THE RICHMAN

The Richman - Airport



The Richman - Airport

2Setelah semalam menangisi perpisahannya dengan Javier, dan gelisah hingga kesulitan untuk tidur, akhinrya Adrianna bangun dengan mata sembab. Sang ibu tampak duduk di sisi ranjangnya menunggunya bangun.     

"Mom?" Alis Adrianna bertaut beberapa saat, "Apa yang mommy lakukan di kamarku sepagi ini?" Protesnya sambil menyembunyikan wajahnya kembali di balik selimut.     

"Javier akan terbang dua jam lagi, jika kau bergegas bangun dan mandi kita masih bisa menemuinya di airport." Ujar Christabell yang sudah tampak siap dengan celana jeans blouse berwarna coklat susu dan kuncir ekor kuda. Adrianna dan Chrsitabell justru tampak seperti kakak dan adik dibandingkan ibu dan anak.     

Adrianna mengintip dari balik selimut, dia tampak mempertimbangkan saran ibunya itu, dan Christabell terlihat menghela nafas dalam. "Semakin lama kau berpikir, maka kesempatanmu semakin tipis untuk bisa bertemu Jav sebelum dia kembali ke Melbourne."     

Mendengar kalimat sang ibu, Adrianna langsung melonjak dari tempat tidurnya dan berlari ke kamar mandi. Dia bahkan tak butuh waktu lebih dari tujuh menit untuk mandi dan mengganti pakaiannya. Adrianna tak sempat memoleskan make up, dia hanya mengantongi semua peralatan itu dalam tas selempang dan mengambil ponsel kemudian menarik sang ibu keluar dari rumah.     

Bagaikan wonder woman bagi anak-anaknya, Chrsitabell dengan gesit segera menyalakan mesin mobil. Mereka bahkan berangkat ke airport sebelum Richard Antony bangun dari tidurnya.     

Dengan kecepatan tinggi Christabell memacu laju kendaraannya, baginya setiap menit menjadi begitu berharga. Apalagi untuk memperjuangkan kebahagiaan puteri kesayangannya itu.     

"Kau bisa memoles wajahmu di mobil, jangan biarkan Javier melihat wajah pucat dan juga mata sembabmu." Ujar Bell, dan Adrianna segera mengeluarkan lipbalm kemudian memoles bibirnya agar terlihat pink alami, dia juga mengusapkan pelembab wajah dan dilanjutkan dengan bedak ringan khusus remaja. Adrianna bahkan sempat menguaskan maskara dan juga perona wajah agar penampilannya cukup segar.     

Sesekali Christabell melirik ke arah arlojinya, berpacu dengan waktu membuatnya menekan pedal gas semakin dalam dan membuat laju kendaraannya semakin cepat. Tak terasa, setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh lima menit, akhirnya mereka tiba di John F. Kennedy International Airport. Christabell memarkirkan kendaraannya sementara Adrianna yang langsung turun menerobos masuk untuk mencari keberadaan Javier. Dia sengaja tidak menelepon pria itu untuk memberinya kejutan.     

Sembari menyapukan pandangannya ke seluh penjuru Adrianna terus berlari kesana kemari, hingga langkahnya terhenti saat melihat seorang pria duduk di kursi tunggu dengan stelan modern, dia mengenakan jaket dengan hoddie yang menutupi kepalanya juga ripped jeans biru dan spatu sneakers. Javier bahkan tak membawa koper bersamanya, hanya sebuah rangsel kecil tempatnya meletakkan paspor dan semua dokumen yang dia butuhkan.     

Adrianna mengambil ponselnya dari tas selempang dan menghubungi Jav. Dari kejauhan dia menatap seluruh gerak-gerik pria muda itu, Javier meraih ponselnya dari saku jaket dan melihat ke layar ponselnya. Dia tampak menghela nafas dalam, kemudian menerima panggilan itu.     

"Halo." Sapanya.     

