THE RICHMAN

The Reachman - Broken Heart



The Reachman - Broken Heart

0Adrianna mulai masuk sekolah seperti biasa, sudah tiga hari ini diamasuk dan tidak pernah bertemu dengan pria bernama Javier Walton. Saat bertanya pada Mr. Oswald, dia mengatakan bahwa Javier mengajukan ijin selama satu minggu untuk urusan keluarga dan mengganti pembelajarannya dengan sistem pembelajaran online. Sekolah tempat Adrianna menuntut ilmu memang sekolah yang modern, pembelajarannya tak hanya bisa dilakukan dengan tatap muka, tetapi juga bisa dilakukan dengan sistem online. Hal ini mempermudah siswa yang sedang berhalangan hadir di kelas untuk tidak tertinggal pelajaran.     

Adrianna duduk sendiri di depan, sementara Betty di pojok belakang sesekali mencuri pandang ke arah Adrianna. Anak-anak di sekolah itu tidak berani membuly satu dengan yang lain jika mereka tahu siapa orang tua temannya itu. Jika sampai terjadi pembulian, itu akan mengakibatkan kerjasama orang tua mereka di dalam dunia bisnis mungkin akan ikut terimbas. Oleh sebab itu, sejak mulai bersokolah, pesan paling utama dari orang tua mereka adalah, jangan membuat ulah. Hingga akhirnya kenakalan mereka dilampiaskan pada anak-anak yang sekolah disana dengan beasiswa. Hal itu tentu tidak akan memberikan dampak pada orang tua mereka karena anak-anak yang bersekolah dengan beasiswa biasanya berasal dari keluarga menengah atau justru keluarga biasa saja.     

Karenanya meskipun Noura menaruh hati pada Javier sementara Jav justru memberikan perhatian penuh pada Adrianna, Noura sama sekali tidak memiliki nyali untuk mengusik ketenangan Adrianna.     

Sejak pesan terakhirnya tak mendapatkan balasan dari Adrianna, Javier juga berhenti menghubunginya. Entah apa yang terjadi atau sedang dilakukan olehnya hingga menghilang seperti ini. Tapi ini justru akan lebih mudah bagi Adrianna untuk perlahan-lahan melupakan Javier dibandingkan jika harus berpapasan terus dengannya.     

***     

Jam istirahat, waktu favorit bagi Adrianna untuk menikmati mendengarkan musik sambil membaca novel di ruang perpustakaan sekolah.     

"Hi Mss. Kimberly." Sapa Adrianna.     

"Hai sayang." Sang penjaga perpustakaan membalas sapaannya ramah.     

Adrianna menebar pandangan ke seluruh ruangan terbuka itu, "Hari ini tidak banyak yang berkunjung?" Tanyanya.     

"Ya begitulah, tampaknya kalian sudah mulai bosan membaca buku."Seloroh Mss. Kimberly.     

Adrianna tersenyum, dia mengeluarkan kartu keanggotaan perpustakaannya dan di scan oleh Mss. Kimberly. "Masih ada dua buku yang kau pinjam."     

"Ya, aku masih bersusah payah untuk menyelesaikan membacanya."     

Mss. Kimberly, "Ok, enjoy your time."     

"Jam terakhir pelajaranku hari ini sudah berakhir, aku hanya belum ingin pulang." Adrianna tersenyum sebelum berjalan menuju sebuah bangku di sudut ruangan, bangku favoritnya untuk menghabiskan waktu bagi dirinya sendiri.     

Adrianna mengeluarkan novel dari dalam tasnya dan membuka halaman yang terakhir kali dia baca, tempat dia menyematkan penyekat buku bergambar hellokity yang sebenarnya dia dapatkan dari salah satu temannya saat hari ulang tahunnya, beberapa tahun silam, Marebelle. Tapi sekarang Marebelle ikut orang tuanya pindah ke Kanada. Awalnya mereka masih saling berhubungan, namun makin lama intensitasnya makin berkurang hingga akhirnya mereka kehilangan kontak satu dengan yang lainnya.     

