THE RICHMAN

The Richman - The Deal



The Richman - The Deal

2Adrianna bergegas berlari menuju mobilnya dan segera menyalakan mesin. Dengan menekan pedal gas dalam Adrianna membuat mobilnya melesat dengan kencang menyusuri jalanan, Adrianna tampak tak sabaran untuk mencapai tujuannya.     

Dalam hatinya Adrianna benar-benar marah jika apa yang dia pikirkan itu benar terjadi. Dia berpikir bahwa Aldric Bloom menggila dengan membeli hampir tujuh puluh persen saham perusahaan ayahnya demi memberikan peringatan jelas pada Adrianna untuk mau bicara dengannya.     

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tigapuluh menit akhirnya Adrianna tiba di kantor milik Aldric. Perusahaan itu tidak tampak begitu besar, tapi Adrianna tahu betul kemampuan finansial Aldric.     

Setibanya di kantor Adrianna langsung menerobos masuk ke dalam ruangan dimana Aldric tengah membahas sesuatu dengan sekretarisnya. Sang sekretars begitu terkejut tapi saat melihat yang datang adalah Adianna dia segera melemparkan tatapan kesal pada gadis itu.     

"Kau boleh keluar. Aku akan menghubungimu lagi setelah urusanku dengan Mss. Adrianna Anthony selesai." Ujar Aldric. Sang sekretaris menurut dan akhirnya memilih untuk pergi dari ruangan itu, menyisakan Adrianna dan Aldric.     

"Silahkan duduk." Ujar Aldric formal.     

"Tidak perlu berbasa-basi." Adrianna tampak tak sabaran. Dia berdiri di hadapan meja Aldric dan dengan bertumpu pada kedua lengannya dia menatap Aldric tajam.     

"Apa maksudmu?" Adrianna mencoba mengintimidasi tapi Aldric justru terlihat santai. Dia bangkit berdiri dan memutar melewati mejanya. Dia menatap Adrianna dalam, "Kau kehilangan etikamu atau apa?" Tanya Aldric.     

"Apa kau gila dengan membeli tujuh puluh persen saham perusaahan ayahku, apa yang coba kau laukan?!" Adrianna melotot menatap Aldric, rasa penasaran, rasa yang semula seolah berwarna pink dan terasa hangat saat berada di dekat pria ini kini menjadi bold dan penuh amarah.     

"Apa masalahnya jika aku mampu." Aldric mendesak Adrianna hingga gadis itu memutar dan akhirnya jatuh terduduk di single chair di hadapan meja kerja Aldric. Dengan kedua lengan kekarnya Aldric memegang kedua sisi pengaman kursi dan membuat posisi Adrianna terkunci.     

"Kau gadis yang susah diatur bukan?" Aldric mendekatkan wajahnya dan Adrianna membuang pandangannya untuk menghindari tatapan tajam Aldric yang mengerikan.     

Rahang Aldric mengeras sekilas. "Jika aku tidak bisa mengaturmu dengan cara A, maka aku akan memilih cara B."     

Adrianna menelan ludah, dia benar-benar merasa ketakutan saat ini. Ada sisi lain dari Aldric yang selama ini tidak dia ketahui akhirnya terbongkar. Dia sosok yang dominan dan tidak suka egonya dilukai.     

"Jika kau memblokir nomor ponselku dan tidak mengijinkanku masuk kedalam apartmentmu, maka aku akan masuk kedalam kehidupanmu."     

Adrianna menoleh, dia menatap Aldric secara langsung, "Apa maksudmu?" Desisnya.     

Aldric mengerucutkan bibirnya, "Ayahmu akan bertekuk lutut padaku dan memerintahkan anak perempuannya yang pembangkang untuk melakukan apapun yang kumau."     

"Aldric Bloom, apakah kau serendah itu?" Adrianna menggeleng tak percaya.     

"Aku mendekatimu dengan cara manusiawi, tapi kau memaksa sisi iblisku keluar, dan sekarang kau sudah melihatnya, dan selamat menikmati."     

Adrianna berkaca, "Perusahaan itu dirintis ayahku dengan susah payah, dia membesarkan kami dengan hasil keringatnya selama ini dari perusahaan itu. Tolong jangan mengambil apa yang menjadi kebanggaannya." Adrianna akhirnya memohon.     

Aldric mengangkat tubuhnya, dia mengambil remote di atas mejanya dan menekannya hingga semua tirai berjalan dengan cepat menutup semua dinding kaca di ruangan itu. Dan sekali lagi Aldric menekan remot, hingga pintu ruangannya terkunci secara otomatis.     

Setelah itu Aldric membawa remotnya berjalan ke arah sofa, dia melempkan remote itu ke sisi sofa lalu duduk.     

"Apa kau datang untuk menawarkan kesepakatan?" Tanya Aldric.     