Adrianna tidak menjawab, tapi Javier bisa tahu jika gadis itu ada di suatu tempat di sudut bandara karena dari panggilan Adrianna terdengar pengumuman soal penerbangan pesawat. Javier segera bangkit dari tempatnya duduk dan menyapukan pandangannya ke sekeliling. Tatapannya berhenti pada sosok gadis cantik yang tengah memegang ponsel yang di dekatkan ke arah telinga dengan rambut ekor kuda dan poni menutupi keningnya. Airmatanya berlinangan sementara dia membeku beberapa meter dari tempat Javier berdiri.     

Jav melangkah deras ke arah gadis itu setelah menyelempangkan rangselnya. Begitu mereka cukup dekat, Javier mematikan ponselnya dan menyarungkannya di saku jaket, dalam satu gerakan Javier memeluk Adrianna erat dalam dekapannya. Hal itu terjadi tepat di depan mata Chrsitabell yang berdiri sekitar sepuluh meter dari tempat mereka berdua berpelukan.     

Mata Chrsitabell berkaca menatap puterinya yang menangis tersedu dalam pelukan kekasihnya itu. Jarak yang akan memisahkan mereka terlalu jauh hingga membuat hati Christabell ikut teriris juga. Bell berpaling dan menyeka air matanya yang berjatuhan. Dia memilih untuk duduk di sebuah kursi menunggu puterinya melepaskan keberangkatan kekasihnya.     

"Don't go." Pinta Adrianna lirih, matanya berlinangan air mata menatap Javier, sementara pria itu tampak berat melihat kekasihnya seperti itu. Rahangnya mengeras sekilas sebelum akhirnya bibirnya berucap, "I Love you."     

Jav mencium bibir Adrianna cukup lama hingga panggilan kedua untuk penerbangannya. Javier melepaskan Adrianna dan berjalan menuju tempat untuk boarding penerbangannya.     

Javier melambaikan tangannya pada Adrianna dan dibalas oleh Adrianna yang masih terus terisak. Christabell yang semula memilih melihat kejadian itu dari jauh, segera menghapus air matanya, dia tersenyum untuk memastikan dia terlihat baik-baik saja, dan menghampiri puterinya. Dia segera memeluk Adrianna dan mengusap-usap lengannya.     

"Kalian pasti bisa bertemu lagi. Jangan menangis." Hati Christabell hancur melihat puterinya terluka sedemikian dalam. Bagi seorang ibu, kebahagiaan puterinya adalah harga mati yang tidak lagi bisa ditawar, dan itu juga yang dirasakan oleh Christabell. Jikasaja membujuk Richard suaminya adalah perkara mudah, dia sudah melakukannya agar hati Rich melunak dan mengijinkan Adrianna, puteri mereka untuk menempuh pendidikan di Melbourne, agar dekat dengan Javier pujaan hatinya.     

Itu adalah pemikiran seorang ibu yang lebih sering menggunakan perasaannya dibandingkan dengan logikanya, tapi berbeda dengan Richard. Meski dia begitu menggilai Christabell hingga rela melakukan apapun untuk tetap bisa bersama dengan sang isteri, tapi dia tidak akan pernah melepaskan puterinya untuk mengejar cintanya. Bagi Richard sudah selayaknya seorang pria yang mengejar puterinya dan bukan sebaliknya.     

Setelah bayangan Javier menghilang ditelan kerumunan orang yang juga berbondong-bondong melakukan boarding, Christabell menuntun Adrianna untuk keluar dari airport dan pulang.     

***     

Sesampainya di rumah Richard tampak sudah bersiap dan tengah menikmati kopinya. Adrianna memilih untuk tidak memakan sarapannya dan langung berjalan ke arah kamar sementara Christabell menghampiri suaminya. Bell mengecup singkat bibir Richard.     

"Ben belum bangun?" Tanya Christabell dan dijawab dengan gelengan oleh Richard.     

"Dari mana kalian?" Tanya Richard.     

