Jodoh Tak Pernah Salah

Part 361 ~ Mencari Dian ( 2 )



Part 361 ~ Mencari Dian ( 2 )

2"Sudahlah. Kamu tidak perlu berterima kasih. Sudah kewajiban om. Hanya om tidak menyangka mami kamu akan bertindak sejauh itu."     

"Lalu di mana sekarang penembak bayaran mami om?"     

"Dia berada di tempat yang aman."     

Pertanyaan Alvin pada Jimmy menjawab semua rasa penasaran Bara dan Dila. Pantas saja ketika dia sudah sampai di atas rooftop, penembak jitu tidak ada karena Jimmy telah membereskannya. Sebagai seorang anggota BIN tentu kemampuan Jimmy sudah tidak diragukan. Bara pun mengenal Jimmy dengan baik karena dialah yang mengenalkan Jimmy pada Dian.     

"Om Bara, tante Dila," panggil Alvin adalah ketika melihat Bara dan Dila mendekat.     

Bocah itu mundur ke belakang. Takut Bara akan marah padanya karena telah menggagalkan pembunuhan Zico. Alvin berlindung di balik punggung Jimmy. Bibir dan tubuhnya gemetar, wajahnya pucat dan tubuhnya mendingin.     

"Ada apa Alvin? Kenapa kamu takut dengan om?" Bara kaget melihat reaksi Alvin ketika melihatnya.     

"Jangan dekati aku. Om aku takut," balas Alvin terbata-bata meminta perlindungan Jimmy.     

"Kenapa kamu takut dengan om?" Bara merasa aneh dengan sikap Alvin.     

"Aku tahu om dan mami masih dendam dengan papi. Aku tidak mau kalian melukai papi. Bagaimana pun dia adalah ayahku. Sejahat apa pun dia di masa lalu dia tetap ayahku. Papi telah bertaubat bahkan papi rela bersujud di kaki om dan mami agar memaafkan dia. Malah papi memintaku menanyakan pada kalian, apa yang harus dilakukan agar mendapat maaf dari kalian?"     

"Apa lo yang yang membereskan penembak jitu yang akan membunuh Zico?" Bara meminta kepastian pada Jimmy.     

"Ya. Gue yang melakukannya. Apa lo marah sama gue?" Tanya Jimmy tenang dengan wajah dingin sekaligus bengis.     

"Bara tidak berniat untuk membunuh Zico. Suamiku malah melihat ada penembak jitu di atas rooftop. Suamiku langsung menuju rooftop untuk menggagalkan si penembak jnamun ketika kami datang. Penembak itu sudah tidak ada." Dila membela sang suami tak ingin Bara dituduh sebagai pelaku pembunuhan pada Zico.     

"Apa ucapan kalian bisa dipercaya?" Jimmy memandang penuh selidik.     

"Asal kamu tahu, aku tidak pernah mengizinkan suamiku untuk membalas dendam pada Zico. Malah aku memberikan saran pada suamiku untuk memaafkan dia. Seandainya suamiku memang berniat membunuh, dia tidak mungkin ingin menggagalkan penembakan Zico."     

"Dian menghilang. Ketika aku membuka brankas, aku kehilangan salah satu senjataku. Aku yakin Dian yang mengambilnya. Kode brankas hanya aku dan Dian yang tahu. Tidak ada orang yang tahu selain kami berdua."     

"Apa?" Jimmy kaget. Mengambil napas karena dadanya tiba-tiba sesak.     

"Tidak. Kita harus menemukan Dian secepatnya. Dian tidak bisa dibiarkan. Dian pasti melakukan sesuatu pada Zico. Dendamnya pada Zico sangat besar. Dian tak bisa menerima kenyataan masa depannya dihancurkan Zico," lanjut Jimmy.     

"Om. Tolong selamatkan mami atau papi. Aku tidak ingin kehilangan mereka berdua. Jangan biarkan mereka saling membunuh demi menuntaskan dendam di masa lalu." Alvin memohon pada Jimmy.     

"Jangan biarkan mamiku membunuh papi."     

Dila mendekati Alvin dan mengelus rambutnya, "Tenanglah Alvin. Kita akan berusaha mendamaikan papi dan mamimu. Semuanya akan baik-baik saja," ucap Dila menghibur serta menenangkan Alvin.     

"Gue sudah mencari Dian dari tadi namun tidak menemukan keberadaannya. Telepon dan pesan juga tidak digubris. Gue yakin dia sudah merencanakan opsi kedua membunuh Zico." Bara bicara pada Jimny     

"Berikan satu alasan. Kenapa gue harus mempercayai ucapan lo? Gue tahu Bar jika lo sangat membenci Zico dan ingin mencelakainya." Jimmy meragukan Bara. Matanya nyalang menatap Bara.     

