THE RICHMAN

The Richman - Another Sadness



The Richman - Another Sadness

1Pagi ini kerepotan baru di mulai, Richard dan Christabell sepakat untuk membagi tugas. Rich memandikan anak-anak sementara Christabell menyiapkan sarapan. Dan benar saja, Richard yang tidak berpengalaman dalam hal mengurus anak-anak tapi memaksakan diri, akhirnya menceburkan Ben dan Adrianna dalam bathup penuh busa. Meski itu bukan cara mandi yang selama ini mereka lakukan dengan pengasuh atau ibu mereka tapi Adrianna dan Ben tampak begitu menikmatinya. Mereka bermain busa dengan berbagai mainan yang ikut menceburkan diri bersama mereka di dalam bath up.     

Keceriaan terdengar dari luar kamar mandi, baik Adrianna maupun Ben tampak berteriak- teriak penuh keceriaan. Sementara pagi ini Chrsitabell memasak menu sarapan dengan bantuan youtube, karena pada dasarnya Christabell bukanlah ibu yang pandai memasak.     

Setelah selesai dengan perang busa dan perang mainan akhrinya anak-anak keluar dari kamar mandi dan Richard mengganti pakaian mereka kemudian mengajak mereka untuk turun dan menikmati makan pagi mereka. Ben meminta di gendong di depan sementara Adrianna meminta digendong di belakang. Sungguh kerepotan yang sempurna tapi Richard tetap menyeringai lebar meskipun saat ini dia memakai celana piyama bermotif garis dengan kaos putih yang dia kenakan semalam.     

"Aku akan terlambat untuk meeting pagiku." Serunya setelah sampai di ruang makan. Christabell tersenyum lebar.     

"Habiskan sarapanmu dan segera mandi." Ujar Bell dan segera mengambil alih tugas menjaga anak-anak.     

"Aku akan memakan sarapanku nanti." Richard hanya menyesap kopinya cepat kemudian bergegas untuk mandi, sebelum benar-benar pergi dia sempat menoleh ke arah isterinya itu. "Aku akan menghubungi Zoey untuk datang secepatnya."     

Christabell menimpali. "Aku sudah menghubunginya, cepat mandi dan selesaikan sarapanmu." Teriak Bell, entah masih sempat mendengar atau tidak, tapi Richard tampaknya terburu-buru untuk bersiap.     

***     

Setelah selesai bersiap, Richard segera kembali ke ruang makan untuk berpamitan dengan isteri dan anak-anaknya.     

"Aku sudah memastikan Patric dalam perjalanan mengantar Zoey kemari." Ujar Richard sembari membalas pesan teks dari sekretarisnya di kantor.     

"Oh ya.. halo." Richard tiba-tiba menerima panggilan. "Sorry sayang, tapi ini sangat mendesak." Dia menutup ponselnya dengan tangan dan meminta persetujuan Christabell. Rich dan Bell sudah membuat kesepakatan, tidak ada gadget di tempat makan, karena ruang makan seharusnya menjadi tempat seluruh anggota keluarga untuk bertemu dan menghabiskan waktu untuk saling bicara, bukannya sibuk dengan gadget masing-masing. Tapi kali ini Richard melanggar kesepakatan dan Christabell tampak memaklumi. Hidup berempat di rumah sebesar ini ternyata menyisakan masalah tersendiri bagi mereka berdua.     

"Tolong tunda meeting hari ini. Sepertinya aku akan terlambat sampai di kantor." Richard memberikan perintah tapi dengan nada meminta tolong. Sungguh bukan pria yang bossy.     

"Ok, thanks."     

Christabell mengkerutkan bibirnya. "Kau sudah punya sekretaris baru sekarang?" Tanya Christabell, setelah si brengsek Piere, Richard belum bercerita soal sekretaris barunya.     

"Rebeca." Jawab Rich singkat seolah tidak ada opsi lain. "Aku tidak punya pilihan lain sayang, posisi personal assistance begitu penting untukku, aku butuh bantuan orang lain untuk menangani hal-hal kecil yang tak bisa kukerjakan sendiri." Jawab Richard.     

"Ok, aku paham." Jawab Christabell, meski dalam hatinya dia jelas sangat tidak suka dengan Rebeca.     

"Baiklah, aku akan berangkat sekarang. Bisakah aku meninggalkan kalian sekarang, Patric mengirim pesan, mereka baru saja parkir." Richard mengecup kening isterinya itu juga memberikan kecupan di kepala untuk kedua anaknya sebelum akhirnya meninggalkan penthouse tepat setelah Zoey masuk ke dalam.     

Zoey menghampiri majikannya di ruang makan dan disambut gembira oleh Adrianna dan Baby Ben.     

