Cinta seorang gadis psycopath(21+)

BERCAK DARAH



BERCAK DARAH

3"Iya, Tante. Mungkin kali ini dia sibuk meyakinkan diri kalau itu hanyalah sebuah mimpit. Tapi, sayang dari kejadian itu meninggalkan banyak luka pada tubuhnya. Jika saja tida, mungkin mudah baginya menolak kebenaran kalau om Rafi mengalami yang Namanya kesurupan," jawab Andra. Ia tahu seperti apa Alea. Karena, dari semua teman di kantornya dulu saat masih satu perusahaan, dia adalah satu-satunya staf yang paling meberani, karena dia tidak pernah percaya dengan adanya sosok mahluk astral itu.     

"Tante Cuma bisa berdoa agar dia segera membaik dari kondisinya ini. Karena, dia tidak mau meminum obat dan, sudah dua kali mendatangkan seorang psikiater malah dilempari, dianggap mereka adal sosok yang bangkit dari kematian untuk membalas dendam."     

"Kenapa demikian, Tante?"     

"Tante tidak tahu, Andra." Yulita diam. Dalam benaknya, ia berfikir, apakah sosok wanita yang merasuki suaminya itu mengenal Alea? Atau, sejak dulu suaminya selalu memberikan alasan yang sama setidapmenjalin hubungan gelap bersama wanita lain dan si wanita itu minta dinikahi secara resmi dia menolak? Sehingga, saat wanita itu mati,dan kebetulan tahu siapa anak kami dia menjadi kian benci?     

Yulita meletakkan lengan kanannya di atas meja, dan menyandarkan keningnya. Ia rasanya benar-benar lelah. Tapi, menyerah juga tidak mungkin.     

"Om Rafi sekarang di mana, Tan?" tanya Andra memecah keheningan.     

"Dia sekarang bersama Axel, pacarnya Alea. Dia membawa om Rafi ke sebuah tempat untuk mendapatkan terapi dan perawatan intensif agar segera sembuh, dan tidak lagi mengalami trauma dan kesurupan."     

"Tante yang sabar,ya? percayalaha, seberat apa ujian dari Tuhan untuk hambanya, sebesar itulah rasa sayang beliau pada mahluknya. Tuhan tahu, kalau tante kuta. Beliau tidak akan memberi cobaan melebihi batas kemampuannya."     

"Iya, Andra, terimakasih. Tante pun juga percaya akan hal itu."     

Karena sudah larut, Andra pun pulang. Ia rasa sedih iba berkecamuk menjadi satu dalam hatinya. Rasanya, tidak percaya hal buruk menimpa Alea.Ia juga sedih karena tidak ada di saat orang yang paling dia cintai terjatuh. Kini, saat ia datang, Alea tidak mau bertemu dengan siapapun termasuk dirinya. Sambil sesekali mendengar jerit dan tangisannya karena ketakutan.     

****     

"Aku dengar, sudah lebih dari sebulan adkimu hilang. Bagaimana bisa polisi tidak menemukannya?" tanya Axel.     

"Iya, karena, mereka sudah mencarinya di mana-mana dan menyimpan pengumuman orang hilang di berbagai media juga tidak mendapatkan hasil dalam waktu yang lama."     

"Kamu tahu, tidak dia biasanya bergaulnya dengan siapa? Takutnya dia tidak menghilang.Tapi… " Hampir saja Axel keceplosan. Untung saja dia bisa mengerem kalimatnya.     

Namun, rupanya itu cukup membuat Jevin tertarik dan menoleh cepat ke arahnya dan bertanya, "Tapi, apa Axel?"     

"Boleh aku melihat-lihat ke sekitar rumahmu? Siapa tahu saja, aku menemukan sebuah petunjuk yang bisa menjawab semua ini."     

"Apakah kau bermasut untuk membantuku, Xel? Aku tidak menolak dan sangat berterimakasih padamu. Meskipun sebenarnya akupun juga menyerah seak sebelum polisi menutup kasus ini."     

"Kita berusaha saja dan terus berdoa semoga segera mendapatkan petunjuk. Bukankah itu sudah keharusan bagi kita sebagai manusia yang tengah dalam masalah?"     

"Iya, aku tahu. Namun, apakah salah apabila aku tak lagi berharap dengan pencarian kali ini? Aku berfikir mungkin Intan merasa muak dan sengaja ingin pergi entah ke mana dan mengganti identitas dirinya. Aku hanya bisa berharap di mana pun dia berada, semoga ia selalu bahagia."     