"Gue tahu dia seorang penjahat yang telah melukai kami. Peristiwa itu telah lama terjadi. Sudah lima belas tahun yang lalu. Gue tidak mau lagi mengingat masa lalu. Gue sudah berjanji sama istri gue tidak akan membalas dendam dan mengotori tangan gue membunuh Zico." Bara memberikan jaminan.     

"Baiklah kalau begitu. Gue akan minta bantuan teman gue untuk cari Dian. Jika benar senjata lo hilang berarti nyawa Zico berada dalam bahaya."     

Jimmy sangat tahu bagaimana Dian ketika dia sudah kalap. Dian akan bertindak secara bar bar melampiaskan sakit hatinya.     

"Alvin coba telepon papimu!" Jimmy memberikan perintah.     

"Baik. Aku akan menelpon papi." Alvin mengambil smartphone dari saku celananya. Dia menghubungi Zico namun panggilannya tidak mendapatkan jawaban. Alvin kembali menelpon sampai sepuluh kali namun tidak ada respon dari Zico.     

"Papi tidak menjawab teleponnya." Alvin histeris. Anak itu kaget dan perasaannya sudah tidak enak. Jika Dian benar-benar mencelakai ayahnya, Alvin sangat tahu bagaimana maminya ketika dia marah. Bagaimana Dian melampiaskan kekesalannya. Alvin pun pernah merasakan kekejaman Dian. Alvin merasakannya ketika masih berstatus adik Dian.     

"Gawat berarti Dian telah berhasil menculik Zico." Bara bersuara.     

"Tidak mungkin Bar. Orang seperti Zico memiliki bodyguard yang melindungi walau mereka menjaga dari jauh. Mereka berjaga-jaga di setiap tempat." Jimmy meragukan analisis Bara.     

"Gue yakin ada orang yang melakukan tipu muslihat sehingga anak buah Zico tidak mengetahui jika bosnya diculik." Bara meyakinkan Jimmy.     

"Gue juga mikir gitu. Dian sangat pintar melakukan tipu daya dan menganalisis sesuatu. Dian bahkan pernah bersekolah di sekolah intelijen. Atasanku sangat tertarik merekrutnya untuk menjadi anggota BIN. Dian sangat lincah, licin seperti belut. Kemampuannya tidak ada apa-apanya denganmu." Jimmy menatap Bara.     

" Malah gue yakin Dian telah menculik Zico. Lebih baik kita ke rumah sakit untuk memastikannya," ucap Jimmy ngos-ngosan.     

"Alvin jam berapa papi pulang kantor?" Jimmy menatap Alvin.     

"Biasanya keluar jam tujuh atau delapan om. Papi menghabiskan waktu di kantor."     

Mereka berempat pergi ke Rumah Sakit Harapan Indah mencari keberadaan Zico. Papinya tidak berada di rumah sakit. Alvin pun tidak kehilangan akal dia menemui manajemen rumah sakit dan meminta tolong untuk menelpon Fahmi.     

Secara tak sadar Alvin memperkenalkan diri pada pihak rumah sakit sebagai anak Zico. Orang-orang di rumah sakit mempercayai Alvin anak Zico karena wajah anak itu sangat mirip dengan atasan mereka. Fahmi pun datang ke kantor menemui mereka.     

"Dimana papi om ?" Tanya Alvin pada Fahmi.     

Fahmi pun dibuat bingung karena ia mengetahui jika Zico sudah pulang. Mereka sama-sama pulang. Fahmi ingat kalau Zico parkir mobil di parkir bawah.     

"Jam berapa tadi Zico pulang?" Tanya Jimmy pada Fahmi.     

"Jam tujuh malam."     

"Apakah Zico membawa mobilnya sendiri?" Giliran Bara yang bertanya.     

"Bapak membawa sendiri mobilnya."     

"Dimana biasanya Zico parkir mobil?" Lanjut Jimmy.     

"Bapak selalu parkir mobil di parkir bawah."     

"Apakah ada CCTV di parkir bawah?" Jimmy seperti menginterogasi Fahmi.     

"Ada Pak," jawab Fahmi.     

" Cepat kamu bawa kami ke ruang monitoring CCTV. Kami ingin melihat keberadaan Zico." Jimmy panik.     

Mereka berlima menuju ruang monitor CCTV. Para security sangat kaget melihat remaja yang sangat mirip dengan bos mereka. Mereka sudah menduga jika anak remaja yang di samping Fahmi anak Pak Zico. Salah seorang CCTV memutarkan rekaman CCTV. Mereka segera mencari rekaman jam tujuh malam.     

"Itu papi," ucap Alvin menonton CCTV.     

Mereka melihat Zico tiba di parkir bawah. Tak lama kemudian mereka melihat seseorang membungkam mulut Zico dengan sapu tangan yang telah diberi obat bius. Zico sempat melawan namun efek bius membuatnya pingsan. Penculik itu memasukkan Zico ke dalam karung.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.