THE RICHMAN

The Richman - Suddent Attack



The Richman - Suddent Attack

1Hal yang sempat di katakan oleh Aldric berbuah nyata. Dua malam lalu saat Adrianna pulang dari kantor ayah dan ibunya masih terjaga dan menunggunya.     

"Mom, Dad… kalian belum tidur?" Tanya Adrianna.     

"Kami menunggumu, duduklah." Ujar Richard dengan suara beratnya, Adrianna gemetaran sudah barang tentu ayahnya akan menginterogasinya, darimana saja dia mengapa pulang terlalu larut, padahal dia menghabiskan waktu untuk menguntit bosnya dan berujung dengan mengobrol di apartment Aldric, bosnya. Namun Adrianna memilih untuk diam tak membela diri sedikitpun.     

Christabell memulai pembicaraan, "Sayang, kami tahu kau sudah dewasa." Ujarnya, dan itu membuat Adrianna semakin yakin bahwa pembicaraan malam ini adalah bentuk kemarahan ayah dan Ibunya karena dia mulai sering pulang terlalu larut.     

"Mommy dan daddy sudah sepakat." Chrisabell menatap dalam pada puterinya itu, sementara Adrianna menahan nafas mendengar kalimat selanjutnya dari sang ibu, namun bukannya melanjutkan kalimatnya, Christabell justru menoleh pada Richard, seolah memberinya kode untuk melanjutkan. Richard berdehem dan itu membuat nyali Adrianna semakin ciut dibuatnya.     

"Aku tahu mommy dan dad marah karena aku pulang larut malam, aku minta maaf." Adrianna mengambil inisiatif mengaku dosa daripada diberikan hukuman berat karena menyembunyikan dosanya. Tapi ekspresi wajah Richard dan Chrisatabell justru sebaliknya, mereka tersenyum.     

"Aldric menghubungi kami, dia mengatakan bahwa mobilnya bermasalah dan kau memberinya tumpangan."     

"Oh." Adrianna tertunduk sekilas, "Dasar pembual." Gumamnya dalam hati. Dia jelas mengumpat pada sosok Aldric yang begitu piawai memainkan perannya. Dia berbohong tapi kebohongannya itu menjadi mutlak benar dimata ibu dan ayahnya.     

Richard mengambil sesuatu dari dalam sakunya. "Ini milikmu sekarang." Ujar Rich.     

Adrianna mengambil key card, semacam kunci untuk sebuah apartment. "Are you serious?" Matanya membulat, sejurus kemudian berbinar cerah dan disambut dengan anggukan dari ayah dan ibunya. Adrianna menghambur ke pelukan ayah dan ibunya seketika. Benar yang dikatakan Aldric, mereka sudah merencanakan hal itu sejak sore tadi dan langsung memberikan kejutan itu pada Adrianna malam ini.     

"Beberapa barangmu sudah dipindahkan tadi sore, hanya tersisa beberapa. Perabotan di apartmentmu juga sudah lengkap, kau bisa pindah kapan saja." Ujar Rich.     

"Kami tidak bermaksud mengusirmu sayang." Christabell mengusap wajah puterinya.     

"Thank you." Mata Adrianna berkaca-kaca.     

"Seperti janji kami, setelah kau pergi dari rumah kau harus berdiri di kakimu sendiri. Meski saat kau tidak bisa, kau tahu mommy dan daddy selalu siap untuk membantu."     

Senyum merekah dari wajah Adrianna, "Thanks." Ujarnya.     

Christabell dan Richard mengangguk, mereka juga tersenyum bangga pada puteri mereka. Meskipun Richard Anthony dan Christabell bisa memberikan kemewahan dan kehidupan yang lebih dari cukup pada anak-anaknya, tapi dia selalu ingin anak-anaknya bisa berdiri di kaki mereka sendiri-sendiri. Rich dan Bell berprinsip bahwa orang tua tidak akan hidup selamanya, jadi selagi mereka masih ada, Richard dan Christabell ingin memastikan anak-anaknya siap jika suatu waktu mereka harus hidup tanpa orangtuanya.     

***     

Dan mulai hari ini Christabell pindah ke apartmentnya. Kebetulan ini adalah akhir pekan jadi Rich dan Bell juga Ben menghabiskan sepanjang hari di apartment Adrianna untuk membantu berbenah. Sebenarnya tidak banyak yang mereka rapikan, hanya barang-barang pribadi Adrianna yang dia simpan sejak SMA hingag kuliah. Terutama koleksi buku-bukunya.     