Axel menepuk bahu Jevin. dia memang tidak memiliki seorang adik kandung sepertinya. Tapi,mengingat sepertu apa Wulan yang paranoid setelah membaca novel karya Alea dan menemukan banyak kesamaan pada karakter Revanda dia juga tidak tega. Penyelidikan ini sebenarnya ia lakukan untuk menenangkan Wulan. Supaya, gadis yang sudah ia anggap sebegai adiknya itu bisa tenang setelah mendapatkan kebenaran tentang Alea.     

"Kapan kau ingin ke rumah? Apakah malan ini saja tidur di tempatku? Sudah lama aku tidak pulang. Sesekali hanya tukang kebun saja datang untuk menyalakan dan mematikan lampu juga bersih-bersih dua hari sekali."     

"Boleh, lah. Ini juga sudah cukup larut."     

Di rumah Jevin, Axel tidak menemukan sesuatu yang janggal. Menurut buku yang ditulis Alea ia membatai Intan di kamarnya sendiri. Namun, yang menjadi kejanggalan, kenapa Jevin tidak menemukan tanda-tanda pembunuhan. Atau mungkin, dia sama sekali tidak pernah masuk ke dalam kamarnyaIntan semenjak kembali dari luar negeri kemari?"     

"kamar adikmu yang mana?"     

"Ada di lantai atas. Apakah kau ingin melihatnya?"     

"Boleh."     

Axel pun mengikuti Jevin di belakangnya menaiki anak tangga. Saat tiba di atas, pria itu membawanya menuju kamar di sebelah kiri. Jevin langsung membuka pintunya lebar-lebar agar semua terlihat. Benar. Semua nampak terlihat baik-baik saja. Di mana Alea sebenarnya membunuh korban? Cerita itu, benar apa tidak? Bahkan, kebenaran obat yang dikonsumsi sang ayah dia juga tidak menceritakan selain berharap ayahnya akan selamanya seperti itu demi keamanan rahasianya.     

"Kau, jika memang penasaran, jangan hanya diam dan berdiri di situ saja. Masulkah, lihat apa yang ingin kau lihat. Aku tidak melarangmu."     

"Terimakasih." Axel mulai melangkah, melihat tatanan meja rias yang nampak rapi. Namun, seperti a da cacat di lampu tidurnya. Axel mencoba menyalakannya. Bola lampunya mungkin sudah di ganti baru tapi, pecah dibagian tutup atasnya terlihat jelas itu disolasi. Kebetulan ini berbahan plastic.     

"Kenapa Xel?"     

"Tidak. Penutup lampu ini pecahdan direkatkan dengan solasi."     

Jevin berkerut kening. Kemudian memastikannya sendiri. "Ini aneh," ucapnya setelah memastikan kebenaran itu.     

"Kenapa?"     

"Aku tahu, Intan itu seperti apa. Dia tidak menyukai barang rusak yang sudah diperbaiki. Sedikit cacat saja dia langsung menggantinya dengan yang baru. Apalagi yang demikian?"     

Axel mempertajam pandangannya. Semua sudut ruang ia lihat dengan teliti, sehingga di lemari pakaian bagian bawah nampak sedikit noda berwarna coklat gelap. Pria itu berjalan mendekat. Mengambil tisu basah dari atas nakas dan menggosok noda coklat pekat itu. sedikit menguning, layaknya darah yang sudah kering.     

"Apa yang kau lakukan?" tanya Jevin heran. Dia sangat awan dengan hal-hal seperti itu. makanya tidak mengerti denga napa yang Axel lakukan.     

"Semoga ini adalah jawaban." Axel memasukkan tisu basah bernoda it uke dalam plastic dan menelfon seseorang. Tidak lama kemudian, sosok berpakaian serba putih memakai topi, hodie dan masker serupa datang. Menerima benda dari Axel dan langsung pergi.     

"Bawa ini ke tempat dokter Sam. Lakukan penelitian."     

Pria itu hanya mengangguk lalu pergi meninggalkan tempat tersebut.     

"Xel… "     

"Aku lelah dan perlu istirahat. Di mana aku bisa tidur?" ucap Axel sengaja mengalihkan pembicaraan. Dia tak ingin identitasnya sebagai intel diketahui oleh Jevin. atau siapapun. Untuk kali ini, masih mamanya saja yang tahu, dan orang-orang yang bersangkutan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.