Cinta seorang gadis psycopath(21+)

OM RAFI



OM RAFI

0"Kamu? Apakah kamu datang untuk bermain sama aku? Alea membelikan aku mainan baru, bagus sekali. Kemarilah ayo kita main," jawab om Rafi. Sungguh membuat hati Axel terasa teriris. Dia sudah tidak lagi memiliki seorang ayah. Alea yang memiliki ayah malah dengan tega dibuat seperti ini. Padahal, ia juga tah, kalu ayahnya dulu juga hobi bermain wanita dan memiliki banyak simpanan. Perlaukan terhadapnya juga bisa dikatakan buruk. Tidak seperti om Rafi pada Alea, putrinya.     

Axel masih tertegun melihat kondisi kejiwaan om Rafi yang berubah seratu delapan puluh derajat dari yang pertama ia bertemu dengannya dulu. Baru tersadar Ketika pria itu memegang lengannya dan menarik, membawanya pada mainan itu terletak.     

"Ayo, kita main."     

"Iya, kita akan main," jawab Axel pilu.     

Sementara di belakang mereka, Dokter dan Jevin hanya bisa bersandar di dinding melihat mereka. Iba, kasihan dan sedih.     

"Apakah kau pernah datang sebelumnya? Wajahmu tidak asing," ucap om Rafi saat menatap pada mata Axel.     

"Tentu saja. Kita pernah bertemu sebelumnya."     

"Nah, feelingku benar. Aku menyukaimu."     

"Oh, ya? Aku juga sangat menykaimu. Kau sangat baik," jawab Axel. Seolah dia sedang ngobrol dengan anak berusia enam tahun yang masih polos. Untuk memanggil Om sebagai bukti kalau dirinya masih menghargai Rafi dalam kondisi terburuk pun ia tidak berangi. Takut kalau om Rafi akan tersinggung, marah dan gagal total pencarian informasinya.     

"Aku baik, maka kau menyukaiku?" tanya Rafi. Ceria dan bahagia.     

Axel hanya menjawab dengan anggukan. Lehernya terasa seperti tercekik menahan air matanya agar tidak sampai mengalir. Ia harus tetap tegar dan gak boleh lemah.     

"Kalau aku, suka warna rambutmu, bagus. Mata mu juga bagus. Apakah kau mewarnai rambutmu dan memakai soft lance?"     

"Tidak. Ini alamai. Aku keturunan Jerman."     

"Oh, pantas saja. Kelak, jika benar kehidupan kedua itu ada, aku ingin terlahir sebagai orang Jerman yang memiliki rambut pirang dan manik mata biru keabu-abuan sepertimu."     

"Iya, pasti Tuhanmu akan mengabulkan itu. Karena, kau adalah anak baik. Jadi, anak baik, priksa dulu ya? Aku datang bersama dokter. Dia akan memberikan yang terbaik untukmu."     

"Priksa? Boleh. Aku mau dipriksa. Aku sedang sakit. Dari kemarin kepalaku sakit terus seperti mau pecah," jawab om Rafi bahagia. Saat itu juga dokter tersebut menyiapkan jarum suntuk dan bius untuk mengambil darah pak Rafi.     

Sambil menunggu dokter itu menyiapkan suntikan, Rafi berbisik pada Axel, "Tolong, katakana pada doktermu itu untuk menukar obat dari rumah sakit yang lama. Itu dokter lain, kan? Aku selalu merasa sakit kepala luar biasa setiap kali habis minum obat."     

"Oke. Di mana obatmu? Aku akan menukarnya dengan baik, dan tidak membuat pusing," jawab Axel dengan santai. Kebetulan sekali Jevin juga tidak ada.     

"Ada di sana. Alea dan Yulita menyimpannya di sana!" Pria itu menunjuk pada laci di bawah nakas.     

Dengan cepat Axel berjalan mengambil masing-masing obat yang teridri dari enam jenis itu satu butir, dan memasukkannya dengan cepat pada tas dokter tersebut. Kemudian, setelah diambil darahnya, dokter yang Axel bawa memberikan obat Pereda nyeri kepala dan tubuh, serta penenang.     

"Tolong, ya Dok. Lakukan yang terbaik, segera berikan halis lapnya jika sudah selesai," ucap Axel dengan penuh harap.     

Ia duduk sejenak menikmati minuman yang Jevin siapkan untuk dirinya dan dokter yang dia bawa.     

"Minumlah dulu. Kau terlihat sangat lelah, Xel," ucap Jevin.     

