THE RICHMAN

The Richman -



The Richman -

2Adrianna sudah dibawa pulang karena kondisinya semakin membaik, hanya saja dia masih harus ijin untuk tidak sekolah karena Richard bersikeras menunggu sampai luka di lututnya mengering dan bisa berjalan dengan normal. Adrianna memilih untuk beristirahat di dalam kamar setelah sang ayah melarangnya pergi sekolah.     

Eleonora tua mengetuk pintu dan Adrianna mempersilahkannya masuk.     

"Grandma." Adrianna menyambut pelukan neneknya.     

"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Eleonora pada cucunya.     

Adriana mengerucutkan bibirnya, "Sebenarnya aku baik-baik saja, daddy membuat ini terkesan begitu menedihkan." Jawan Adrianna.     

Eleonora memilih duduk di tepi ranjang dan menatap ke arah cucunya itu. "Kau kesal karena tidak bisa menemui kekasihmu atau karena kau tidak bisa belajar di sekolah?" Tanya Eleonora yang sontak membuat wayah Adrianna memerah.     

"Pstttt... grandma" Adrianna memohon pada neneknya itu untuk memelankan suaranya. Jika di dengar oleh ayahnya masalah akan semakin rumit.     

"Kau tahu, saat aku masih muda aku sepertimu." Kenang Eleonora.     

"Grandma tidak pernah bercerita tentang Grandma saat muda." Adrianna tampak begitu antusias mendengar cerita neneknya itu.     

Eleonora tersenyum, sudut-sudut bibirnya yang berkerut mengembang sempurna. "Aku lahir di Nevada, orang tuaku cukup berada saat itu. Dan aku bisa dibilang paling cantik di sekolah, banyak pria yang mendekatiku." Eleonora memang cantik, sisa-sisa masa kejayaannya bahkan masih tergambar jelas di wajahnya.     

Adrianna semakin penasaran, "Lalu?" desaknya.     

Eleonora melanjutkan, "Aku tumbuh menjadi anak yang tidak terlalu menurut pada apa yang dikatakan ayahku. Kala itu aku tumbuh tanpa ibuku, dia meninggal sejak usiaku dua tahun." Eleonora menghela nafas, sedikit berat. "Aku jatuh cinta pada pria yang pertama kali saat aku duduk di bangku SMA."     

Adrianna merasa cerita sang nenek bagaikan refleksi dari kisahnya sendiri. Bedanya dia memiliki ibu yang sungguh luar biasa, Christabell Anthony.     

"Aku melanggar perjanjian dengna ayahku, dan diam-diam berpacaran dibelakangnya. Gairah kawulamuda saat itu." Ujarnya, sejurus kemudian dia meraih wajah Adrianna, "Jangan mengikuti jejakku nak, jika aku memikirkan seluruh kehidupanku aku menyesalinya, mengapa saat itu aku tidak menuruti kata ayahku."     

"Apa yang grandma lakukan?" Tanya Christabell.     

"Aku tergila-gila pada kekasihku, bahkan saat ayahku mengingatkan, aku tidak mendengarkannya sama sekali." Ujarnya sedih.     

"Grandma lari dari keluarga?"     

"Ya." Angguk Eleonora, wajah Adrianna berubah menjadi prihatin. "Grandma..." dia membuka lebar tangannya dan memberikan pelukan pada neneknya itu.     

Eleonora menghela nafas dalam, andaikan aku bisa memutar waktu, aku ingin kembali ke waktu itu dan mengubah pilihanku, tapi saat aku mengingat bahwa aku akan menajadi nenekmu meskipun dengan cara yang begitu berliku-liku aku tidak menyesali apapun sayang."     

Eleonora menyibakkan rambut cucunya dan mengusap wajah cucu perempuannya itu, "Satu hal yang kupesankan padamu sayang, ayahmu adalah putera terbaikku meskipun dia tidak lahir dari rahimku. Kau tidak akan pernah menemukan ayah yang lebih baik darinya." Eleonora menekankan pesan itu pada cucunya. "Caranya mencintai anak-anaknya memang berbeda dari yang kalian harapkan, tapi percayalah bahwa dia sangat mencintaimu. Jangan pernah lari darinya."     

Adrianna berkaca, dia mengangguk mendengar apa yang dia katakan oleh neneknya. "Istirahatlah, aku akan mencari udara segar di luar." Ujar Eleonora setelah mengecup ringan kening Adrianna.     

Tak berapa lama setelah Eleonora pergi, pesan singkat masuk di ponselnya dari Javier.     

"Hi." Hanya dua huruf yang dia tulis, setelah dua hari menghilang tanpa kabar. Terkadang Javier Walton benar-benar menjadi sebuah misteri dalam kehidupan Adrianna yang meski sangat menjengkelkan tapi juga sangat dia rindukan kehadirannya.     

Adrianna hanya membacanya dan memilih untuk tidak membalas. Dia meletakkan ponselnya dalam posisi tertelungkup kemudian kembali merebahkan tubuhnya ke atas bantal. Meski matahari sudah merangkak naik tapi Adrianna enggan beranjak kemanapun, luka di kaki dan tangannya seolah memberinya waktu untuk berpikir tentang banyak hal. Tentang hubungannya dengan sang ayah yang terlihat tegang semenjak dia merasa dirinya sudah bisa menentukan pilihan-pilihannya sendiri dan mulai jengah diperlakukan seperti anak kecil.     

