butuh istirahat." Richard benar-benar kaku setiap kali berhadapan dengan ibu tirinya itu.     

Eleonora menatapnya. "Kau tidak ingin duduk dan menghiburku?" Tanya Eleonora, dan itu membuat Richard akhirnya memilih untuk masuk dan duduk di single sofa, dekat dengan tempat ibunya berbaring, dengan pintu kamar yang dibiarkan setengah terbuka.     

"Aku tahu kau sangat kehilangan Paul." Ujar Richard singkat.     

Eleonora tersenyum sekilas, meski di balik senyumnya itu tersirat luka di batinnya. "Tidak seburuk saat aku kehilangan ayahmu." Ujarnya.     

Rahang Richard tampak mengeras sekilas. "Apa yang membuat itu terasa berbeda?" Tanyanya.     

Eleonora mengerucutkan bibirnya yang mulai keriput. "Aku menganggap ayahmu sebagai penyelamat Rich. Saat itu aku merasa sangat putus asa, berkali-kali aku berpikir untuk bunuh diri. Tapi setiap kali melihat Brandon aku mengurungkannya. Aku tidak bisa membiarkannya menjadi gelandangan. Bagaimanapun, aku yang membuatnya lahir di dunia ini, dank arena aku juga, Brandon harus mengalami banyak masalah dalam hidupnya. Terlalu banyak hal buruk yang dia lalui semasa kecil. Dan saat aku sangat putus asa, aku bertemu dengan ayahmu." Kenang Eleonora.     

Seulas senyum di bibirnya terlihat saat dia hendak melanjutkan ceritanya. "Saat itu aku berkerja paruh waktu di sebuah kedai kopi dan dia datang bersama koleganya untuk urusan bisnis sambil menikmati kopi di pagi hari." Kenangnya. "Caranya menatapku saat aku datang membawa kopi membuatku merasa benar-benar ingin hidup."     

Richard menelan ludah. "Apa ayahku tertarik padamu saat itu?"     

"Dia tidak pernah mengakuinya, bahkan sampai akhir hayatnya." Ujar Eleonora. "Aku tahu dia pria yang setia pada mendiang isterinya, tapi dari caranya memperlakukanku, aku juga bisa merasakan adanya cinta.��     

Richard menatap jauh kedepan, hampir kosong. "Aku selalu marah saat merasa bahwa dia mungkin sedang menghianati ibuku, tapi saat mendengar kau berkata seperti itu, aku menyesal mengapa tidak bertanya tentang perasaannya yang sesungguhnya."     

Eleonora tersenyum sekilas, sekali lagi. "Pria terkadang sibuk menutupi perasaannya Rich, tapi mereka lupa bahwa segala tindakan mereka menjunjukan sebaliknya. Semua yang mereka sembunyikan justru tergambar jelas dari semua yang dia lakukan."     

Richard menghela nafas dalam. "Kuharap kau bisa melewati kesedihanmu setelah kepergian Paul." Richard menoleh ke arah ibu tirinya itu, sementara Eleonora menatapnya dengan mata berkaca.     

"Aku hanya teringat satu persatu orang yang kusayangi pergi meninggalkanku. Mungkin perasaan ini juga dirasaakan oleh isterimu, dia lebih membutuhkanmu Rich." Ujar Eleonora.     

"Christabell wanita yang kuat, sejak aku mengenalnya dia sudah mengalami begitu banyak hal buruk dan dia bisa melewatinya dengan baik." Ujar Richard.     

Eleonora meraih tangan puteranya itu, "Jangan lepaskan dia, kau tidak akan menemukan wanita lain sebaik isterimu itu." Ucap Eleonora, dan Richard mengangguk setuju.     

"Kau tahu? Ayahmu butuh waktu setahun lebih untuk meyakinkan dirinya menikahiku."     

Richard menautkan alisnya. "Aku tidak tahu jika kalian menjalin hubungan salaam itu sebelum menikah."     

Eleonora tersenyum. "Ayahmu pria yang sangat sopan Richie, meski kami saling mengenal dan saling tertarik satu dengan yang lainnya, tapi yang dia lakukan tak lebih dari sekedar menyempatkan waktu untuk mampir ke kedai kopi tempatku bekerja dan menikmati kopi di pagi hari."     

Richard tersenyum sekilas. "Jadi itu alasannya selalu melewatkan meminum kopi di rumah waktu itu."     

"Mungkin." Sahut Eleonora.     

"Sebulan lebih setelah setiap hari dia datang untuk menikmati kopi di pagi hari, dia baru berani mengajakku bicara."     

"Ayahku cukup payah soal itu."     

"Ya." Angguk Eleonora. "Aku berharap dia bisa seperti pria kebanyakan, tapi tidak. Bahkan alasannya menikahiku adalah demi putera kesayangannya. Dia mengatakan bahwa puteranya butuh sosok ibu dan dia ingin aku yang menjadi ibu sambung bagi puteranya, sebagai gantinya puteraku akan mendapatkan kehidupan yang baik." Eleonora tersenyum. "Itu yang dia katakan saat memintaku menikah dengannya."     

Rahang Rich mengeras sekilas, terbersit keharuan dari kalimat yang di utarakan Eleonora. Dia bahkan tidak menyangka bahwa cinta ayahnya sebesar itu padanya.     

"Aku tidak bersedih soal Paul. Aku hanya merindukan orang-orang yang sempat hadir dalam hidupku dan satu persatu pergi dalam kedamaian, sementara aku masih menantikan waktuku." Ujar Eleonora meyakinkan putera tirinya itu.     

Richard menghela nafas, dia bangkit dari tempatnya duduk. "Jika kau butuh teman bicara, aku akan selalu ada."     

Eleonora mengangguk, "Satu hal yang selalu ku inginkan, membalas kebaikan ayahmu pada putera kesayangannya. Beritahu aku caranya."     

"Hiduplah bahagia, itu sudah cukup bagiku." Ujar Richard.     

Pembicaraan berakhir diantara anak dan ibu tiri. Namun yang mengesankan adalah, seolah mereka menemukan jalinan hubungan baru yang lebih erat dari sekedar itu. Mereka bahkan membicarakan ayah Richard dengan begitu leluasa, sementara tidak pernah terjadi pembicaraan semacam ini selama mereka tinggal dalam satu atap saat ayah Rich masih hidup.     

"Aku akan kembali ke kamarku." Ujar Richard.     

"Pergilah." Senyum Eleonora mengiringi kepergian Richard dari kamarnya. Sementara Rich berjalan menuju kamarnya, Eleonora membiarkan dirinya kembali terseret dalam gelombang kenangan tentang kehidupan masalalunya dimana mendiang ayah Rich, Brandon bahkan Paul masih hidup dalam kenangan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.