Jodoh Tak Pernah Salah

Part 362 ~ Mencari Dian ( 3 )



Part 362 ~ Mencari Dian ( 3 )

0"Selamatkan papiku om." Alvin menangis terisak-isak meminta bantuan pada Bara dan Jimmy.     

"Tenanglah Alvin. Om akan menolong papi," ucap Jimmy menangkup kedua pipi Alvin.     

Mereka kembali menonton CCTV.     

"Besarkan layarnya," titah Jimmy pada security untuk membesarkan layar CCTV pintu keluar tempat parkir.     

Security menuruti perintah Jimmy. Mereka dapat melihat bagaimana penculik memasukkan Zico ke dalam mobil. Mereka meletakkan Zico bagasi kemudian mobil itu meninggalkan rumah sakit. Untung saja CCTV di rumah sakit berada di setiap sudut sehingga perjalanan penculik itu bisa diketahui.     

Alvin menangis tersedu-sedu mengetahui jika Zico diculik.     

"Apa mereka akan membunuh papi?" Alvin histeris tak dapat menahan perasaannya. Bocah itu menggigil ketakutan. Begitu takut kehilangan ayahnya.     

"Tenanglah Alvin. Kamu jangan panik." Dila menenangkan Alvin. Dia memeluk anak itu dengan erat.     

"Aku takut. Mami sangat kejam. Aku sangat tahu bagaimana kekejaman mami." Tangis Alvin pecah.     

Jimmy berkoordinasi dengan teman-temannya dari kepolisian untuk melacak plat mobil yang menculik Zico. Tak lama kemudian polisi pun memberitahu pada Jimmy. Ternyata mobil yang mereka lacak menggunakan plat palsu. Bara pun memutar otak, menebak keberadaan Dian.     

Jimmy mendapatkan telepon dari temannya. Polisi mendapati mobil yang dilacak Jimmy berada di batas kota. Keadaan mobil itu sudah hancur dan tak berbentuk. Mereka bergegas menuju batas kota. Dalam mobil Dila berusaha membujuk Alvin dan menenangkannya. Zico baik-baik saja dan tidak akan terjadi apa-apa.     

Satu jam perjalanan mereka sampai di batas kota. Teman Jimmy memperlihatkan kondisi mobil yang sangat memperhatikan.     

"Sepertinya mobil ini ditabrak dari belakang." Jimmy mengemukakan analisanya.     

Mobil itu terlihat mengenaskan dengan pintu yang terlepas dari tempatnya. Bagian depan penyok dan kacanya pecah.     

"Sepertinya ya," kata Bara.     

"Lalu dimana papi?" Mata Alvin melihat sekeliling.     

Bara memperhatikan lingkungan sekitar. Tanpa dia tahu ada seseorang yang sedang mengintip mereka dari balik semak. Pria itu akan kabur namun Bara melihatnya. Terjadilah aksi kejar-kejaran antara Bara dengan pria itu.     

Pria itu salah satu dari empat penculik Zico. Dia ditugaskan oleh bosnya untuk mencari tahu dimana keberadaan Zico. Bara berlari dengan kencang mengejar si penculik. Cukup lama melakukan pengejaran, Bara berhasil menangkapnya.     

"Cepat katakan! Siapa kau?" Bara mencengkram leher pria itu. Pria itu diam tak bicara. Bara terpaksa melayangkan tangannya ke wajah dan perut pria itu.     

"Kau pasti salah satu penculik Zico?" Bara menebak. Ekspresi pria itu menyiratkan jika tebakan Bara benar.     

"Kau mau bicara apa tidak? Atau kau akan mati di tanganku." Bara memberikan ancaman.     

"Baiklah." Pria itu mengambil napas.     

"Kami memang menculiknya namun di tengah jalan seseorang menabrak mobil kami, tapi kami masih bisa lari. Setelah itu para preman kota datang menghadang kami. Mereka ada dua puluh orang. Mereka meminta Zico. Demi keselamatan, kami memberikan Zico pada mereka. Para preman itu membawa Zico dan memberikannya pada orang lain. Kami tidak tahu sekarang dia ada dimana."     

"Apa kau berkata jujur?" Bara tak mempercayai cerita pria itu.     

"Aku berkata jujur."     

"Siapa yang menyuruhmu?" Bara menggali informasi.     

"Jika kau tidak bicara akan kupecahkan kepalamu. Aku tidak main-main. Aku serius dengan ucapanku. Cepat jawab! Siapa yang memerintahkanmu untuk menculik Zico?"     

"Yang memerintahkan kami Dian," ucap pria itu terbata-bata. Napasnya sesak efek cengkraman Bara di lehernya.     

Bara jadi kesel dan pusing, " Ternyata Zico telah berada di tangan orang ketiga. Siapakah orang ketiga yang telah menggagalkan rencana Dian? Apakah orang ketiga itu anak buah Zico atau orang lain?" Bara berpikir keras.     