"Iya, terimakasih. Apakah seharian ini om Rafi baik-baik saja?"     

"Iya. Dia baik-baik saja. Bermain apapun yang bisa dijadikan mainan seperti anak kecil."     

"Apakah biasanya juga demikian?"     

"Tidak. Baru kali ini dia terlihat seperti anak kecil."     

"Kasian. Semoga saja dia bisa segera sembuh. Barusan, dokter sudah menyuntikkan obat. Jadi, kamu tidak perlu memberikan obat pada om Rafi."     

"Oh, iya. Oke. Terimakasih ya Xel."     

Rencananya Axel akan ke prusahaan setelah ini. Karena, untuk kembali ke markas juga sia-sia jika tidak ada bukti yang akurat terkait om Rafi. Satu-satunya jalan, ya menunggu hasil lap darah dan obat yang dia konsumsi tadi. Tapi, mungkin baru besok bisa keluar hasilnya. Namun, belum juga ia meminta izin pada Jevin, ponselnya berdering dia pikir nomor dari perusahaan. Ternyata dari tante Yulita.     

"Halo, Tante. Apakah ada masalah?"     

"Xel, kamu ada di mana? Tolong tante, Xel. Hal buruk terjadi pada Alea," ucap tante Yulita panik dan terisak.     

"Baik, Tante. Aku akan segera ke sana," jawab Axel. Kemudian mematikan panggilan dan berkata pada dokter dan Jevin, "Dok, kita ke rumah sakit sekarang!" Jev, sesuatu terjadi pada Alea. Aku akan ke sana dulu. Jaga diri dan om Rafi baik-baik, ya?"     

"Oh, Iya," jawab Jevin. ia pun juga panik dan sebenarnya ingin sekali ikut untuk melihat kondisi Alea. Tapi, jika dia ikut, siapa yang menggantikan dirinya menjaga om Rafi? "Kabari aku, jika kau sempat, ya?" teriak pria itu.     

"Tenang saja. aku akan mengabarimu. Nanti, aku akan minta suster menjaga om Rafi jika kau ingin menjenguknya di rumah sakit."     

"Pak Axel, saya naik taxi saja jika memang keadaan bu Alea sangat mendesak."     

"Apakah anda tidak ingin ikut ke rumah sakit?" tanya Axel sakinh paniknya. Ia berfikir yang macam-macam saja setelah mendengar kabar dari tante Yulita.     

"Meskipun saya ikut anda ke sana, saya bisa apa? Sekalipun say aini adalah seorang dokter dan sudah memiliki lisensi, mana ada wewenang untuk memeriksa pasien yang berada di rumah sakit lain?"     

"Oh, iya ya. kenapa saya tidak kepikiran?" ucap Axel sambil menampol jidadnya sendiri.     

"Anda ini sebenarnya terlalu lelah. ya sudah, fokus saja jangan terlalu memaksakan diri. saya akan ke laboratorium untuk melakukan pemeriksaan agar hasil bisa segera keluar."     

"Baik Dokter. Terimakasih banyak. Maaf jika saya banyak merepotkan anda."     

Dokter Soeseno hanya tersenyum dan menepuk Pundak Axel. Kemudian, ia menghentikan taxi yang kebetulan lewat.     

Axel terus memandang taxi yang dinaiki oleh dokter keluarga tersebut. Begitu lenyap dari pandagan, ia langsung masuk ke dalam mobil dan menuju ke rumah sakit. Selama perjalanan, Axel terus menebak-nebak sesuatu yang terjadi pada Alea.     

'Kenapa Alea sbenarnya? Apakah luka tusukan di lengannya semakin parah? Keluar nanah, dan belatung sebagai balasannya memutilasi Intan, memasak dagingnya dan memberukannya pada ayahnya sampai beliau menjadi pria gila tak memiliki harga diri seperti ini? Atau, karena parah, tangannya di aputasi? Jika tidak separah itu, kenapa tadi tante Yulita bisa terdengar sangat panik begitu? Kasian sekali jika Alea sampai tidak memiliki tanga. Bagaimana dia akan menghabisi korbannya dan menuliskan kisahnya dengan cepat?' batin Axel. Kemudian ia tertawa seorang diri saat menyadari kalau kalimatnya paling akhir adalah tidak baik dan harusnya gab oleh demikan. Tapi, entah. Dia rasanya tak tega saja jika sampai Alea kehilangan salah satu anggota tubuhya, karena rasa manusiawi dan perasaannya sudah gak ada.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.