Cinta seorang gadis psycopath(21+)

ALEA



ALEA

3Begitu tiba di rumah sakit, Axel langsung berlari menuju bangsalnya Alea. Di luar kamar, tante Yulita nampak bediri dan mondar-mandir. Terlihat sekali kalau pikirannya sedang kacau.     

"Apa yang terjadi dengan Alea, Tante?" tanya Axel tak kalah panik.     

"Alea… "     

"Greeeek!" baru saja ibunya Alea hendak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, dokter yang menangai Alea sudah keluar dari dalam kamar. Seketika, wanita paruh baya tersebut dan Axel langsung berbalik badan dan menanyakan keadaan Alea hambir bersamaan.     

"Bagaimana kondisi putri saya, Dok?"     

"Bagaimana kondisi pasien, Dok?"     

"Untuk saat ini dia baik-baik saja dan saya beri obat penenang. Siapa penanggung jawabnya?" tanya dokter tersebut. Mungkin akan mengatakan apa yang terjadi sebenarnya.     

"Saya. Dia calon istri saya," ucap Axel dengan cepat. Senagaja dia berkata demikian bukan untuk membuat tante Yulita merasa GR dan mempercayai dia. Tapi, itu dia lakukan demi meyakinkan sang dokter agar informasi yang dia dapatkan bulat.     

"Tapi, saya ibunya, Dok. Bolehkah saya juga ikut serta?" pinta Yulita.     

"Iya, tidak masalah. mari, ikut saya!"     

Axel mengekor di belakang doter tersebut. Di belakangnya ada tante Yulita yang juga ingin tahu kondisi Alea yang sebenarnya.     

"Bagaimana kondisi putri saya, Dok?" tanya tante Yulita begitu mereka tiba di dalam ruangan dokter tersebut. Padahal, dokternya sendiri juga masih belum duduk.     

"Silahkan duduk dulu, Bu."     

Axel dan Yulita pun duduk. Mereka berdua sama-sama tegang. Sepertinya ini cukup serius. Jika tidak, kenapa harus demikian. Namun, Axel harus tetap menunjukkan sikapnya yang tenang.     

"Apakah pasien mengalami trauma akan kejadian? Dia nampak ketakutan dan seperti berhalusi nasi begitu."     

"Iya. Dia dibawa ke rumah sakit kemarin malam terjadi musibah dalam keluarga kami. Jadi, salah satu anggota keluarga kami mengalami keusurupan. Dia sejak dulu tidak pernah percaya akan hal-hala takhayul seperti itu. jadi, saat orang itu kesurupan lagi, dia bukannya malah menjauh cari aman. Tapi, menantang dan memperlakukan dia adalah keluarganya yang normal. Jadi, pelaku menyerang putri saya. Membanting dan melukainya dengan pisau."     

"Saya sarankan, anda mencari psekiater untuknya. Kasian, jika terus dibiar-biarkan bisa trauma berat dan berdampak pada kejiwaannya. Saat ini dia sedang berperang melawan dirinya menolak tidak ada mahluk halus yang bisa merasuki wanita. Hantu itu tidak ada."     

"Iya, Dok. Terimakasih. Saya akan mencarikan psikiater terbaik untuknya. Lalu, bagaimana dengan lukanya saat ini?"     

"Untuk lukanya, dia baik-baik saja. mungkin besok pagi juga sudah bisa dibawa pulang. Tapi, yang menghawatirkan adalah mental dan kejiwaannya. Harus segera ditangani.     

"Iya, Dok. Apakah di rumah sakit ini tidak ada poli kejiwaan?" tanya Axel. Harusnya sih memang ada. Tapi, kenapa seolah dokter ini menyarankan untuk mencari di luar saja.     

"Ada, Pak. Hanya saja tidak setiap hari stand bay. Hanya di hari Rabu saja. itu pun waktunya tidak banyak. Hanya tiga jam saja. jadi, beliau hanya menerima satu, atau dua pasien saja."     

"Baik. Terimakasih atas sarannya Dok." Axel pun menjabat tangan dokter tersebut. Tiba di luar ruangan ia menghubungi Jevin untuk menanyakan kondisi om Rafi. Meskipun dia tahu, itu tidak akan memberi dampak perkembangan yang baik karena masih satu kali memnum obat yang benar. Namun, apa salahnya bertanya, kan? Bukankah harapan itu juga sebuah doa?"     

"Halo, bagaimana kondisi om Rafi sekarang ini Jev? Apakah dia sudah sadar dari tidurnya?"     

