THE RICHMAN

The Richman - Mss. Stalker



The Richman - Mss. Stalker

0Adrianna tak lantas pulang setelah berpisah dengan Javier Walton di dalam restoran. Dia memilih untuk menunggu di tempat parkir. Kebetulan saat dia berjalan menuju mobilnya, Adrianna melihat mobil SUV milik bosnya terparkir tak jauh dari mobilnya berada. Jika sang bos yang sangat gentleman itu datang kerestoran dengan konsep sedemikian romantis dengan seorang gadis, tentu saja dia tidak akan membiarkannya pulang sendiri. Aldric pasti akan mengantar gadis spesial itu pulang, dan Adrianna rela menunggu untuk melihat wajah gadis itu agar dia tahu selera bosnya.     

Rasa penasaran itu menjadi begitu besar karena selama bekerja dengan Aldric dua minggu terakhir, Adrianna tidak pernah melihat bosnya sibuk mengirim pesan pribadi atau menelepon seseorang yang sifatnya pribadi. Panggilan di ponselnya selalu soal pekerjaan dan hampir dua belas jam waktu yang dihabiskan di kantor dan bersama dengan Adrianna tidak ada hal-hal diluar pekerjaan yang terjadi pada sang bos. Adrianna pernah berpikir, mungkin saja suatu hari dia harus dipaksa keluar dari ruangannya jika tiba-tiba kekasih Adric datang ke kantor dan merengek meminta perhatian lebih, tapi ternyata selama dua minggu dia bekerja bersama pria itu, hal itu tidak terjadi sama sekali. Rasa penasaran Adrianna akan terjawab malam ini, tipe wanita seperti apa yang disukai bosnya itu.     

Satu, dua, tiga, sepuluh menit, bahkan setengah jam berlalu dan pria itu belum juga muncul. Tak berapa lama dia muncul dari kejauhan dan Adrianna harus bersembunyi dibalik kemudi agar Aldirc tidak menyadari bahwa dia sedang menguntit bosnya itu. Adrianna mengangkat sedikit wajahnya hingga kedua matanya bisa melihat ke arah Aldric dan seorang wanita dengan coat panjang berwarna coklat dan tatanan rambut yang di ikat begitu elegan berpelukan singkat. Tak berapa lama sebuah mobil menghampiri wanita itu. Lambaian tangan Aldric mengiringi kepergian sedang mewah yang di tumpangi si wanita.     

Sementara itu Adrianna mengangkat wajahnya, "Dia mengencani wanita yang lebih tua?" Dia bergumam untuk dirinya sendiri. "Jadi itu alasannya dia butuh tempat yang lebih privat untuk makan malam?" Imbuhnya. "Apa dia mengencani isteri orang?" Pertanyaan itu muncul di benak Adrianna. Apakah bosnya serendah itu hingga harus menjadi gigolo?     

Tiba-tiba pintu kaca mobilnya diketuk seseorang, dan itu membuat Adrianna terlonjak.     

"Open the door." Perintah pria yang membungkuk, melongok ke dalam kabin mobil. Saat Adrianna mengenali wajah itu, terpaksa dia membuka kunci pintu mobilnya dan si pria masuk kedalam.     

"Kau sedang menguntitku Mss. Adrianna Anthony?" Aldric memutar tubuhnya hingga menghadap ke arah Adrianna, dengan nada interogasi dan mata yang menyipit ke arah asistennya itu, Aldric menuntut jawab.     

Adrianna terlihat celingukan, "No." Gelengnya cepat.     

"Aku memperhatikanmu sejak tadi. Kau bertanya pada pramusaji dimana mejaku, lalu sekarang kau berada di balik kemudi mobilmu sambil mengawasiku, apa yang ingin kau tahu?" Tanyanya, pria ini bahkan seolah dewa yang tahu segalanya.     

Adrianna berdehem, dia bahkan sempat membasahi kerongkongannya sebelum menjawab. "Em... sesuai saranmu, aku akhirnya menemui pria masalalu itu di restoran ini." Jawab Adrianna.     

Aldric mengerucutkan bibirnya sekilas, sementara dia melipat tangannya di dada. "Itu tidak menjawab pertanyaanku, "Kau sedang menguntitku, hah?"     

"Em... tidak." Bohong Adrianna.     