"Dimana keberadaan Dian?" Tanya Bara menggeram kesal.     

Pria itu pun memberitahu keberadaan Dian. Setelah mendapatkan informasi keberadaan Dian mereka pergi dari sana. Mereka mendatangi Dian. Dalam mobil tak henti-hentinya Jimmy mengumpat dan memaki Dian. Tega-teganya wanita itu membayar penembak jitu dan membayar orang menculik Zico.     

******     

"Bodoh kalian. Brengsek." Dian menampar ketiga anak buahnya.     

"Percuma saja kalian terlatih tapi kalian bisa kalah. Zico di tangan orang lain. Kalian tahu betapa aku menginginkannya dan ingin membunuhnya?" Dian mencengkram leher ketua penculik.     

"Bos. Kami tidak mau mempertaruhkan nyawa kami. Para preman itu ada dua puluh orang sementara kami hanya berempat. Tidak mungkin kami menggadaikan nyawa kami. Arik sudah kami perintahkan untuk memata-matai para preman. Kemana mereka membawa Zico."     

Bara bertepuk tangan mencemooh Dian.     

"Bagus Dian. Kamu telah berani bertindak sendiri tanpa sepengetahuanku."     

"Bos," panggil Dian kaget. Tak menyangka jika Bara datang ke tempat ini.     

Dian mendekati Bara namun langkah terhenti ketika melihat Alvin, Dila dan Jimmy.     

"Kenapa kalian ada disini?" tanya Dian garang.     

"Dian. Gue tidak menyangka lo berani melakukannya. Untung saja tadi siang gue berhasil menggagalkan penembakan itu," ucap Jimmy geleng-geleng kepala.     

"Ternyata lo yang telah menggagalkan penembakan itu." Dian bersiap menghajar Jimmy namun Alvin membentengi Jimmy.     

"Mi. Kenapa mami tega mencelakakan papi?" Alvin menangis tersedu-sedu dan menatap sang ibu.     

"Alvin," panggil Dian terbata-bata.     

"Mi peristiwa itu sudah berlalu. Tak bisakah mami memaafkan papi? Aku tahu jika papi banyak berbuat kesalahan sama mami. Tapi papi sudah tobat. Kenapa mami masih ingin membunuhnya?"     

"Alvin kamu tidak mengerti apa yang mami rasakan."     

"Mi. Kenapa kita tidak berdamai dengan masa lalu? Jika mami masih membenci papi dan mengingat peristiwa itu. Itu sama saja mami menyesali kelahiranku. Bukankah mami telah menerimaku sebagai anak mami? Jika mami sudah menerimaku seharusnya mami juga bisa menerima apa yang terjadi di masa lalu. Kita hidup di masa sekarang bukan di masa lalu. Jangan jadikan masa lalu patokan kita untuk hidup di masa depan. Aku rasa lebih baik aku tidak tahu jika mami adalah ibu kandungku. Lebih baik aku hanya mengenal mami sebagai kakakku. Aku tidak akan merasa sesakit ini. Kenapa mami tega melakukannya ketika aku udah menerima papi? Beliau juga sudah bertaubat. Papi bener-bener menyesali perbuatannya Mi. Sebenarnya ketika kejadian itu terjadi papi mengalami depresi dan gangguan emosi karena kehilangan adiknya. Karena depresi makanya papi bisa melakukan perbuatan kejam itu pada mami dan om Bara."     

"Kamu percaya Vin dengan cerita dia?" Dian menangis tersedu-sedu.     

"Aku bisa melihat kejujuran di mata papi. Mi, papi sudah berubah dan menjadi orang baik. Aku kecewa pada mami. Kenapa mami melakukan semua ini. Percuma saja mami menyekolahkan aku di pesantren agar menjadi anak yang sholeh dan baik sementara ibuku sendiri perbuatannya tidak baik. Mami malah akan membunuh ayahku. Aku tidak menyangka mami begitu kejam. Terbuat dari hati mami sampai mati rasa? Membalas kejahatan dengan kejahatan tidak akan pernah ada habisnya mi. Tidak akan pernah menjadikan kita lebih baik, malah menjadikan kita seorang penjahat. Dari sini aku paham jika mami tidak pernah menginginkan bahkan menerima kehadiranku. Jika mami tidak bisa menemukan papiku dan tidak bisa menyelamatkannya. Jangan anggap aku anak dan aku tidak mengakui mami. Biarkan aku pergi dengan oma Lona. Aku tidak ingin dibesarkan seorang ibu yang hidup dalam dendam. Bertemu mami pun aku tidak sudi," ucap Alvin pergi meninggalkan tempat itu. Alvin sangat kecewa dengan sikap ibunya.     

Dian gemetar, dadanya sesak mendengar penuturan anaknya. Sakit rasanya dimusuhi anak sendiri.     

"Aku tidak akan memaafkan mami jika tidak menyelamatkan papi." Alvin berteriak dari luar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.