Cinta seorang gadis psycopath(21+)

INFORMASI BARU



INFORMASI BARU

1"Kenapa masalahnya menjadi serunyam ini? Kenapa menjadi sangat aneh dengan kondisi om Rafi sekarang? Ah, mungkin akan lebih baik aku segera ke camp saja melapor pada captain," Akhirnya Axel pun memtutar balik kendaraannya yang sebelumnya menuju ke rumah.     

"Ada apa malam-malam datang ke sini Axel? Bukankah masih ada besok?" tanya capten Soeseno.     

"Karena saya tahu, anda masih berada di sini. Jika tidak, mungkin saya akan menundanya besok," jawab Axel tegas sambil meletakkan box recorder dari dalam saku celanyanya.     

"Apakah ada perkembangan?"     

"Iya. Alur yang terjadi di keluarga Alea semua berhubungan dengan kedua karya itu. jadi, tidak menutup kemungkinan kalau dia mengabadikan kisah hidupnya dalam bentuk novel."     

Capten Soeseno nampak berkerut kening. Entah, informasi apa saja, dan sebanyak apa yang didapatkan oleh Axel sampai-sampai dia bisa semantap ini meyakini kalau yang ditulis Andrea W itu adalah benar-benar real story.     

"Anda bisa mendengarkan hasil rekaman suara yang saya ambil tadi di tempat kejadian. Termasuk, obrolan antara saya dan ibunya Alea." Axel menyerahkan bend aitu pada atasannya.     

Kapten Soeseno menerima bend aitu dari tangan Axel. Kemudian, memutar hasil recorder yang di dapat Axel sambil sesekali mencatat pokok pembicaraan dari suara-suara di dalam sana guna untuk penyelidikan lebih lanjut dan mendapatkan bukti yang lebih kuat.     

Hampir satu jam sudah, pak Soeseno mendengarkan rekaman tersebut. Dari hasil penelitian, ia mendapatkan tulisan tangan tak beraturan sebanyak satu lembar pada kertas HVS.     

"Ada banyak kejanggalan. Ini terjadi pada duapuluh tiga Juni. Terhitung sudah mendekati enam bulan dari sekarang. Harusnya kondisi pasien yang selalu rutin berobat, control dan terapi itu mengalami kemajuan. Tapi, ini kenapa malah jadi kian memburuk?" ucap pria paruh baya tersebut mulai menyampaikan pendapatnya.     

"Itulah yang juga menjadi tanda tanya pada diri saya, Kapten. Malah, saya juga beranggapan sengaja Alea melarang ayahnya di rawat di rumah sakit jiwa agar dia bisa terus memantau kondisi sang ayah dan memperburuk. Jika pasien sudah berada di rumah sakit, kano bat yang dikonsumsi juga diawasi dengan ketat."     

"Iya. Aku juga berfikir demikan."     

"Secepatnya, saya akan berusaha mengambil sample obat yang dikonsumsi oleh om Rafi. Besok pagi, mungkin bisa mengutus seseorang ke kantor pak Rafi dan melihat kejadian demi kejadian yang terjadi kala itu."     

"Iya, langkah bagus, Wiliam. Ya sudah, kau pulanglah. Ini sudah larut. Jangan terlalu memforsir tenagamu untuk melakuka pekerjaan. Masih ada hari esok."     

****     

Pagi-pagi sekali, sekitar pukul lima dini hari Alea akhirnya tersadar. Ia masih diam dan bengong. Rasa sakit di sekujur tubuh mmebuatnya susah bergerak, terlebih pada lengannya. Dia mengalami luka yang cukup serius di sana sampai harus menerima duapuluh jahitan luar dan dalam.     

"Sssssttth, aduh, kenapa sakit begini?" gumam Alea. Ia melihat lengan kirinya terdapat banyak balitan perban dan juga warna darah yang mulai mengering.     

"Bu… Ibu!" teriak Alea sekuat tenanga. Tapi, karena dia masih lemah, suaranya tidak terdengar sampai luar kamar. Karena terlalu lemah. Lama baginya memanggili ibunya. Tapi, sosok yang dia panggil masih saja belum muncul sampai-sampai dirinya yang masih belum sepenuhnya pulih pun merasa kelelahan dan kembali tertidur. Tak dapat lagi ia rasakan seperti aba rasa pada tubuhnya kemarin. Pasti jelas sakit sekali jika efek anastesi dan obat penghilang rasa nyeri itu sudah tidak bekerja lagi.     