Adrianna mendengus, pria ini benar-benar bisa menjungkir balikkan semuanya. Semula Adrianna merasa dirinya berada di atas awan karena dia berhasil membuat dirinya terlepas dari Aldric Bloom. Tapi ternyata tidak, Aldric Bloom mencengkeramnya lebih erat lagi kali ini, Adrianna bahkan tak bisa lagi melakukan tawar menawar selain membuat kesepakatan yang di inginkan Aldric Bloom.     

Gadis itu bangkit berdiri dan berjalan ke arah sofa.     

"Apa yang kau ingikan dariku?" Tanya Adrianna dengan tangan gemetar.     

Aldric melipat tangannya di dada. "Kau membuatku seolah terlihat bahwa aku yang jahat dalam kasus ini."     

Adrianna memilih untuk duduk, namun tetap menjaga jarak darinya. "Aku ingin kau menikah denganku, setelah pernikahan itu terjadi aku akan memberikan tiga puluh persen saham menjadi atas namamu." Ujar Aldric. "Dengan kesepakatan diatas kertas."     

Adrianna menelan ludah sekali lagi. "Kau sangat kejam Al." Ujarnya dengan suara gemetar.     

Aldric menghela nafas dalam, "Aku adalah malaikat yang terluka hatinya hingga terpaksa menjadi iblis. Meskipun aku tidak ingin, tapi itulah kenyataannya, kau memaksaku melakukan ini semua."     

"Apa untungnya kau melakukan semua ini?" Adrianna tidak sanggup berteriak, dia lebih tampak berbisik dengan mata berkaca. "Aku tidak akan mencintaimu dengna cara seperti ini dank au tidak akan bahagia dengan melakukan semua ini."     

"Kebahagiaanku bukan urusanmu!" Tegas Aldric.     

Adrianna memegangi tangannya erat, "Bagaimana jika aku menolak?" Tanya Adrianna dengan perawaan was-was.     

Aldric mengangkat alisnya, "Kau belajar ilmu bisnis, orang tuamu menyekolahkanmu dengan biaya sangat mahal agar kau paham bahwa pebisnis itu tidak ingin rugi barang sepeserpun, jadi kau tahu apa yang akan kulakukan."     

Adrianna berkaca, "Apa kau lupa soal perasaan kita?"     

"Perasaan apa?" Aldric tersenyum lebar, "Aku tidak akan terpengaruh dengan tipudayamu Adrianna Anthony, jika kau datang karena ayahmu memintamu datang untuk memohon padaku, aku tidak akan peduli." Imbuhnya tegas.     

"Ayahku tidak tahu soal ini." Adrianna menggelak.     

"Aku baru saja mendapatkan email RUPS LB besok pagi pukul sembilan." Ujar Aldric. "Jadi kau tahu aku tidak punya banyak waktu. Aku akan memberimu waktu sampai pukul tiga sore ini untuk berpikir. Berikan jawabanmu atau sampai jumpa di RUPS LB besok." Aldric mengambil remote dan kembali membuka tirai-tirai di ruangannya, juga kunci pintu otomatisnya.     

"Kau tahu dimana jalan keluar." Ujar Aldric.     

Adrianna menatap pria itu dengan nanar, dia sungguh tak percaya jika Aldric bisa bersikap sedemikian kejam padanya seperti ini. "Aku tidak menyangka kau sejahat ini." Ujar Adrianna sebelum benar-benar keluar dari ruangan Aldric, tapi pria itu bergeming. Adrianna menghentak-hentakkan kakinya dengan keras keluar dari ruangan mantan bosnya itu.     

Setelah keluar dari gedung kantor Aldric, Adrianna duduk di belakang kemudi mobilnya. Dia membenturkan kepalanya berulang-ulang ke stir mobil dan air matanya mulai berjatuhan. Kali ini dia tidak memiliki pilihan lain, satu-satunya cara menjadi anak yang berbakti pada orangtuanya adalah mengorbankan diri untuk menikahi Aldric demi menyelamatkan wibawa ayahnya. Dengan menikahi Aldric dia akan memiliki tigapuluh persen saham perusahaan, dengan begitu dia bisa mengalihkan saham itu atas nama ayahnya, hingga ayahnya tetap akan menjadi pemegang saham terbesar perusahaan sekaligus pemilik perusahaan.     

Berbeda cerita jika Aldric yang memiliki lebih dari enam puluh persen saham perusahaan, secara ototmatis sebagian besar perusahaan kepemilikannya dimiliki oleh Aldric. Itu sama dengan wibawa ayahnya di curi dihadapannya dan diinjak-injak. Dan sebagai seorang puteri, Adrianna tidak bisa membiarkan ayahnya mengalami semua hal buruk itu setelah semua usaha dan waktunya juga pikirannya dia curahkan perpuluh-puluh tahun untuk membesarkan perusahaan.     