Sisanya dihabiskan oleh Christabell dan Adrianna untuk memasak makan malam, dan menjelang petang Aldric datang dengan sebotol wine sebagai hadiah bagi tetangga barunya.     

"Oh, ya masuklah." Richard menerima Aldric dengan sukacita. Sementara Christabell dan Adrianna membereskan ruang makan, Aldric menawarkan diri untuk membuat salad dan Richard memilih untuk menunggu semua persiapan itu sambil menikmati pertandingan baseball di televise ruang tengah bersama Ben dengan sangat seru.     

"Selamat datang tetangga baru." Aldric mendekat ke arah Adrianna dan berbisik saat Christabell tengah memanggil Richard dan Ben ke arah ruang tengah tempat dua orang itu menonton pertandingan baseball.     

"Thanks." Seulas senyum lebar mengembang di bibir Adrianna.     

Akhirnya seluruh keluarga ditambah dengan Aldric duduk mengitari meja makan, dan mereka mulai bersantap sambil bercengkerama.     

"Aldirc, apa kau punya kekasih?" Tanya Richard mendadal, membuat Aldric hampir tersedak.     

Aldric menjawab setelah meneguk wine untuk membasahi tenggorokannya, "Tidak, em… maksudku tidak saat ini."     

Richard tersenyum lebar, "Mengapa kalian tidak menikah saja?" Rich menoleh ke arah Adrianna tepat setelah dia menatap Aldric, dan itu membuat Adrianna juga hampir tersedak.     

"Dad!" Dia meotot pada ayahnya itu. Tapi bukan Richara Anthony jika dia tidak memiliki argument dan analisa yang menjanjikan, "Aldric lebih tua darimu dan dia jelas lebih matang, apalagi yang kalian tunggu? Daddy lihat kalian cocok." Ujarnya. "Bagaiman menurutmu?" Richard melempar pertanyaan itu pada Aldric dan pria itu justru terlihat tidak punya jawaban.     

"Sayang, bagaimana menurutmu?" Richard melempar pertanyaan itu kepada isterinya, dan Christabell juga tampak tak sanggup menjawab, "Jika Adrianna menginginkannya, mommy pasti mendukung." Jawaban konservatif yang selalu diberikan oleh Christabell disaat-saat genting seperti ini.     

"Ok, tidak perlu kalian jawab sekarang, pertimbangkan saja dulu." Richard akhirnya menyerah kali ini, dia akan mencoba di kesempatan-kesempatan lainnya. Rich bukan orang yang mudah putus asa, hampir semua yang di inginkannya bisa tercapai karena kegigihannya, dan dia berharap apa yang dia inginkan dari puteirnya dan juga putera koleganya untuk menikah dapat menjadi kenyataan suatu saat nanti.     

***     

Makan malam berlangsung dengan hangat setelah topic pembicaraan perjodohan diganti dengan cerita masalalu Richard yang isinya tentang kelucuan, disambut dengan cerita Aldric yang mengisahkan kenakalannya ketika remaja yang berhasil membuat seluruh ruangan penuh tawa cerita malam itu.     

"Ok mommy dan daddy akan pulang sekarang." Christabell memeluk puterinya sekilas.     

"Take care." Adrianna mengusap lengn ibunya.     

"By dear, take care." Richard juga memeluk Adrianna sekilas, "Thanks dad."     

Sementara Ben yang sedari tadi tak banyak bicara memberikan kepalan tangannya untuk toss dengan kakaknya itu. "Jaga dirimu baik-baik anak manja." Seloroh Ben dan itu membuat semua orang tertawa. Pada akhirnya perpisahan terjadi, menyisakan Aldric dan Adrianna di dalam apartment setelah mereka pergi.     

"Kau merasa kesepian setelah keluargamu pergi?" Tanya Aldric, disambut dengan gelengan kepala Adrianna. "Aku hanya harus membiasakan diri." Jawabnya.     

"Ok, aku juga akan pulang." Aldric bangkit dari tempatnya duduk dan memberikan pelukan singkat pada Adrianna. "Semoga betah tinggal di apartmentmu sendiri." Ujar Aldric.     

"Thanks boss." Jawab Adrianna.     

Setelah kepergian Aldric kini Adrianna benar-benar sendiri didalam apartment yang cukup besar itu. Dia menghela nafas dalam, menikmati menatap ke sekeliling, semua dekorasi yang sesuai dengan keinginannya dan dengan warna putih kesukaannya. Adrianna menuju ke sebuah tempat duduk besar di sisi dinding kaca dan memilih untuk duduk di sana menikmati kerlap-kerlip lampu kota di malam hari sambil menyesap sisa wine di gelasnya. Tidak ada yang benar-benar membebani pikirannya saat ini. Dia hanya ingin menikmati hidup sebagai wanita dewasa yang mandiri secara utuh, tidak setengah-setengah, dan langkah pertama untuk mencapai semua itu dimulai dari detik ini.     

