THE RICHMAN

The Richman - Accompay



The Richman - Accompay

1Aldric berbaring di sofa sementara Adrianna yang sudah berada di dalam kamarnya tetap gelisah. Dia tidak tega pada Aldric yang terluka dan harus bermalam di sofa ruang tamunya. Itu membuat Adrianna menarik selimut dari kamarnya dan membawanya keluar. Aldric sudah tampak terpejam dengan menggunakan satu tangannya yang terlipat sebagai bantal. Adrianna menyelimuti tubuh Aldric dan berjalan kembali ke kamar untuk mengambil bantal, dengan sangat perlahan dia mengangkat kepala Aldric dan menyelipkan bantal di belakang kepalanya.     

Aldric membuka matanya dan mereka saling tatap dalam jarak begitu dekat. "Apa yang kau lakukan tengah malam begini, bukanya tidur." Protes Aldric, Adrianna memilih duduk di tepi sofa. "Aku tidak bisa membiarkanmu tidur di sofa seperti ini."     

"Kau ingin aku tidur di ranjang?" Tanya Aldric.     

"Ya." Angguk Adrianna.     

"Kita berbagi ranjang?" Tanya pria itu lagi, tapi Adrianna menggeleng. "Aku akan tidur di karpet bawah." Jawabnya.     

"Simpan saja ide konyolmu itu, aku akan tidur jika kau mengijinkanya." Aldric kembali memejamkan matanya, dan Adrianna masih duduk di tempat itu tak bergeming. Aldric berbalik, dari semula yang memunggungi Adrianna kini menghadap ke arah Adrianna, gadis itu menoleh padanya.     

"Berbaringlah." Bisik Aldric pelan. Setelah mempertimbangkan beberapa saat Adrianna akhirnya berbaring di sisi Aldric. "Sekarang kau bisa tidur tanpa rasa bersalah." Ujarnya. Aldric bahkan berbagi selimut dengan gadis itu dan membiarkan tangannya menjadi bantal bagi leher Adrianna. Bukannya bisa terpejam, jantung Adrianna berlompatan tak karuhan. Ini kali pertama dia berada begitu dekat dengan pria, tengah malam dan jauh dari siapapun.     

"Jangan berpikir yang tidak-tidak, tutup matamu dan tidur." Bisik Aldric dan Adrianna mengikuti sarannya. Meski dengan memejamkan mata suasana menjadi semakin sepi, hanya terdengar suara hembusan nafas Aldric yang begitu dekat dengannya.     

Setengah jam kemudian, Adrianna masih belum bisa terlelap. Sementara Aldric tampak sudah terlelap, bagi pria itu berbaring seperti ini dengan seorang wanita bukanlah sesuatu yang crusial, berbeda dengan Adrianna, apalagi saat tangan Aldric tiba-tiba melilit tubuhnya. Meski mungkin itu dilakukan Aldric tanpa sadar karena tengah tertidur, namun bagi Adrianna yang masih terjaga itu menjadi begitu mendebarkan. Adrianna merasa kikuk dengan posisi itu, tapi dia juga tidak bisa menggeser tangan Aldric karena tidak ingin membangunkan pria itu.     

***     

Menjelang dini hari barulah Adrianna jatuh tertidur karena sudah begitu lelah. Dan sekarang sudah pukul tujuh lewat dan dia masih meringkuk di sofa. Sementara Aldric sudah bangun dan pergi ke dapur. Meskipun dia pria modern tapi Aldric pandai membuat makanan didapur. Pagi ini dia menyeduh kopi dan membuat roti panggang, sementara untuk Adrianna dia menuang susu low fat dan memasak telur orak-arik lengkap dengan sayuran.     

Setengah jam kemudian Adrianna menggeliat dan cukup terkejut saat Aldric sudah tidak berbaring di sisinya. Dia bergegas ke arah dapur, tempat satu-satunya sumber suara berasal.     

"Hai." Sapa Aldric begitu Adrianna berjalan ke arahnya sambil menggulung rambutnya.     

"Kau memasak sarapan?" Tanya Adrianna sungkan.     

Aldric mengangkat bahunya, "Sebenarnya aku ingin menunggu tuan rumah bangun dan memberikanku sarapan setelah semalaman aku rela tidur di sofa untuk menjaganya, tapi dia justru bangun lebih siang dariku."     

Adrianna mengusap-usap lehernya, dia tersenyum malu dengan pipi merona. "Biar kubantu." Ujarnya sambil berjalan ke arah Aldric. Mereka berdiri begitu dekat hingga tak ada lagi jarak diantara mereka dan itu membuat Aldric bisa melihat jelas mata Adrianna.     

"I'll do anything to protect you." Bisik Aldric.     

"Thank you." Adrianna mengangguk, dia benar-benar mengatakannya dengan sangat tulus.     

"What if I kiss you now?" Tanya Aldric sungguh-sungguh, dan Adrianna terlihat malu-malu. "Do as you wish." Bisiknya sambil mengigit bibir.     