"Baiklah, jika kau tetap tidak mau mengaku." Aldric berniat untuk keluar dari mobil Adrianna, tapi mendadak Adrianna menekan tombol center lock hingga Aldric tidak bisa keluar. Pria itu sempat terdiam beberapa detik sebelum kembali menoleh pada Adrianna.     

"Em..." Adrianna berdehem sekali lagi. "Aku tahu, ini bukan urusanku. Dan setiap orang berhak memiliki preferensi sendiri." Ujar Adrianna memulai pengakuannya, dan itu cukup mengejutkan bagi Aldric, pria itu melipat tangannya di dada sembari mendengarkan pengakuan asisten magangnya itu dengan saksama.     

"Aku akan menjaga rahasiamu." Adrianna menatap sang bos dari balik bulu matanya, dia bahkan tak berani menatap langsung ke arah mata Aldric yang tajam mengawasinya.     

"Rahasia apa maksudmu?" Tuntut Aldric.     

"Soal kau mengencani wanita yang lebih tua, aku tidak menuduhmu mengencani isteri orang." Adrianna bergidik, seolah tidak ingin salah bicara sedikitpun.     

Aldric tersenyum lebar, "Wanita yang kuajak makan malam tadi memang isteri orang." Jawab Aldric tegas, dan dia justru tampak bangga dengan apa yang barusaja dia katakan. Adrianna dibuat menganga dengan pernyataan itu.     

"Kau bis mendapatkan wanita yang lebih muda, dan bukan isteri orang." Adrianna berujar lirih, "Tapi aku tidak berhak mencampurinya sebenarnya. Sorry." Adrianna cepat-cepat membuka center lock dan memegangi stir mobilnya kuat-kuat. Dan bukannya keluar dari mobil, Aldric bersandar di bangku tempatnya duduk.     

"Antar aku pulang." Ujarnya.     

"Jam kerjaku sudah berakhir." Tolak Adrianna.     

"Aku bosmu duapuluhempat jam." Perintah Aldirc sekali lagi.     

"Tapi kau membawa mobilmu sendiri boss."     

"Ini perintah, aku akan membayar uang lemburmu."     

Adrianna memutar matanya, "Aku tidak butuh gajiku sebenarnya." Jawab Adrianna kesal.     

"Kau akan butuh setelah ini." Ujar Aldric.     

"Apa maksudmu?" Tukas Adrianna.     

Aldric memejamkan matanya dan melipat tanganya di dada. "Supirku akan membawa pulang mobil, sekarang antar aku pulang. Aku akan mengatakannya di jalan nanti."     

"Ok, deal."     

Adrianna menyalakan mesin dan kembali menekan center lock sebelum akhirnya memutar kemudi dan membawa bosnya itu pulang. "Kau pernah merengek pada ayahmu untuk tinggal sendiri di apartment bukan?" Tanya Aldric.     

Alis Adrianna berkerut mendengarnya. "Bagaimana kau tahu?"     

"Ayahmu meminta pendapatku."     

"Dan?" Adrianna menyipitkan matanya ke arah Aldric. Pria itu tersenyum lebar, "Aku membuat ayahmu mempertimbangkan keinginanmu itu, dan kau berhutang padaku karena dalam waktu dekat ayahmu pasti mengabulkannya."     

Mata Adrianna berbinar, sejak dulu dia memang ingin sedikit terbebas dari bayang-bayang nama besar ayahnya. Pertama adalah soal magang, ini langkah awal yang baik sebenarnya karena Richard mengijinkannya untuk bekerja di perusahaan lain bukannya langsung menerima kedudukan tinggi di perusahaan ayahnya itu.     

"Ok, bagaimana caraku membayar hutangku?" Tanya Adrianna.     

"Kau akan menjadi supirku setiap hari selama magang."     

"What?" Adrianna melotot sekilas ke arah Aldric. "How come?!" Protesnya.     

Aldric membuka mata dan menoleh ke arahnya, "Perhatikan jalanmu, jangan coba-coba mencelakai bosmu."     

"Persetan dengan uang lembur." Adrianna bergumam kesal pada dirinya sendiri.     

Aldric tersenyum lebar, "Kau benar-benar ingin menguntitku, maka aku memberikan kesempatan yang seluas-luasnya karena dalam waktu dekat kau akan tinggal di unit apartment yang berhadapan dengan unit apartmentku."     

Adrianna mendengus, "Kau menghasut ayahku untuk memilih apartment itu?"     

