THE RICHMAN

The Richman - Find The Fact



The Richman - Find The Fact

1Adrianna masuk kedalam ruangan yang sudah disiapkan untuknya dan duduk. Dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan di kantor ayahnya itu. Tidak ada petunjuk dan tidak ada pembimbing sementara ayahnya belum tiba di kantor. Perasaannya benar-benar kacau, tidak seharusnya dia memutuskan semuanya semendadak ini.     

Sekarang dia benar-benar hanya duduk diam dan mulai menyesali apa yang sudah dia putuskan sebelumnya. Tapi menyesalpun tak akan ada gunanya saat ini. Yang bisa dialakukan satu-satunya adalah menghadapi apa yang sudah menjadi keputusannya.     

Saat Adrianna sedang sibuk melamun soal semua keputusan juga soal apa yang mungkin akan jadi masadepannya, tiba-tiba terdengar keramaian diluar ruangannya. Adrianna berjalan keluar untuk melihat apa yang terjadi, tampaknya akan dilakukan rapat darurat oleh top management perusahaan.     

Adrianna yang semula hanya melihat dari luar menjadi tertarik dan ikut masuk kedalam ruang rapat, meski semua mata tertuju padanya dengan tatapan kurang suka, namun Adrianna bergeming. Dia tetap duduk di posisisnya dan menunggu sang ayah masuk kedalam ruangan.     

"Selamat pagi." Sapa Richard ringkas. Dia benar-benar tidak banyak bicara membuka rapat pagi ini.     

"Pasar sangat baik pagi ini, harga meroket tinggi, dan tujuh puluh persen saham kita dibeli oleh investor retail selama ini mendadak di borong oleh satu orang. Beberapa tim sedang menyelidiki si pemborong saham ini. Dalam waktu dekat kita harus melakukan rapat umum pemegang saham untuk menanggapi hal ini." Richard terlihat panic, tapi dia mencoba mengendalikan dirinya.     

Jawab beberapa orang hampir bersamaan, "Yes Sir."     

"Siapkan rapat umum pemegang saham luar biasa." Ujar Richard. "Rapat selesai." Imbuhnya, semua orang keluar dari ruang rapat itu menyisakan Adrianna.     

"Daddy, apa yang terjadi?" Tanya Adrianna.     

Richard menghela nafas dalam, "Pagi tadi kami merelease berita tentangmu yang akan menjadi pengganti daddy, untuk regenerasi. Tapi tiba-tiba pukul sepuluh lewat limabelas trading menjadi semakin gila dan akhrinya semua saham kita yang selama ini dibeli pegang oleh investor retail mendadak dibeli oleh satu orang, hampir enam puluh tujuh persen dibeli oleh investor besar dan sisanya masih di miliki oleh investor retail."     

"Apa pengaruhnya?" Adrianna menautkan alisnya.     

"Kita hanya memiliki tigapuluh persen saham, dan sekarang kita sedang berusaha meraih tiga persen sisanya." Ujar Richard, "Kita harus tahu siapa pemilik enam puluh persen lebih saham perusahaan kita, dan untuk itu akan diadakan RUPS LB."     

Adrianna membeku mendengarnya, di hari pertamanya masuk ke kantor ayahnya, masalah besar tiba-tiba hadir dan menghantam dengan sedemikian mengerikan.     

"Apa yang mungkin terjadi daddy?" Adrianna bertanya ragu. "Apakah orang itu mungkin sengaja melakukannya?"     

"Sudah pasti sengaja."     

"Apa kita punya musuh?" Tanya Adrianna.     

"Banyak." Jawab Richard, "Tapi tidak ada yang segila ini." Jawab Richard.     

Adrianna menelan ludah, di benaknya terbersit dua nama, Javier Walton dan satu lagi adalah Aldric Bloom, dan keduanya memiliki motifnya masing-masing untuk membalas dendam Adrianna.     

Gadis itu pamit undur diri dari hadapan ayahnya dan kembali ke ruangannya. Dia mencoba menghubungi kedua pria itu untuk mencari jawaban.     

"Halo." Adrianna menghubungi Javier, dan tampaknya pria itu sama sekali tak menyimpan dendam karena menerima panggilan pertama darinya tanpa ragu.     

"Hai." Sapanya ramah.     

Gadis itu memutar otak untuk mengorek informasi tanpa membuat Javier terlalu curiga. "Apa kau sibuk?" Tanya Adrianna.     

"Tidak terlalu, hanya mengurus beberapa hal tapi bisa kutangani." Jawabnya.     

"Bisakah kita bertemu?" Adrianna benar-benar harus mengorbankan diri agar keluarganya selamat. Dia tidak mungkin mengorbankan perusahaan yang sudah dirintis oleh orang tuanya secara turun-temurun diambil alih orang lain hanya karena keegoisan dirinya.     

