Cinta seorang gadis psycopath(21+)

RUMAH DUKA



RUMAH DUKA

3"Sudah, Om. Banyak anak yang terlahir dari keluarga broken dan bahkan jauh leb     

Axel terpaku mendengar penuturan Jevin, dia begitu bijak sana menjadi seorang pria yang sudah kehilangan sang adik. Seolah, dia tidak memiliki dendam dan kebencian sama sekali pada om Rafi dan juga tente Yulita. Andai saja, Axel yang berada di posisi itu, pasti dia sudah sangatsedih dan kehilangan akal sehatnya. Begitu mendengar berita kematian Alea, pasti dia sudah bersorak.     

Seorang pria menepuk Pundak Jevin dan berkata, "Aku salut sama kamu. Kau luar biasa hebat dan sangat bijak sana dalam menyikapi segala hal!"     

Jevin menolah. Ternyata itu Axel, ia tersenyum tipis dan berkata, "Masalahku kan dengan Alea. Om Rafi dan tante Yulita tidak tahu akan hal ini. Mana mungkin aku membenci dan menuntut mereka?"     

"Aku tahu. Tapi, mereka adalah kedua orangtua Alea."     

"Kamu oercaya atau tidak, sesedih-sedihnya aku kehilangan Intan, mereka jaug lebih sedih dan terpuruk dariku," ucap Jevin berusaha agar tetap tegar.     

"Kenapa demikian? Apa karena Alea juga mati mengenaskan dan mereka tak akan memiliki anak lagi di usianya yang sudah tidak lagi muda? Sementara kau, masih bisa menikah, membentuk keluarga baru dan memiliki anak agar tak kesepian di hari tua nanti?"     

"Itu bisa menjadi alasan juga. tapi, bukan itu yang ada dalam pikiranku saat ini."     

"Lalu apa?"     

"Mereka mengira anak semata wayang yang mereka miliki adalah sosok baik-baik. Kau tahu itu pasti, bukan? Jika tidak mana mungkin kau tertarik padanya. Dia baik, cantik dan mendekati sempurna. Namun, ternyata… orangtua mana yang tida kecewa, sedih dan malu setelah tahu kebenaran tentang putrinya? Sekarang Alea mungkin sudah mati. Tapi, Namanya akan diingat sebagai seorang psikopat, Xel. Apa jadinya jika aku marah dan mengedapankan perasaanku saat ini? Setidaknya aku tidak menanggung malu seperti mereka."     

"Kembali Axel menepuk Pundak Jevin. kali ini dia malah memeluknya dan berkata, "Aku benar-benar kagum sama kamu. Di tengah-tengah pelik dan kacaunya suasana hatimu kau masih bisa berfikir sejernih ini. Aku salut, dan harus banyak belajar sama kamu pokoknya."     

"Bagaimana pun adikku juga ikut bersalah, Xel. Sudah tahu om Rafi ada anak dan istri diam au saja, bahkan, dia juga tahu, kalau mama dulu ada main belakang dengan om Rafi. Yang hebat itu tante Yulita. Tahu apa yang dilakukan mamaku padanya, Alea dan keluarga dia masih bisa berbuat baik bahkan tante Yulita lah yang merawat mama di akhir usianya dulu."     

"Kamu yang kuat, ya?"     

Jevin mengangguk dan membalas pelukan Axel, keduanya saling mengetuk bahu satu sama lain. Kini, masalah Axel dan Wulan sudah kelar. Tidak ada lagi buronan polisi karena dia sudah meninggal. Tinggal dokter rumah sakit jiwa itu saja yang menunggu nasib baiak atau buruk yang datang. Mungkin jika dia tidak dipencara akan dicopot statusnya sebagai seorang dokter. Dan hanya bisa menerima pasien konseling saja tanpa memberikan resep apapun.     

Kejadian demi kejadian telah terselesaikan. Kini dalam pemberitaan, dalam layar televisi, aplikasi video singkat dan juga laman-laman dari beberapa aplikasi google marak memberitakan terkait kasusu seorang pembunuh berdarah dingin mengabadikan karyanya dalam betuk novel yang telah menjadi novel best seller. Saat dalam proses pencarian, ternyata pelaku meninggal dengan tragis saat kecelakaan lalu lintas hingga wajahnya nyaris tak dikenali.     

"Akua da kejutan buat kamu," bisik Axel di belakang telinga Wulan sambil memeluknya dari belakang.     