"Tidak." Geleng Aldric. "Aku mengajukan diri dengan sukarela untuk mengawasimu saat kau tinggal diluar rumah dan jauh dari orangtuamu."     

"Oh gosh." Umpatnya kesal, "Kau benar-benar meracuni ayahku Aldric Bloom."     

Aldric terkekeh, "Ayahmu tidak memberimu ijin tinggal di luar rumah karena dia khawatir padamu, dan aku memberikan jaminan sebagai bosmu, bahwa kau akan menjadi anak baik selama tinggal diluar rumah. You're in my watch."     

"I can't believe this." Adrianna menggeleng heran.     

"Kau harus bahagia mendengar kabar ini, ini spoiler yang bisa kuberikan sebelum ayahmu mengajakmu mengobrol serius soal tinggal di apartment sendiri." Itu kalimat terakhir yang keluar dari bibir Aldric karena setelahnya dia memilih untuk memejamkan matanya selama sisa perjalanan.     

***     

Setelah mereka tiba di apartment Aldric, pria itu mengajak Adrianna masuk ke unit apartmentnya. Sebelumnya tak ada satu orang wanitapun yang dikencaninya diajak ke apartment ini.     

"That your apartment?" Adrianna masuk dengan ragu-ragu. Apartment itu sangat luas, didesign dengan minimalis modern hingga membuatnya terkesan simple.     

"Come." Aldric masuk kedalam dan menggeser pintu kaca yang membuatnya bisa melihat keluar, ke balkon yang tak kalah luas. "It's the balcon, and there will be yours." Aldric menunjuk ke sebelah kiri. Ada juga balkon yang menghadap keluar dan itu adalah unit apartment yang baru saja di beli oleh ayahnya untuk di tinggali Adrianna.     

"Apa kau yakin?" Tanya Adrianna.     

"Aku menemani ayahmu melihat apartment ini bersama dengan ibumu sore tadi."     

Adrianna mengangguk paham, "Jadi kau pergi begitu saja tanpa memberitahuku untuk alasan itu?"     

"Ya." Angguk Aldric.     

"Lalu mengapa kau membocorkan rahasia ini padaku?" Tanya Adrianna sambil meipat tangannya di dada, seolah ingin mempertanyakan tindakan Aldric.     

Pria itu tersenyum sekilas, "Jangan bertingkah sok serius." Ujarnya. Al memutar tubuhnya dan dengan kedua tangannya yang bertumpu pada pembatas balkon Aldric menatap jauh. "Beberapa waktu mengenalmu, meski belum lama aku bisa melihatmu terkadang bertindak spontan tanpa memikirkan perasaan orang-orang di sekitarmu. Ayahmu dan ibumu sudah berusaha keras untukmu, setidaknya sekali-sekali kau bisa bersikap sebagai anak manis, dan berhenti berargumen apalagi membantah." Ujarnya, dan itu membuat Adrianna merasa bahwa dirinya baru saja ditampar. Dia menydarai bahwa dia bukanlah anak manis penurut di kelaurga Anthony, tapi dia tidak menyangka bahwa selama beberapa hari bersama dengan Aldric, pria itu sudah bisa menilai seperti apa dirinya.     

"Mereka hanya berusaha memberikan yang terbaik untuk puteri kesayangan mereka, bahkan aku melihat mereka sudah menekan ego mereka sekuat mungkin, terutama ayahmu." Aldric berjalan masuk ke ruangan dan berbelok menuju sebuah sudut tempat minibar berada.     

"Kau ingin minum?" Tanya Aldric.     

"Tidak." Geleng Adrianna. "Aku harus menyetir pulang."     

"Ok." Angguk Al, dia menuang segelas air mineral sebagai pengganti wine yang dia tuang di gelasnya sendiri.     

"Kau tahu, terkadang aku merasa buruk sudah lahir di keluarga Anthony." ujar Adrianna setelah meneguk air dari gelasnya, Aldric menatapnya sembari menyesap wine dari gelasnya. "Kenapa kau berpikir seperti itu?"     

"Aku hidup dengan bayang-bayang orang tuaku, dan itu membuatku merasa bahwa aku tidak memiliki kehidupanku sendiri." Jawabnya.     

Aldric mengangguk, "Pernahkah kau berpikir bagaimana jadinya dirimu jika tidak dilahirkan di keluarga Anthony?"     

"Mungkin akan lebih mudah menjalani hidupku jika aku menjadi orang biasa." Adrianna menghela nafas dalam sebelum mengutarakan jawaban itu.     