Sementara itu Aldric yang baru saja masuk ke unit apartmentnya tampak memilih untuk berselonjor di sofa, menikmati bermalas-malasan setelah menghabiskan siang hari dengan bekerja meskipun ini hari libur di kantornya, Aldric tetap bekerja dari rumah.     

"Jika kau takut tidur sendiri, beritahu aku." Tulis Aldric dan dikirim pada Adrianna melalui pesan singkat. Adrianna tersenyum sendiri saat membacanya.     

"Sayang sekali, pikiran kotormu hanya akan berakhir sebagai angan-angan Mr. Bloom." Jawab Adrianna.     

Aldric tersenyum membaca balasan itu. "Kau yang berpikrian kotor, aku hanya menawarkan bantuan!" Tulisnya.     

"Terimakasih, tapi maaf sekali aku belum perlu bantuanmu."     

Aldric membalas pesan itu sekali lagi sebelum akhirnya memutuskan untuk bersiap mandi dan pergi tidur. "Jangan meneleponku nanti malam aku tidak akan mengangkatnya, penwaranku hanya berlaku sekali saja." Jawab Aldric lagi.     

Adrianna masih tersenyum sendiri saat bell pintunya berbunyi, "Dasar…" Dia segera berlari dan karena begitu yakin bahwa Aldric datang lagi untuk menggodanya, Adrianna lantas membuka pintu itu tanpa mengintip dari lubang intai. Adrianna sempat terkejut karena yang berdiri di ambang pintu bukanlah Aldric melainkan seorang wanita seusia ibunya.     

"Hi." Sapa wanita itu ramah.     

"Hi." Adrianna menjawab dengan ragu.     

Wanita tua itu membawa sebuah bingkisan, "Aku tetanggamu, Gabrielle Zein." Ujar wanita itu. Adrianna yang tak pernah mendengar nama itu tampak tak curiga.     

"Oh ya Mrs. Zein."     

"Aku datang untuk menyapa tetangga baruku, bisakah aku masuk?" Tanya wanita itu, dank arena ini kali pertama Adrianna tinggal di apartment sendiri, dia berpikir bahwa basa-basi semacam ini juga masih dilakukan oleh beberapa orang di kota besar seperti New York.     

"Silahkan masuk." Adrianna akhirnya memberikan akses untuk wanita itu masuk ke apartmentnya.     

"Pemilik lamanya Mr dan Mrs. Pattinson adalah temanku. Kami mulai berteman sejak beberapa tahun lalu dan aku mendengar kabar dari mereka bahwa hari ini penghuni baru di apartment yang mereka jual akan pindah."     

"Oh." Adrianna tersenyum canggung, meskipun wanita itu banyak bicara dan terlihat sangat bersahabat, tapi Adrianna tidak tertarik untuk mengobrol lebih banyak.     

"Kau tinggal sendiri di tempat ini?" Tanyanya.     

Adrianna mengangkat bahu. "Orang tuaku baru saja pergi." Jawabnya.     

"Oh. Jadi kau tinggal bersama dengan orang tuamu?"     

Adrianna menggeleng, "Tidak, mereka hanya datang berkunjung." Jawabnya. Entah mengapa dia merasa ada yang tidak beres dengan wanita ini hingga Adrianna harus mencari akal untuk bisa menghubungi Aldric dan memintanya datang.     

"Em, akan kuambilkan air mineral." Ujar Adrianna.     

"Tidak perlu repot." Jawab Gabrielle.     

"Tidak, sungguh ini tidak repot." Geleng Adrianna, "Aku akan segera kembali."     

Dia berjalan ke arah dapur dan langsung mengambil ponselnya dan menghubungi Aldric. Aldric yang baru saja berniat mandi dan sudah bertelanjang dada mendengan ponselnya berbunyi memilih untuk mengurungkan niatnya dan memeriksa panggilan itu.     

"Aku baru saja akan mandi dan kau suda meneleponku, apa kau sudah rindu padaku?" Seloroh Aldric.     

"Tunggu, aku butuh bantuanmu." Jawab Adrianna berbisik.     