"Airport." Jawab Christabell ragu, dia menatap suaminya seolah ingin mengukur ekspresi suaminya itu. Apakah dia akan sangat marah setelah mendengarnya atau bersikap wajar saja.     

Richard tampak tak bereaksi, dia meraih cangkir kopinya dan menyesap kopi yang mulai turun suhunya itu. "Adrianna sangat sedih?" Tanya Richard, Christabell mengangguk, tampaknya begitu berat baginya untuk menjelaskan, bibir Bell bahkan bergetar menahan keharuannya mengingat tangis Adrianna yang pecah saat melepas kekasihnya di bandara tadi.     

Richard mengerucutkan bibirnya, "Dia akan mulai terbiasa nanti." Ujarnya, bukan statement yang ingin didengar oleh christabell sebelumnya, tapi itulah suaminya.     

Christabell tampak tertunduk beberapa saat, "Apa tidak sebaiknya kita memperbolehkan Adrianna untuk kuliah di Melbourne agar dekat dengan Javier."     

Richard mengkerutkan alisnya dalam, "Tidak akan pernah, aku tidak mengijinkannya."     

"Rich, bisakah kau tidak terlalu keras pada puteri kita?"     

"Mereka hanya remaja sayang, beberapa bulan setelah mereka berpisah mereka akan lupa satu dengan yang lainnya. Hidup akan kembali normal setelah itu, biarkan Adrianna berkembang sesuai dengan apa yang sudha kita siapkan untuknya." Ujar Richard.     

"Aku akan pergi ke kantor, katakan pada puterimu dunia tidak sesempit itu. Dua atau tiga bulan dari sekarang dia akan sibuk dengan perkuliahan dan teman-teman barunya. Jadi dia akan lupa dengan pria muda itu."     

Christabell mengangguk, pantang baginya menentang perintah suaminya jika itu menyangkut hal-hal yang sangat krusial. "Akan kunasehati dia." jawabnya.     

Richard bangkit dan mengecup kening isterinya itu sebelum pergi ke kantor, sementara Christabell tak lantas memberikan ceramah panjang lebar, dia membiarkan Adrianna memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Jika dia sudah lebih tenang, Christabell akan datang padanya dan memberikan penjelasan pada puterinya itu juga penghiburan.     

***     

Di dalam kamarnya Adrianna tampak masih bercucuran air mata. Baginya ini patah hati terbesar kedua setelah sempat merasa seolah ada harapan untuk hubungannya dengan Javier.     

Memang putus cinta bukanlah akhir dari segalanya, tergantung tingkat kedewasaan setiap orang yang mengalaminya. Terkadang orang juga bisa bermacam-macam cara melampiaskannya. Ada yang harus menyembuhkan dirinya sendiri dengan menyibukkan diri, menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan. Ada yang memilih menikmati rasa sakit dengan sering-sering meratapinya. Ada juga yang memilih untuk tetap menyimpan cintanya meskipun secara sadar tidak yakin akan bisa memperjuangkan cintanya itu.     

Christabell mengetuk pintu kamar puterinya menjelang tengah hari, "Mommy membawakanmu makan." Ujar Bell, dan Adrianna tampak sudah tak menangis lagi.     

"Thanks mom."     

"Apa yang kau lakukan?" Tanya sang ibu.     

"Aku sedang mempersiapkan diri untuk kuliahku mom."     

Christabell tersenyum senang, "Mommy tahu kau bisa mengatasinya sayang."     

"Ya." Angguk Adrianna.     

"Nikmati semua prosesnya, dan mommy yakin kau akan baik-baik saja."     

Adrianna mengangguk setuju. "Thanks for always stand by me mom."     

"I'm your mother, I will do everything to make you happy." Christabell meletakan nampan berisi makanan itu dan memeluk puterinya. Dukungan seorang ibu memang begitu penting bagi psikis puterinya, dan Adrianna selalu memiliki support sistem yang baik dari keluarganya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.