Adrianna meraih ponsel dari dalam tasnya, dengan tangan gemetar dia melihat kontak Aldric dan menatapnya. Kontak itu terblokir dan ada opsi untuk membuka blokirnya, Adrianna mempertimbangkan hal itu dengan begitu berat. Tapi dia mengurungkan niatnya.     

Dia mencari nomor kontak ayahnya lalu menghubungi pria tua malang itu.     

"Hi Dad..." Sapanya, meski masih bisa menajwab, tapi suara Richard terdengar tak sebaik biasanya.     

"Hai sayang, kau pergi kemana?" Tanya Richard.     

"Oh, teman lamaku menghubungiku." Bohong Adrianna. "Dad,..." Adrianna menjeda kalimatnya, dia meremas tangannya untuk menemukan keberanian mengatakan semuanya pada sang ayah.     

"Apa sayang? Katakan, kau butuh sesuatu?" Tanya Richard, orang tua memang seperti itu. Meskipun dia sedang ditimpa kemalangan besar tapi yang dia pikirkan adalah anak-anaknya.     

"Aku..." Adrianna menghela nafasnya.     

"Katakan sayang." Richard menautkan alisnya menunggu kalimat puterinya.     

"I love you dad." Ujar Adrianna dengan suara bergetar. Dia tak bisa lagi menahan diri untuk tidak menangis. Tangisnya menjadi tapi sebelum sempat terdengar oleh ayahnya, Adrianna sudah memutus sambungan telepon diantara mereka. Adrianna menangis sesenggukan di dalam mobil. Dia tidak ingin menambah beban pikiran ayahnya.     

Richard yang sempat bingung akhirnya memilih untuk mengirim pesan singkat pada puterinya itu. "Are you ok?" Tanya Richard. Tidak biasanya Adrianna mengatakan hal seemosional itu padanya. Adrianna menjawab dengan pesan singkat "I'm OK." Jawabnya.     

Dia membuka blokir nomor kontak Aldric pada akhirnya, dan segera melakukan panggilan pada pria itu. "Aku setuju tentang tawaranmu."     

"Ok." Jawab Aldric singkat.     

"Siapkan suratnya dan akan kutandatangani." Adrianna membuka pintu mobilnya dan berniat untuk kembali ke ruangan mantan bosnya itu.     

"Suratnya sudah siap, dan bisa kau tandatangani kapan saja."     

"Aku akan menandatanganinya sekarang." Adrianna memutuskan panggilan itu dan segera berjalan masuk kembali melalui lobi dan menuju ke ruangan Aldric. Dia menerobos masuk tanpa sopan santun dan tampaknya hanya ada Aldric yang duduk di balik mejanya.     

Adrianna segera duduk, "Mana yang harus kutandatangani."     

Aldric membuka map hitam tebal berisi beberapa lembar kertas yang penuh dengan klausa-klausa kesepakatan yang harus mereka sepakati selama menjalani pernikahan kontrak ini.     

"Disini tertulis kau tidak akan menceraikanku." Adrianna menatap ke arah Aldirc.     

"Ya." Angguk pria itu. "Baik kau ataupun aku, tidak ada yang boleh menggugat pernikahan itu baik dalam bentuk pembatalan maupun perceraian." Ujar Aldric.     

"Dan batas waktu pernikahan adalah minggu depan?"     

"Ya." Angguk Aldric.     

"Ini terlalu cepat."     

Aldric mengangkat bahunya, "Investasi selalu mengalami pertambahan nilai, dan aku tidak ingin membuat nilainya semakin tak wajar."     

Adrianna menggeleng tak percaya, namun pada akhirnya dia meraih pena dari atas meja Aldric. Tangannya gemetaran memengainya sebelum akhirnya membubuhkan tandatangan di kertas itu.     

"Apa selanjutnya?" Tanya Adrianna.     

Aldric menghela nafas dalam. "Aku akan mengirim surat balasan pada perusahaan untuk meminta reschedule, setelah pernikahan kita rapat itu akan diadakan dan isinya adalah memberikan tigapuluh persen saham padamu, atau ayahmu."     

"Kau membeliku?" Adrianna menatap nanar pada Aldric.     

Rahang pria itu mengeras sekilas, "Kau yang mengatakannya, bagiku tidak seperti itu." Jawab Aldric.     

Adrianna bangkit dari tempat duduknya dan segera berjalan keluar dari ruangan Aldric dengan perasaan yang tak menentu. Ada perasaan dendam, benci, hancur, dan pasrah, semuanya bergumul dan membuat lubang hitam besar mengaga di dada Adrianna.     

Sementara itu di dalam ruangan, Aldric menjatuhkan dirinya di sandaran kursi. Ini juga bukan pilihan yang mudah baginya, tapi Aldric bukan pria yang senang menyesali atau meratapi apa yang sudah menjadi keputusannya. Dia selalu berprinsip sebagai seorang laki-laki, dia harus mempertanggungjawabkan setiap langkah yang dia buat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.