���Aku tidka akan menawarkan bantuan untuk kedua kalinya." Aldirc masih merasa bahwa ini adalah kelanjutan dari candaan mereka tadi. Tapi tiba-tiba tidak lagi terdengar suara Adrianna, bernati dengan suara dua orang yang terdengar cukup jauh dari telepon karena suaranya mendadak kecil, tapi Aldric masih terus mendengarkannya, seperti percakapan dua orang.     

"Dapur modern minimalis, seleramu bagus." Terdengar suara wanita lain, dan Aldric merasakan ini sebagai signal bahaya. Dia segera menyambar kaos seadanya dan langung menuju unit apartment Adrianna. Untung saja keusilannya mencuri keycard cadangan dari tempatnya saat berjalan pulang dan Adrianna tidak menyadarinya, ternyata ini sekarang berguna. Sambil trus mendengarkan pembicaraan yang terjadi, Aldric berlari cepat.     

Aldric masuk ke dalam apartment Adrianna diam-diam dan perlahan-lahan. Dia berusaha mencari sumber suara, dari dua orang wanita itu setelah mengakhiri panggilan dari Adrianna.     

"Siapa kau?" Suara parau Adrianna terdengar dari arah dapur, dia terdengar begitu ketakutan. Aldric mengendap-endap mencari tau apa yang sebenarnya terjadi.     

"Apa yang kau ingikan dariku?" Tanya Adrianna. "Jika ini soal uang, aku bisa memberikannya." Ujar Adrianna dengan suara gemetar. Wajahnya pucat pasi, sementara Aldric tidak melihat jelas lawan bicara Adrianna, yang dia lihat wanita itu memegang pisau dapur dan mengacungkannya kearah Adrianna.     

Aldric muncul dari belakang dan Adrianna melihatnya, tapi Aldric mengarahkan telunjukna menutupi bibirnya, meminta Adrianna untuk tidak mengalihkan pandangan hingga si wanita tak menyadari kehadirannya. Tapi karena mata Adrianna sempat bergeser, itu membuat si wanita curiga dan dia lansung berbalik dan menyabetkan pisaunya hingga mengenai Aldric.     

Adrianna menjerit sambil menutup mata, tapi Aldric dengan cepat langsung menendang tangan wanita itu hingga pisaunya terjatuh dan wanita itu tersungkur ke lantai. Dengan cepat Aldric melumpuhkannya dan meminta Adrianna mengambil tali untuk mengikat tangannya. Setelah berhasil dilumpuhkan Aldirc memanggil keamanan gedung dan tak berapa lama disusul dengan orang-orang dari kepolisian. Wanita itu segera diamankan dan menyisakan Aldric dengan Adrianna didalam apartment.     

"Kau terluka." Adrianna menyentuh darah yang merembes dari kaos yang dikenakan Aldric. "Biar kubantu buka." Adrianna membantu Aldric meloloskan kaos berwarna abu-abu dari atas kepal Aldric dan melihat luka sayatan yang meski tak cukup dalam, tapi cukup panjang.     

"Kita harus kerumahsakit." Adrianna mendadak menjadi semakin panik.     

"Ini hanya goresan, tidak perlu kerumahsakit. Ambil saja kotak obat." Ujar Aldric, dengan cepat Adrianna mengambil kotak obat dan langsung membersihkan luka Aldric dengan cairan alkohol. Meski bukan luka dalam, tapi rasa perihnya cukup membuat Aldric meringis.     

"Kau yakin akan baik-baik saja?" Alis Adrianna bertaut dalam setelah mengoleskan obat luka dan memberikan plester luka untuk menutup luka Aldric.     

Aldric tersenyum, "Aku tidak akan mati dengan luka seperti ini, tenanglah." Aldric memutar posisinya yang tadinya duduk kini menjadi berbaring. "Tidurlah, aku akan bergaja di sini."     

Alis Adrianna berkerut, "Aku bisa menghubungi orangtuaku agar mereka kesini, jadi sekarang biarkan aku mengantarmu kerumahsakit."     

Aldric meraih pergelangan tangan Adrianna, "Duduk diam dan jangan banyak bicara." Ujarnya. Adrianna mendadak membeku, "Apa kau kesakitan."     

"Jika kau mengatakan itu pada orangtuamu maka selama hidupmu kau tidak akan dibiarkan tinggal sendiri, jadi jangan bertindak bodoh." Aldric masih memegangi pergelangan tangan Adrianna sementara gadis itu terlihat ketakutan duduk di sisinya.     

"Aku berjanji akan mencari tahu siapa wanita itu dan apa tujuannya, sebelum aku mendapatkan informasi apapun, jangan hubungi orangtuamu." Ujar Aldric dan Adrianna mengangguk setuju.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.