"Kau ingin bertemu?" Javier bertanya ragu, dari nada bicaranya seolah dia tidak percaya Adrianna menawarkan hal ini padanya pada akhirnya.     

"Ok, kau ingin aku jemput sekarang?" Tanya Javier.     

"Tidak, kita bertemu di café Orland saja." Adrianna menwarakan. "Aku berangkat sekarang." Ujarnya, dan Javier setuju. Dia bergegas keluar dari ruangannya dan dengan menenteng tas mahalnya dia berjalan cepat menuju lift. Ayahnya yang baru keluar dari ruang rapat sempat melihat sekilas tapi dia membiarkan puterinya itu pergi. Masalah sebesar ini tidak seharusnya ditanggung olehnya, karena dia baru masuk di perusahaan.     

***     

Adrianna baru saja memarkirkan mobilnya di tepi jalan dan turun menuju café yang letaknya tepat di tepi jalan dengan suasana yang nyaman dan pada jam seperti ini tidak terlalu rampai oleh pengunjung. Adrianna baru saja duduk di kursi saat Javier tiba dan memarkirkan kendaraannya. Dengan berlari kecil dia menuju pintu masuk. Setelah itu dia menemukan tempat duduk Adrianna dan menyambanginya. Adrianna bahkan bangkit dan memberinya pelukan singkat sebagai sopan santun untuk menyapa orang yang diundang secara khusus olehnya untuk bertemu.     

"Hai, apa kabarmu?" Tanya Adrianna sungkan. Tampaknya Adrianna langsung memesan dua cangkir kopi setelah duduk, karena dia tahu kesukaan Javier dan masih mengingatnya sampai sekarang, meskipun semua rasa yang pernah ada dulu benar-benar sudah menguap hilang.     

Javier menarik bangku dan duduk, setelah itu dia baru menjawab, "Seperti yang kau lihat, aku sempat patah hati, tapi sekarang baik-baik saja." Jawab Jav, dia tampak memperhatikan ekspresi wajah Adrianna dengan saksama.     

Adrianna menelan ludah, sebelum memulai berbicara. "Em, aku sangat menyesal dengan kejadian terakhir saat kita bertemu. Dan aku merasa perlu menebusnya, aku sungguh menyesal atas sikapku Jav." Ujarnya dan Javier tersenyum lebar.     

"Tenanglah, ini bukan sesuatu yang besar bagiku. Aku bisa menerima ini semua sebagai sebuah perjalanan yang harus kita lewati Adrianna. Seperti katamu, kita pernah muda, dan sekarang kita sudah sama-sama dewasa." Ujar Javier, dan Adrianna mengangguk.     

"Jadi apa kesibukanmu sekarang?" Tanya Adrianna, dia benar-benar harus mengorek informasi sebanyak mungkin dari Javier untuk memastikan apakah Javier dalang di balik semua hal buruk yang mendadak menimpa perusahaan ayahnya itu.     

"Aku memulai bisnis kecil-kecilan di sini." Ujar Javier.     

Alis Adrianna berkerut, "Kau tidka melanjutkan usaha ayahmu?"     

Jav tersenyum lebar, "Awalnya aku berpikir bahwa itu menjadi kewajiban bagiku untuk melanjutkan bisnis keluarga, tapi sebelum itu semua aku benar-benar ingin bersuaha dengan kakiku sendiri."     

Adrianna tersenyum, "Jadi apa yang kau kerjakan?" Tanya Adrianna.     

"Aku mendirikan perusahaan design interior, dan sekarang sedang menangani redecorate rumah dan juga apartment."     

"Oh…" Adrianna tersenyum, dia mengangguk-angguk. Dalam benaknya dia bisa mengkalkulasi penghasilan Javier, tidak mungkin dia memiliki uang sebanyak itu untuk membeli hampir tujuh puluh persen saham perusahaannya yang beredar di pasar modal. "Aku sedang belajar berinvestasi sekarang, apa kau tertarik dengan investasi?" Tanya Adrianna.     

Javier melipat tangannya di dada, "Sangat baik jika kau sadar investasi sedini mungkin, tapi jika diriku, aku sedang fokus mengembangkan perusahaanku jadi semua modal yang ada kuinvestasikan di perusahaanku sendiri untuk sementara waktu." Jujur Javier, dalam hati Adrianna dia bisa menyimpulkan bahwa bukan Javier pelakunya. Lagipula motif yang dimilikinya tidak begitu kuat, hingga harus mengeluarkan uang triliunan rupiah.     