Namun setelah mendengar kisah Eleonora sang nenek, Adrianna berpikir untuk membuat rekonsiliasi dengan ayahnya. Mungkin dia harus menjadi penurut dan melakukan apa yang diinginkan sang ayah. Belajar tentang bisnis selepas lulus SMA dan terjun ke dunia bisnis meneruskan jejak sang ayah, seperti yang selalu ayahnya inginkan.     

Satu-satunya penghalang untuk melakukan semua itu adalah Javier Walton. Pria itu benar-benar membuat konsentrasi Adrianna terpecah antara pendidikan dan asmara.     

Tok Tok     

Wajah Richard menyembul dari balik pintu yang setengah terbuka.     

"Hi, boleh daddy masuk?" Tanya Rich. Richard masuk dan duduk di sisi ranjang Adrianna. "Kau masih marah pada daddy?" Tanya Richard sembari menatap puterinya itu. Entah mengapa Adrianna justru berkaca-kaca dan memeluk ayahnya itu, airmatanya berlinang.     

"Hei.... sweetheart." Richard tampak kebingungan tapi dia hanya mengusap-usap punggung puterinya itu. "Mengapa menangis?" Tanya Richard.     

"Sorry." Ujar Adrianna terisak.     

"Untuk apa sayang? Mengapa kau meminta maaf pada daddy?"     

"Aku sudah jadi pembangkang selama ini. Aku sering membantah apa yang daddy katakan." Adrianna terbata karena harus menahan tangisnya agar tidak semakin menjadi.     

Richard memegangi wajah puterinya itu dengan kedua tangannya, dengan ibu jarinya Rich menghapus jejak air mata yang membasahi wajah puterinya. "Kau kesayangan daddy, dan daddy tidak pernah menganggap pendapatmu sebagai bentuk pembangkangan. Daddy hanya ingin melindungimu, daddy tidak ingin kau terluka sedikitpun." Ujar Richard, matanya menembus kedalam mata puterinya karena terlalu dalamnya tatapan Richard. Dia benar-benar tulus mengatakan semuanya itu pada sang puteri.     

Sekali lagi Adrianna menghambur ke pelukan Richard. "Daddy tidak marah padaku?" Tanyanya.     

"Never ever." Jawab Richard sambil mengusap rambut puterinya itu. Richard merasa begitu bahagia karena puteri kecilnya yang selama ini seolah pergi telah kembali kedalam pelukannya.     

"Aku tidak akan membantah lagi Dad, aku akan menuruti apa yang daddy katakan."     

Richard mengangkat alisnya, "Apa kau menyukai anak itu?" Tanya Richard dan itu membuat Adrianna celingukan, dia seolah baru saja tertangkap basah, tapi untunglah Adrianna bisa mengendalikan dirinya.     

"No." Gelengnya, dan Richard bisa membaca mata puterinya berkata sebaliknya.     

Richard melipat tangannya didada, tapi pandangannya lekat pada puterinya itu. "Kau tahu sayang, kau sangat mirip dengan ibumu." Ujar Richard dan Adrianna tertunduk, dia bahkan tidak berani menatap wajah ayahnya yang baru saja dia bohongi.     

Richard menghela nafas dalam, "Dan satu hal yang paling ayah yakini adalah ibumu tidak pandai berbohong, dan kau sama persis seperti dirinya."     

Mata Adrianna membulat menatap ayahnya, "Daddy tidak percaya padaku?"     

Richard bangkit dari tempatnya duduk, "Kau mungkin merasa bisa membohongi daddy, tapi kau tidak akan pernah bisa membohongi dirimu sendiri." Rich mengusap ujung kepala Adrianna, "Satu permintaan daddy, tetap fokus pada pendidikanmu, masadepan dan tanggungjawab besar menunggumu." Ujar Richard sembari keluar dari kamar puterinya itu.     

Adrianna menghembuskan nafas lega, dia mengambil ponselnya dan melihat pesan singkat baru yang masuk, tampaknya masih dari orang yang sama, Javier.     

"Aku tahu kau marah padaku, setelah kau sembuh dan kita bisa bertemu langsung. Akan kujelaskan semuanya." Tulisnya.     

Adrianna sudah mulai mengetik pesan balasan tapi berkali-kali di hapusnya sebelum terkirim hingga akhirnya dia memilih untuk tidak menjawab pesan dari Javier itu. Adrianna meraih headset dan meletakkannya di telinga kemudian menyambungkan dengan ponselnya dan mulai mendengarkan lagu. Satu-satunya hal yang dia nikmati selain membaca buku adalah mendengarkan musik. Baginya musik terasa menenangkan, bisa menjadi soundtrack schene kehidupan yang tengah dia jalani saat ini.     

Adrianna memejamkan matanya dan yang terbayang seketika adalah wajah Javier dalam berbagai kejadian dua hari lalu saat di perkemahan. Bagaimana ketakutan itu seolah terulang tapi tak setakut saat kejadian itu sesungguhnya karena Adrianna tahu bahwa dalam lamunannya Jav akan menemukannya. Pelukan yang menenangkan, perhatian yang membuat hati lumer, kekhawatiran yang terpancar dimatanya, bahkan kasih sayang selama menjaganya sepanjang malam di masa-masa kritis, semua terulang sama persis dan Adrianna menikmati moment itu di putar berulang-ulang dalam benaknya. Solah Javier nyata, sentuhannya, pelukannya, suaranya, dan segalanya. Benar kata ayahnya, Adrianna memang bisa menipu semua orang, tapi tidak dengan dirinya sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.