Ponsel Adrianna yang dia letakkan di atas meja bergetar, sebuah pesan singkat masuk, dan tampaknya itu dari Chrsitabell ibunya.     

"Sayang mommy akan menjemputmu satu jam lagi, beritahu mommy saat jam pelajaran terkahirmu berakhir."     

Adrianna mengerucutkan bibirnya sementara jarinya mengetik jawaban pesan untuk ibunya, "Aku baru akan selesai daam dua jam lagi mom. Aku akan memberi kabar lagi nanti." Jawabnya.     

"Ok honey." Jawab Christabell sebelum meletakkan ponselnya di atas meja dan mulai membahas tentang konsep penggalangan dana yayasan untuk bulan ini. Sebagai ketua yayasan Christabell bertanggung jawab penuh dalam segala hal termasuk soal menggalang dana dan menyalurkan dana bantuan yang berhasil di himpun oleh yayasan untuk orang-orang yang membutuhkan.     

Adrianna melanjutkan bacaannya, entah mengapa sejak masuk SMA dia jadi gemar membaca novel modern bergenre percintaan. Tentu saja tidak banyak koleksi di sekolah kecuali untuk keperluan kegiatan belajar mengajar, Hal itu mengharuskan Adrianna membeli novel-novel dengan genre kesukaannya di toko buku baik toko buku online maupun offline.     

Satu pesan singkat lagi masuk ke ponselnya dan Adrianna mengabaikannya, meskipun dia menyadari ponselnya bergetar. Mungkin itu ibunya yang sudah tidak sabar untuk menjemputnya. Adrianna memutuskan untuk melanjutkan membaca hingga dia lupa waktu. Sudah satu jam dia habiskan untuk membaca buku itu, karena penasaran Adrianna melihat kea rah ponsel untuk tahu sudah pukul berapa sekarang. Dan di layar ponselnya tampak bulatan dengan gambar profil Javier Walton dan satu pesan yang belum dia baca.     

Menyadari hal itu, Adriana bergegas membuka dan membaca pesan singkat dari Javier.     

"Bisakah kita bertemu sekarang?" Tulis pesan itu, dikirim lima puluh delapan menit yang lalu. Adrianna bergegas membalasnya.     

"Kau dimana?" Balasnya, namun tak segera di baca.     

"Kau ingin kita bertemu di mana? Sebutkan tempatnya." Adrianna menyusulkan pesan balasan berikutnya dan tak lantas terbaca juga oleh Javier. Akhirnya Adrianna memutuskan untuk menelepon Javier, untung saja saat itu tak banyak yang duduk di perpustakaan, hingga tak ada yang protes saat Adrianna mulai repot dengan barang-barangnya.     

"Halo." Suara Javier terdengar di seberang.     

Adrianna segera memasukkan novelnya kedalam tas lalu membawa tasnya keluar. Sambil melambai pada Mss. Kimberly dia berjalan keluar perpustakaan.     

"Kau ingin kita bertemu di mana?" Tanya Adrianna.     

"Aku dalam perjalanan pulang." Jawab Javier.     

Adrianna menuruni tangga dari ruangan perpustakaan yang berada di lantai dua menuju ke lantai satu.     

"Kupikir kau masih ada di sekolah jadi aku sempat datang ke sekolah, tapi kau tak menjwab pesanku, dan saat kutanya jam pelajaran sudah berakhir dua jam lalu."     

Adrianna melambatkan laju langkahnya menuruni tangga. "Jadi kau sudah pulang?" Tanya Adrianna lemas, semangatnya mendadak menguap hilang.     

"Hampir sampai apartmentku." Ujar Jav.     

"Kau tinggal di apartment sendiri?" Tanya Adrianna.     

"Salah satu apartment milik ayahku, aku menempatinya untuk beberapa waktu karena kamarku di renovasi." Jawab Jav.     