"Terimakasih sudah datang tepat waktu." Christabell berbinar melihat kehadiran Zoey. Baginya gadis muda ini adalah penyelamat.     

"Akan kuambilkan sarapan, sebelum bermain dengan anak-anak makanlah seuatu." Ujar Bell.     

"Aku akan mengambil sendiri Mrs. Anthony."     

"Kau masih saja kaku." Christabell menggeleng tak percaya.     

Setelah menikmari sarapan, Zoey praktis mengambil alih semua pekerjaan yang berhubungan dengan anak-anak. Meskipun hanya bermain dengan anak-anak, tapi itu bukan perkara mudah. Untunlah Zoey sangat kreatif, dia bisa membagi waktu antara membuat permainan yang kratif bagi Adrianna sekaligus menjaga Ben yang masih senang berlarian kesana kemari.     

Sementara melihat anak-anaknya bermain bersama Zoey, Bell menghubungi ayahnya.     

"Hi Dad…" Sapa Bell melalui sambungan telepon.     

"Hai sayang." Jawab Paul.     

"Bagaimana hari-hari kalian?" Tanya Christabell dengan antusias.     

Paul tampak terdiam beberapa saat. "Cukup menyenangkan."     

"Hanya cukup? Apa ada masalah dad?" Tanya Chrisabell penasaran. Paul mengatakan cukup menyenangkan, seolah menyiratkan hal yang kurang baik di balik semua itu.     

"Tidak begitu buruk, hanya saja kesehatanku tampaknya sedikit terganggu."     

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Bell cemas.     

Terdengar saura Paul terbatuk. "Entahlah, belakangan ini aku sering terbatuk."     

"Daddy sudah memeriksakan diri ke dokter?"     

"Sudah, dokter meresepkan obat untukku."     

Christabell menghela nafas berat. "Harusnya Daddy tidak memaksakan diri untuk tinggal berdua dengan mommy Eleonora dan jauh dari kami."     

"Ini bukan masalah besar sayang, aku baik-baik saja dan akan segera sembuh."     

"Aku berharap daddy ada di sini sekarang." Jawab Bell.     

"Aku dan Eleonora akan kerumahmu secepatnya, kami sangat merindukan Adrianna dan Ben."     

Christabell tersenyum lebar. "Daddy ingin melihat mereka?" Adrianna mengubah panggilan itu ke mode video call hingga Paul bisa melihat cucunya berlarian dan tertawa lepas.     

"Hi Grandpa…!" Seru Adrianna sembari berlari menyambangi kakeknya itu.     

"Halo sayang, bagaimana kabar kalian?" Tanya Paul.     

"Kami tinggal di rumah baru Grandpa, ini sangat keren. Grandpa harus kemari dan bermain denganku lagi."     

"Ya." Jawab Paul.     

Setelah Adrianna berbicara dengan kakeknya dia segera berlari ke arah adiknya dan Paul kembali bicara dengan puterinya. "Akan kuminta supir untuk menjemput kalian."     

"Tidak perlu, aku akan datang dengan Eleonora secepatnya." Jawab Paul.     

Panggilan mereka berakhir dan Christabell mendadak menjadi murung. Baru beberapa hari dia tinggal terpisah dari ayahnya dan sudah mendengar kabar kurang baik seperti ini.     

***     

Beberapa menit setelah berkomunikasi dengan Christabell, Paul ditemukan tergeletak tak sadarkan diri hingga Eleonora harus memanggil Ambulance dan melarikannya kerumahsakit. Dalam perjalanan menuju Rumahsakit, Eleonora terus memegani tangan Paul, air matanya menetes.     

"Bertahanlah." Bisiknya, tapi Paul tampak kesulitan bernafas hingga petugas medis harus membantunya dengan oksigen.     

Bahkan setibanya dirumahsakit dokter langsung menyatakan bahwa Paul Stell sudah meninggal dunia, tepatnya sepuluh menit sebelum dia tiba dirumahsakit. Eleonora hancur seketika, dia terduduk lemas di dekat jenasah suami yang baru dinikahinya beberapa hari yang lalu.     

Christabell yang mendengar berita duka itu mendadak membeku tak bisa berkata-kata, hanya air mata yang bisa menjelaskan betapa hancur hatinya. Semua orang yang dia sayangi pergi satu persatu karena waktu. Hari itu juga semua mendadak menjadi gelap. Bukan hanya Christabell yang murung, Eleonora kembali mengingat rasa sakit atas kehilangan ornag yang dia cintai. Setelah Brandon, kini Paul, suami yang baru saja dinikahinya belum lama ini. Namun, bukankah hidup juga hanya soal waktu, semua akan kembali pada sang pemilik kehidupan jika waktunya sudah habis.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.