***Pukul enam pagi.     

Rumah sudah bersih dan kembali rapi berkat di bantu oleh Jevin. sementara Yulita yang menyiapkan sarapan di dapur juga sudah selesai.     

"Sarapan dulu, Jev. Tante mau mengantarkan sarapan dan obatnya Alea dulu," ucap tante Yulita. Dengan keberadaan Jevin di sini membantu menjaga suaminya yang dalam kondisi buruk, itu sangat membantu sekali pagi Yulita. Ia tak bisa membayangkan, apa jadinya jika Jevin tidak berada di sini.     

"Iya, Tante. Kita sarapannya bareng saja deh. Aku juga mau lihat kondisi Alea. Sejak tadi, ingin masuk ke kamarnya sendirian kok rasanya tidak enak," timpal pria itu kemudian beranjak mengikuti tante Yulita menuju kamar Alea.     

Di dalam kamar itu, nampak sosok Alea yang selalu terlihat tegar dan ceria kini tergeletak lemah tak perdaya.     

"Kamu sudah bangun, Alea? Ibu akan bantu kamu mencuci wajah dulu, lalu makanlah. Ibu akan menyuapimu.     

Alea hanya tersenyum. Untuk berkata iya sepertinya dia terlalu lemah dan tidak sanggup. Energinya banyak terkuras. Bahkan, semalam dia juga belum sempat makan. Tidak ada cairan infus untuk pengganti asupan makanan.     

Usai dibasuh wajahnya dengan waslap dan air hangat, Yulita menyuapi Alea. Tapi, Alea tidak ada respon. Membuka mulutnya saja tidak mau.     

"Alea, makan ya Nak? Biar kamu ada tenaga," ujar Yulita dengan lemah lebut.     

Alea masih diam. Tidak lama kemudian ia mengeleng pelan dan lemah.     

"Tante, apa perlu kita bawa dia ke rumah sakit saja? Mungkin infus adalah jalan satu-satunya. Dia tidak mau makan dan minum dan sejak semalam itu kan tidak kemasukan apapun," ujar Jevin. Ia juga merasa panik dan khawatir.     

"Iya, kau benar Jev. Tapi, bagaimana dengan kondisi om Rafi?"     

"tante tenang saja, aku akan tetap di rumah untuk menjaga om Rafi. Tante tidak perlu kawatirkan hal itu, yang penting Alea saja dulu."     

"Iya, tante akan siap-siap dulu, Jev."     

Tante Yulita pun keluar meninggalkan kamar Alea. Sementara Jevin menunggu di sana. Bersamaan dengan itu, ponsel Alea yang diletakkan di atas nakas berdering. Sebuah panggilan dari Axel masuk.     

"Ini dari Axel. Aku akan mengangkatnya dan mengatakan kondisimu saat ini," ucap Jevin meminta izin pada empunya ponsel berwarna merah tersebut.     

Alea hanya diam menatap sayu. Mungkin, jika pun dia bisa bicara dan menggerakkan tangannya, ia akan menjawab sendiri panggilannya. Lalu mengatakan kalau masih belum bisa bekerja.     

"Halo," jawab Jevin sambil berdiri di dekat kamar Alea.     

"Halo, di mana Alea? Dia sudah sadar, kan?" tanya Axel panik.     

"Iya, dia sudah sadar. Tapi, dia sangat lemah. Tante Yulita berencana membawanya ke rumah sakit. Sementara aku di rumah menjaga om Rafi."     

"Oke. Aku mengerti," jawab Axel kemudian langsung mematikan panggilan. Dengan cepat Axel bersiap memakai pakaian kerja dan langsung menuju ke rumah Alea. Ia akan mengantarkan ke rumah sakit. Setelah itu selesai, barulah, Axel akan pergi di perusahaan tempat om Rafi bekerja dulu. Lagi pula, sebenarnya itu adalah pekara mudah nntuk mengetahui kapan kejadian. Cukup mengatakan terakhir kali om Rafi bekerja juga sudah dapat.     

"Kamu mau kemana sepagi ini, Xel?" tanya Wulan sambil bengong melihat kakak angkatnya begitu terburu-buru.     

"Aku ada hal yang perlu diurus dadakan. Aku berangkat dulu, ya?" ujar pria tu sambil mengambil air mineral dari meja makan, dan sepotong roti bakar tanpa selai dan apapun.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.