"Sudah. Dia baik-baik saja." jawab Jevin dari seberang sana.     

"Apakah dia bemain?"     

"Tidak. Dia hanya banyak diam. Barusan memintaku menemaninya ke perpustakaan. Dia mulai mengabiskan waktunya dengan membaca."     

"Oh, sukurlah."     

"Bagaimana dengan kondisi Alea?" tanya Jevin.     

"Dia… tidak terjadi apa-apa dengan lukanya. Hanya saja, kondisi kejiwaannya yang sepertinya terguncang. Aku juga belum melihat sendiri seperti apa. Dia masih tidur dibius oleh dokter."     

Mendengar jawaban itu, Jevin sudah bisa menebak apa yang terjadi dengan Alea. Pasti ia merasa trauma dan menolak apa yang baru terjadi padanya semalam. Dengan berutal om Rafi yang mengatas namakan dirinya sebagai wanita yang dia cintai menyerangnya tanpa ampun.     

"Tante, karena Alea masih tidur, saya akan ke perusahaan dulu. Nanti, jika urusan dengan client sudah selesai, saya akan datang lagi ke sini untuk menggantikan tante," pamit Axel dengan santun.     

"Iya, Nak Axel. Terimakasih banyak atas bantuannya. Maaf jika selama ini kami banyak merepotkanmu."     

"Tante jangan berkata demikian. Sudah seharusnya ini saya lakukan."     

"Ya sudah, hati-hati ya?" tante Yulita memandang punggung Axel sampai lenyap dari pandangannya. Ia tersenyum tipis. Dalam hati ia merasa bersukur bisa bertemu sosok yang baik seperti Axel dan Jevin. jika saja tidak ada mereka berdua, entah bagaimana caranya mengatasi suami dan putrinya yang sama-sama sakit dan dirawat di dua tempat yang berbeda.     

"Halo, Kapten!" ucap Axel panggilannya sudah terhubung.     

"Iya, Halo. Di mana kau sekarang, Xel?"     

"Saya masih mau menuju ke perusahaan. Ada sesuatu yang harus diurus dan jam dua nanti, saya akan menemui client. Barusaja ada informasi baru terkait Alea. Dia mengalami trauma."     

"Baik. Laporan saya terima. Lakukan saja dulu pekerjaanmu. Nanti, kita bahas bersama dalam tim."     

"Baik, Pak." Setelah mematikan panggiland ari kaptennya, Axel langsung menghubungi dokter Santoso.     

"Halo, Dok. Apakah hasil labnya sudah keluar?"     

"Sudah, Xel kapan kau bisa ke sini. Jika kau tahu, kau akan terkejut dengan hasilnya."     

Axel mendesah kesal. "Mungkin sekitar pukul empat sore saya akan datang ke laboratorim anda."     

"Baik. Saya tunggu kedatangannya."     

Tiba diperusahaan ia langsung meminta sekertaris supaya menyiapkan dokumen yang akan digunakan untuk persentasi di depan kedua clinennya. Semua berjalan lancar sesuai harapan. Kesepakan kerja sama juga langsung mendaptkan tanda tangan pada hari itu juga. sehingga, pukul tiga lewat duapuluh lima menit ia pun sudah bisa datang menuju ke laboratorium dokter Santoso.     

"Di mana dokter Santoso?" tanya Axel pada dokter junior yang beliau pekerjakan di laboratoriumnya.     

"Beliau ada di dalam ruangannya. Apakah perlu saya antar?" tawar seorang gadis muda dengan jas putih khas seorang dokter.     

"Tidak perlu. Lanjutkan saja pekerjaanmu. Aku akan datang ke sana sendiri," jawab Axel dengan sopan dan sedikit senyuman.     

Ia memang tidak tahu nama satu-satu semua dokter yang ada di sini. Hanya saja, karena sudah sering datang, ia menjadi biasa dan akrab sama mereka. Tidak pernah sekalipun kedatangannya disambut dengan tidak baik.     

"Tok…. "     

"Masuk!" sahut dokter San dari dalam. Sepertinya pria itu tahu kalau ia yang datang. Karena, baru saja dia melakukan satu ketukan pada pintu ruangan pribadinya, langsung di suruh masuk. Tidak ada basa-basi terlebih dahulu, siapa yang ada di baliknya.     

"Dududklah!" ucapnya dengan datar begitu ia menampakan dirinya di ambang pintu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.