"Kejutan lagi? Apa itu?" tanya gadis itu penasaran sambil kedua tangannya sibuk memotongi sayuran untuk makan malam menyambut tante Eliz dan kedua orangtuanya yang akan datang nanti.     

"Ayo, ikut denganku!" ajaknya. Axel menarik lengan Wulan setengah memaksa.     

"Xel, aku belum selesai ini, kamu mau bawa aku ke mana?" heran gadis itu. namun ya tetap menutur saja keluar dan masih mengenakan celemek.     

"Sudahlah, nanti kau juga akan tahu sendiri, ayo!"     

Axel membuka pintu rumah, dan….     

"Hah? Apa-apaan ini?" teriak Wulan terkejut dan malu dengan penampilannya yang berantakan serta bau dapur.     

"Halo, selamat siang, mbak Wulan. Apa kabar? Kami dari tim publish*r mengucapkan selamat atas penghargaan yang anda raih," ucap seorang pria yang membawa buket bunga besar.     

"Mohon diterima, Mbak, anda menjadi editor terbaik dari semua penerbit. Selamat, ya?" ucap seorang wanita memberikan tropi kaca berbentuk buku dan pensil.     

"Penghargaan apa? Aku tidak merasa ikut kontes?" ucap Wulan bingung.     

"Karena Andra berhasil membongkar sampai akarnya, fakta tentang novel PSYCOPATH dan penulisnya. Ini karena anda yang memiliki hubungan baik dengan penulis itu, seheingga tahu apa saja kebiasaan sang author, menyamakan denga nisi cerita itu dan meminta detektif dari kantor intelijen swasta untuk menyelidikinya, bukan? Anda pantas mendapatkan penghargaan sebagai editor terbaik, Mbak Wulan."     

"Astaga… terimakasih banyak. Tapi, ini… "     

Belum sempat Wulan mengucapkan sepatah kata pun seseorang berteriak dan bersorak dan menawari dirinya agar mengelola penerbit miliknya yang sudah lima tahun ini didirikan namun tetap jalan di tempat.     

Karena pekerjaan yang ditawarkan sesuai hobinya, maka Wulan pun langsung ingin menerimanya. Hanya saja, dia pura-pura minta waktu untuk berfikir sejenak agar kinerjanya dihargai.     

Karena merasa hari kian sore, waktu juga sudah metep, akhirnya Wulan pun dengan santun meminta mereka untuk buyar karena dia masih ada banyak hal yang perlu dikerjakan dan tak boleh terlambat.     

"Apakah ini karena kamu?"     

"Aku Cuma melakukan apa yang jadi tugasku saja, harusnya taka da hubungannya, dong!" jawab Axel berlagak tidak mengerti.     

"Ya, aku tahu. Tapi, kau mengatakan akulah pelapornya, di sini tertulis, seorang editor yang merasa janggal de ngan alur dan karakter tokoh utama dan diam-diam melapor pada anggota… "     

"Itu faktanya, Sayang," ucap Axel lalu mencium Wulan dan memeluknya sangat erat seklai.     

"Aduh! Aku tidak bisa bernapas, Xel!"     

"Hahaha, maafkan aku!"     

"Oke dimaafkan tapi jangan diulangi lagi, oke?"     

"Dalam rumus wanita yang kutahu itu, adalah, iya berarti tidak. Jika tidak, artinya iya." Axel menjahili Wulan dengan cara menjilati belakang daun telinga gadis itu.     

"Kamu jangan nakal!" teriaknya geli sambil mendorong wajah Axel menjasuh dari wajahnya.     

"Baik, aku rajin-rajin nakalin kamu saja, kalau gitu," goda pria itu kian menjadi saja.     

"Ah, geli, Xel! Ya sudah, nakalah terus!" ucap Wulan karena kwalahan.     

"Karena sudah dipersilahkan, maka aku tidak akan sungkan lagi." Axel mengangkat tubuh ramping gasid itu, menarunya di atas sofa dan menggelitikinya.     

"Ah! Ampun, stop Xel… stop!" teriak Wulan.     

"Ting tong!"     

Begitu mendengar suara bel rumah berbunyi seketika Axel pun berhenti menggelitiki Wulan dan keduanya sama-sama menoleh ke arah pintu. Waktu baru menunjukkan pukul tiga. Harusnya mereka masih belum datang, kan?     

"Siapa?" tanya Axel dan Wulan bersamaan saat saling pandang.     

"Aku tidak tahu. Kita lihat saja, Ayok!"     

"Permisi, benar ini rumah ibu Ratna Wulandari?" ucap seorang pria petugas paket.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.