"Oh." Tak aga lagi yang sanggup di katakan oleh Adrianna. Javier tidak mungkin kembali ke sekolah, mungkin dia sudah terlalu jauh.     

Adrianna mengigit ujung kukunya, "Bisakah aku menemuimu di apartmentmu?" Tanya Adrianna ragu-ragu.     

"Aku sudah memutar balik dan kembali ke sekolah." Jawab Javier. "Tunggu beberapa menit." Imbuhnya sebelum sambungan telepon mereka terputus. Dengan gelisah Adrianna menunggu di bangku cafeteria. Hari ini tampaknya seluruh ekstrakurikuler diliburkan, beberapa anak masih berada disekolah hanya sekedar untuk bercengkerama dengan teman-temannya atau melakukan kegiatan bersama meski sifatnya bukan pelajaran inti atau ekstra kurikuler.     

Adrianna memesan minuman dan menyesapnya sembari menunggu kedatangan Javier. Benar saja tak berapa lama Javier datang dan langsung menemui Adrianna dicafetaria.     

"Hi." Sapanya singkat.     

Adrianna mendongak, jantungnya berdegup saat tiba-tiba pria itu muncul. "Hi." Adrianna berusaha bersikap wajar karena salah tingkah justru akan membuat dirinya terlihat konyol. Javier duduk di hadapannya dan mereka hanya saling menatap tanpa bicara sepatah katapun. Dalam hati Adrianna jelas bergejolak, saat ini hatinya begemuruh, berbeda dengan tiga hari saat tidak bertemu Javier, meski ada rasa rindu tapi tak sehebat saat mereka justru bersitatap tapi tak bersentuhan.     

"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Javier pada akhirnya.     

"Baik, seperti yang kau lihat sekarang." Jawab Adrianna.     

Jav mengangguk, "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, sebelum penerbanganku sore ini." Ujarnya tertahan, alis Adrianna sontak bertaut dalam. "Penerbangan?" Tanyanya.     

Rahang Javier mengeras sekilas, dia bahkan tampak membasahi kerongkongannya dengan menelan ludah, tampak dari jakunnya yang naik turun. "Aku dan keluargaku akan terbang ke Melbourne sore nanti."     

Adrianna memainkan jarinya dengan tangannya yang lain, "Kalian akan pergi liburan?" Tanya Adrianna.     

Javier menggeleng, "Tidak." Jawabnya.     

"Lalu?" Jantung Adrianna berlompatan semakin kencang, apa yang mungkin dilakukan Jav dan keluarganya di Melbourne selain liburan?     

"Kami pindah ke sana." Pungkasnya.     

Bagaikan disambar petir di siang bolong, Adrianna diam tak bisa berkata-kata. "Hanya itu yang ingin kau katakan?" Tanya Adrianna lirih dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki setelah hatinya hancur berkeping-keping.     

"Ya." Angguk Javier.     

"Ok. Good luck then." Adrianna bangkit dari tempatnya duduk setelah tersenyum getir menatap ke arah Javier. Tidak ada pelukan, tidak ada kata perpisahan yang lebih manis. Adrianna hanya terus berjalan limbung keluar dari pagar sekolah dan mendapati taksi untuk membawanya pulang. Dia bahkan tidak memberikan kabar pada ibunya untuk menjemput. Sepanjang perjalanan dari sekolah ke rumah air matanya tumpah. Dia tidak pernah sehancur ini sebelumnya. Pengalaman pertama dimana Adrianna masih ragu-ragu untuk menitipkan hatinya pada seorang pria dan ternyata di saat yang bersamaan pria itu justru mematahkan hatinya sebelum benar-benar memilikinya. Ikatan diantara mereka juga mengambang tanpa kejelasan, apakah sebenarnya mereka memiliki hubungan lebih dari seorang teman atau hanya teman biasa. Perpisahan yang begitu tiba-tiba membuat Adrianna tidak tahu bagaimana harus mengahdapinya, ketidakjujuran Javier sejak awal membuatnya trauma akan hubungan semacam ini di kemudian hari,     

Sementara itu Javier berjalan gontai menuju mobil mewahnya, meskipun ini bukan kali pertama Javier mencampakan seorang gadis, tapi Adrianna begitu berbeda. Bahkan Jav dengan segenap hati dan kekuatan yang dia miliki ingin sekali berada di sisi Adrianna dan melindungi gadis rentan itu.     