Aldric mengusap-usap janggutnya, "Atau justru lebih berat." Ujarnya singkat, membuat alis Adrianna bertaut dalam. "Apa maksudmu dengan lebih berat?"     

"Kau mungkin tidak akan mendapatkan pendidikan yang baik, atau kau akan tinggal di tempat yang tidak pernah kau bayangkan, panti asuhan. Mungkin dalam perjalananmu menuju kedewasaan kau mengalami kesulitan keuangan, pelecehan, dan lain-lainnya yang tidak pernah kau bayangkan sekarang ini."     

Adrianna membeku mendengar penjelasan Aldric. Pria itu meraih tangan Adiranna dan mengusapnya, "Jalani saja kehidupanmu sebaik mungkin. Jangan berpikir tentang apa yang tidak kau miliki sekarang. Bersyukur saja untuk apa yang kita miliki dan jangan memusingkan untuk apa yang bukan menjadi milik kita."     

Adrianna menelan ludah, "Kau tahu, kau terlihat sangat bijaksana bos. Dalam setiap kalimatmu aku menemukan kebijaksanaan itu. Tapi aku tidak habis pikir, orang sertimu mengencani isteri orang, apalagi kau pernah bilang padaku, kau tidak akan mengambil wanita yang sudah menjadi milik pria lain."     

Aldric tersenyum lebar, "Kau masih ingin membahas hasil penguntitanmu tadi?" Tanya Aldric.     

"Tidak, aku hanya melihatmu seolah kau memiliki dua kepribadian yang benar-benar bertolak belakang satu dengan lainnya."     

Aldric bangkit dari tempatnya duduk dan mengambil foto dari sisi lain ruangan, foto yang disematkan dalam sebuah bingkai berwarna coklat. "Ini wanita yang kau lihat tadi bukan?" Tanya Aldric.     

Adrianna menatapnya dalam-dalam, "Aku tidak yakin dengan wajahnya."     

"She is my mother." Jawab Aldric singkat.     

"What?" Adrianna tampak kebingungan. "And she's my father's wife."     

Adrianna terlihat langsung malu, "Sorry, aku tidak bermaksud menuduhmu."     

"Ibuku ulang tahun hari ini dan dia ingin makan malam denganku." Jujurnya.     

"Mengapa kalian tidak makan malam bersama keluarga yang lain."     

"Ayahku ada urusan bisnis, dan ibuku sendiri di rumah. Terkadang mungkin dia jenuh dan ingin keluar." Aldric menyesap lagi wine dari gelasnya. "Aku tidak begitu akur dengan ayahku saat pertama kali aku memutuskan untuk keluar dari rumah dan tinggal sendiri."     

"Benarkah?"     

"Ya, awalnya aku juga sepertimu. Saat aku seusiamu aku tidak bisa menerima mengapa ayahku terlalu ikut campur dalam hidupku, tapi pada akhirnya aku bisa menerima semua itu sekarang, setelah aku cukup tua." Seloroh Aldric.     

"Apa kau setua itu boss?" Adianna bertanya polos.     

"Cukup tua untuk mengencani gadis semuda dirimu." Ujarnya, dan entah mengapa mendengar kalimat itu membaut jantung Adrianna melonjak, hingga membuat reaksi yang aneh di wajah Adrianna.     

Aldric tersenyum, "Aku tahu diri, kau sudah menolakku berkali-kali." Rahang pria itu mengeras, "Aku sangat ingin kau menginap, tapi ayahmu akan menembakku hidup-hidup jika tahu puterinya menginap di apartmentku malam ini. Sebaiknya kau pulang." Seringai lebar tergambar jelas di jawah Aldric, untuk beberapa saat Adrianna berharap Aldirc memintanya tinggal, tapi kenyatannya tentu saja tidak akan seperti yang dia bayangkan. Adrianna mengangguk paham, dan menjawab "Ok."     

Dia bangkit dari tempatnya duduk dan menyambar tasnya sebelum berjalan keluar dari unit apartment Aldric. Bagi Adrianna, sosok Aldric ternyata begitu menarik hingga membuatnya sulit untuk menepis bayang wajah Aldric dari benaknya. Berada di dekat Aldric membuat Adrianna merasa bahwa dirinya aman dan kedewasaan, kematangan dan kemapanan Aldric seolah menjanjikan bahwa semua akan selalu baik-baik saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.