"Apa kau mengajakku bertemu untuk menwarakan produk-produk jasa keuangan?" Javier memicingkan matanya, dan itu membuat Adrianna tersenyum, meski senyum itu tak menyentuh matanya. Otaknya kini beralih pada Aldric Bloom, pria itu jauh lebih dewasa, pengalamannya jauh lebih banyak dan dia jelas sekali punya alasan yang lebih kuat untuk menghancurkan Adrianna setelah penolakan yang diberikan oleh Adrianna padanya.     

"Aku tidak bekerja di perusahaan jasa keuangan, aku hanya ingin meminta maaf untuk perlakukanku terakhir kali kita bertemu. Sekarang kurasa aku lebih tenang, setidaknya kita bisa menjadi teman baik."     

"Itu yang kutawarkan terakhir kali padamu dan kau tolak." Javier mengambil cangkir kopi dan menyesapnya. "Aku melihat dari matamu, kau menyembunyikan sesuatu dariku. Katakan saja Adrianna, karena sejak pertama mengenalmu aku tahu bahwa kau tidak pandai berbohong." Javier menatap Adrianna dalam-dalam, dia menyelidiki dibalik mata gadis itu, ada sesuatu yang dia sembunyikan.     

Adrianna mengambil cangkirnya dan menyesapnya, kemudian menatap Javier, "Apa aku bisa percaya padamu?" Tanya Adrianna.     

"Sangat." Jawab Javier cepat.     

"Apa kau tidak berniat membalas dendam padaku?" Adiranna menyipitkan matanya pada pria itu dan itu jelas sekali membuat Javier terbahak dibuatnya. "Untuk apa aku membalas dendam. Aku orang yang logis dan rasional, kalau soal urusan perasaanku padamu yang kau tolak, itu tidak akan membuatku datang padamu dan membunuhmu, kau mengenalku dengan baik, dan kau tahu aku tidak seperti itu, come on." Javier berusaha meyakinkan Adrianna. Gadis itu menghela nafas dalam, beban yang ditanggungnya begitu kuat hingga dia tidak bisa lagi banyak berpikir.     

"Perusahaan yang selama ini dijalankan oleh ayahku sudah menjual tujuh puluh persen saham di pasar bebas." Ujar Adrianna membukanya pembicaraan.     

Alis Javier berkerut. "Jadi?" Tanyanya.     

"Selama ini tidak ada masalah karena tujuh puluh persen itu dibeli oleh investor retail." Terangnya.     

Javier menyipitkan mata ke arah Adrianna, "Lalu apa yang terjadi?" Tanyanya penasaran.     

"Pagi tadi lebih dari enam puluh lima persen saham diborong oleh seseorang." Ujar Adrianna.     

"Dan kau mencurigaiku melakukannya untuk membalas dendam padamu?" Alis Javier bertaut semakin dalam dan tatapannya terkunci pada Adrianna, gadis itu mengangguk lemah dan itu justru membuat Javier tertawa sekali lagi.     

"Jika aku punya uang sebanyak itu aku masih akan berpikir sepuluh kali untuk melakukannya." Jawab Javier. "Percayalah, dunia industry sekarang ini sedang lemah, hanya orang gila yang akan melakukannya." Ujar Javier.     

"Perusahaan ayahku berkembang sangat baik." Protes Adrianna.     

"Tidak sebaik yang kau bayangkan." Tolak Javier. "Si gila itu mungkin sedang mempertaruhan separuh hidupnya dengan membeli lebih dari enam puluh persen perusahaan ayahmu."     

"Apa maksudmu?"     

"Ok, secara fundamental perusahaan ayahmu cukup baik. Tapi laba perusahaan beberapa tahun terakhir mengalami fluktuasi dan itu bukan kabar baik bagi investor. Hanya investor retail yang tetap bertahan karena mereka melakukan trading saham." Jawab Javier dan itu memberi penjelasan yang cukup bagi Adrianna.     

"Jav thanks untuk penjelasanmu, aku harus pergi sekarang." Adrianna terburu-buru hingga pergi begitu saja dan membiarkan Javier membayar tagihan kopi mereka. Javier hanya menggeleng dengan senyum lebar.     

"Dua kali kau di tinggalkan dan dua kali pula kau jadi pecundang Jav." Gumamnya dalam hati. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana harus menghadapi patah hatinya lagi, tapi setiap kali Adrianna memberikan ajakan, Javier sudah pasti akan meerimanya tanpa mempertimbangkan. Javier benar-benar menyukai Adrianna, meskipun dia selama ini sempat menghilang, tapi dia punya alasan sendiri yang masih dia simpan untuknya. Adrianna bahkan belum pernah mendengar alasan itu hingga kini.     

Javier melambai pada pramusaji dan meminta bill kemudian membayarnya. Setelah itu dia keluar dari café dan kembali ke kantornya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.