Javier terdiam beberapa saat setelah duduk di balik kemudi. Dia tak lantas menyalakan mesin mobilnya. Tatapan matanya kosong dan semua energy yang dia miliki seolah musnah setelah melihat Adianna beranjak dari bangku di hadapannya tadi. Tidak ada pelukan, tidak ada ciuman hangat, hati Javier bahkan berubah menjadi kecut.     

Keluarganya memutuskan untuk pindah ke Melbourne setelah perusahaan ayahnya mengakuisisi salah satu perusahaan besar disana dan sang ayah harus pindah ke sana. Sementara itu Javier yang masih dianggap dibawah umur pergi bersama mereka, selain untuk mengenyam perndidikan lebih tinggi di negeri kanguru, Jav juga akan bertanggungjawab untuk meneruskan usaha keluarganya di sana nanti.     

Disisi lain Adrianna Anthony, menanis darah mengemis pada ayahnyapun dia tidak akan dibiarkan pergi kemanapun. Richard bahkan sudah memutuskan dimana Adrianna akan melanjutkan pendidikannya setelah lulus sekolah. Adrianna sudah mendaftarkan diri di beberapa universitas terkemuka dan beberapa diantaranya lolos. Richard tinggal mengarahkan puterinya untuk memilih salah satu.     

***     

Setibanya di rumah Adrianna bertemu dengan ibunya, mata sembab membuat sang ibu bertanya-tanya, apalagi saat Adrianna bergegas masuk ke dalam kamar dan mengunci kamarnya.     

"Sayang…" Christabell mengetuk pintu kamar puterinya itu, tapi Adrianna tengah merosot di lantai, tepat di belakang pintu dan menangis dalam diamnya.     

"Adrianna, buka pintunya." Ujar Christabell, entah mengapa jika dengan Bell, Adrianna begitu terbuka. Adrianna bangkit dan membuka pintu kamarnya itu, Christabell masuk dan puterinya itu langsung menghambur ke pelukannya.     

"It's ok." Christabell mengusap-usap punggung puterinya. Meskipun belum tahu betul apa yang terjadi, tapi begitulah Christabell. Dia selalu menenangkan sebelum mencari tahu permasalahan apa yang sebenarnya dihadapi puterinya.     

"Apa yang terjadi sayang?" Tanya Bell kemudian, setelah Adrianna cukup tenang.     

"He's gone." Jawabnya singkat di tengah isakan. Christabell langsung menangkap siapa yang di maksud oleh puterinya itu. Bell kembali memeluk puterinya dan menenangkannya. Tidak ada yang bisa dilakukan seorang ibu selain menjadi pendengar dan memberikan dukungan. Bukan lagi waktunya menjadi ibu yang menghakimi, tapi menjadi ibu layaknya menjadi teman yang akan membuat anak remaja merasa nyaman menjalin hubungan dan keterbukaan pada ibunya.     

"Kalian masih bisa saling berhubungan, teknologi sudah sangat canggih. Jangan menangis." Ujar Christabell.     

"Tidak akan semudah itu mom, dia akan menemukan gadis lain dan melupakanku." Adrianna tampak begitu terluka. Wajar saja, ini kali pertama dia menyukai sosok lawan jenisnya. Dan sialnya Javier Walton menjadi awalan yang buruk, karena setelah ini standard pasangan Adrianna akan menjadi terlalu tinggi, setidaknya yang lebih tinggi dari Javier Walton dan itu sudah sulit.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.