Aldric mematikan kompor dengan satu tangannya, meletakkan spatula dan segera meraih wajah Adrianna, dengan lembut dia mendaratkan bibirnya ke bibir Adrianna. Sementara itu, Adrianna tampak malu-malu membalas cuman bibir Aldric, hingga tiba-tiba dia teringat bahwa yang sedang dia cium adalah bosnya, Adrianna segera menarik diri, dan mereka menjadi kikuk.     

"Ok, sebaiknya aku selesaikan telur orak-arikmu dan kita sarapan." ujar Aldric, sementara itu Adrianna memilih untuk duduk di meja makan sembari membawa secangkir kopi hitam panas dan susu low fat yang sudah dituang oleh Aldric sebelum dia bangun.     

Aldric datang dengan dua potong roti panggang dan sepiring telur orak-arik. Dia menyodorkan telur orak-arik pada Adrianna. "Ini sarapanmu."     

"Thanks." Adrianna menerima piring itu dan berterimakasih tanpa berani menatap langsung ke wajah Aldric. Pada akhirnya mereka bedua duduk di meja makan, meskipun kali ini dalam keadaan canggung yang luar biasa.     

"Oh ya, bagaimana dengan kencanmu?" Aldric mengalihkan pembicaraan, menanyakan pria lain pada gadis yang baru saja di ciumnya mungkin akan menetralisir perasaan canggung diantara mereka.     

"Entahlah." Jawab Adrianna singkat.     

Alis Aldric berkerut, "Kalian tidak menemukan getaran yagn sama?" Tanyanya.     

Adrianna menyuapkan sepotong brokoli dalam mulutnya, "Kami bertemu, makan dan tidak ada yang lain. Aku rasa sebaiknya kami mengakhiri ketidakjelasan diantara kami."     

"Jadi kalian putus?" Desak Aldric, Adrianna menggeleng pelan, "Kami bahkan tidak pernah memulai apapun kurasa."     

"Dan kau yakin dia menyerah begitu saja?" Pancing Aldric, dan itu membuat Adrianna ragu-ragu. "Apa maksudmu?"     

"Engahlah, menurutku pria mungkin tidak akan semudah itu menyerah. Dalam waktu dekat dia mungkin menghubungimu untuk bertemu lagi."     

Adrianne menghembuskan nafas berat, "Sebenarnya itu hanya buang-buang waktu saja." jawabnya.     

"Kau tidak menginginkannya?" Tanya Aldric.     

Adrianna mengerucutkan bibirnya sekilas, "Awalnya aku merasa mungkin kami bisa memulai lagi dari awal. Aku berharap rasa yang pernah kurasakan beberapa tahun lalu masih sama, tapi saat kami bertemu kembali setelah sekian lama lost contact, semuanya menjadi begitu berbeda di mataku."     

Aldric melipat tangannya di atas meja, dia menatap Adrianna dengan begitu dalam. "Kau tidak ingin mempertimbangkan saran ayahmu?"     

"Soal apa?"     

"Menikah denganku?"     

Adrianna membeku menatap Aldric, "Apa kau berpikir pernikahan sesederhana itu?"     

Aldric tidak menjawab, "Aku memberikanmu tiga pilihan, kau menikah dengan mantan kekasihmu, menikahiku, atau kembali ke rumah orangtuamu." Tegasnya.     

"Semua itu bukan piliihan."     

Aldric masih menatap Adrianna, "Apapun yang jelas aku tidak bisa membiarkanmu berada sendiri tanpa ada yang menjagamu." Tandasnya, "Aku bahakn tidak habis pikir, mengapa ada seorang wanita datang ke apartmentmu selarut itu dan berniat menyakitimu. Aku yakin betul dia sudah menguntit dan mencari informasi sejak lama. Aku tahu betul bahwa sistem informasi di apartment ini begitu rapat dan rahasia penghuninya bisa benar-benar terjaga. Lagipula menurut keterangan polisi pagi tadi saat aku di hubungi, wanita itu sudah pernah dipenjara karena kasus penculikan."     

Adrianna menghela nafas dalam,"Aku tidka tahu harus bagaimana." jawabnya.     

"Menikahlah dengan mantan kekasihmu, atau menikah denganku, atau kembali kerumah orangtuamu. Kau tidak akan aman berada sendirian diluar pengawasan orang-orang yang bisa melindungimu."     

"Aku tidak ingin menikahi siapapun yang tidak kucintai." Tolak Adrianna.     

"Kau bisa belajar soal cinta nanti." Jawab Aldric, dan itu membuat tatapn protes tergambar jelas di wajah Adrianna.     

"Kau menganggap cinta sebagai permainan Aldric, tapi bagiku tidak." Tolak Adrianna.     

"Akan kuberi kau waktu berberapa bulan, kau bisa belajar mencintaiku."     

Adrianna terbahak, "Kau sudah gila boss. Dan satu lagi, aku tidak berencana tertarik padamu, dulu, sekarang dan besok."     

Aldric menyesap kopinya, "Kau lupa kejadian semalam, saat kau bilang tak butuh bantuanku, buktinya kau tidur dipelukanku semalaman. Jadi jaga kata-katamu nona muda, mungkin aku adalah takdir bagimu." Ujarnya. Adrianna yang semula menganggap obrolan ini hanyalah candaan mendadak membeku mendengarnya. Bagaimana jika Aldric Bloom benar-benar takdirnya?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.