Cinta seorang gadis psycopath(21+)

KE MAKAM ANDRA



KE MAKAM ANDRA

3Di pemakaman Chaliya menangis meratap sendiri. Sementara di luar pagar pemakaman, Axel malah perhatiannya teralihkan oleh topik obrolan dengan sang juru kunci.     

"Gila, Pak tidur di kuburan? Di rumah saja enak meluk istri. Kalau di sini, apa gak salah peluk kunti, nanti?" jawab Axel lirih sambil menggaruk tengkuknya yang terasa merinding. Namun, masih dapat di dengar oleh lawan bicaranya.     

"Jika tidak, kawatir akan terjadi penculikan tali pocong dan mayat, Pak. Makanya, juru kunci itu berjaganya malam. Jika siang, ya jadi penggali kubur," jawab beliau.     

"Hah, apa?" tanya Axel terkejut. Membayangkan saja dia sudah ngeri, bagaimana melakukannya sendiri. Ambil tali pocong… mayat. Ih, benar-benar orang yang memiliki masalah serius denga otak dan kejiwaannya pasti.     

"Lalu, anda ke sini mau apa malam-malam begini?" tanya pak juru kunci, kembali mengingatkan tujuan Axel datang ke mari.     

"Astaga, iya Pak. Saya ke sini tadi itu mengikuti pacar adik saya. Adik saya mati dati siang dan sore hampir magrib dimakamkan."     

"Oh, kerabat dari almarhum Andra, ya? Ya sudah, ayo kita cari dia. Pasti dia ke makamnya mas Andra." Buru-buru mereka berdua menuju makam untuk mencari Chaliya. Karena takut, Axel menggenggam erat baju bapak juru kunci tersebut dengan erat. Berjalan saja sambil memejamkan mata.     

"Mas Andra itu meninggal di usianya yang snagat muda, ya?" ucap si juru kunci membuka percakapan     

"Iya, bahkan dia belum menikah. Rencananya akan menikah bulan depan. Tapi, sayang. Tuhan berkehandak lain. Kekasihnya pasti sangat sedih dan terpukul sampai-sampai dia berani ke kuburan sendirian begini," ucap Axel.     

Pak juru kunci mengangguk tanpa paham. "Maaf, jika saya lancang. Beliau meninggal karena apa, memang? Apakah kecelakaan?"     

"Tidak. Adik saya mengidap leukemia, hanya saja terlambat ya dia tidak tertolong," jawab Axel tanpa risih menyebut Andra sebagai adiknya.     

Tidak jauh dari tempat mereka nampak seorang meringkuh memeluk batu nisan. Terlihat sekali kalau dia benar-benar deprsi dan frustasi saat kehilangan sosok di bawah batu nisan itu. isakannya bahkan terdengar sambil sesekali suaranya memanggil nama Andra dengan lemah.     

"Itu calon istri adik saya, Pak," ucap Axel sambil menunjuk kea rah Chaliya.     

"Sungguh, dia sangat pemberani. Apa saking cintanya sama adik anda, ya sampai tak kenal yang Namanya takut," gumam pak juru kunci itu.     

"Chaliya, ini sudah malam. Gak baik. Angin juga kencang. Kamu nanti masuk angin. Ayo kita pulang!" ajak Axel.     

Gadis itu masih bergeming di tempatnya. Dari ujung matanya dia melirik ke samping. Ada empat kaki di sana. artinya Axel tidak sendirian. Lagi-lagi, dia meremehkan pria itu. 'Dasar, ke sini saja lama sekali. Apakah masih cari di mana berada si juru kuncinya dulu? Laki-laki nyalinya tempe! "Tak kau ingatkan aku juga sudah tahu," jawabnya ketus. Kemudian dia berdiri. Namun, matanya masih nanar melihat purasaran Andra serta batu nisan yang terukir Namanya.     

"Aku pulang dulu, Ndra. Aku tak ingin mamaku mencariku. Maafkan aku, kamu jangan sedih, ya?" ucapnya, seolah benar-benar Andra itu ada di depannya dan dapat menyahut apapun yang dia katakan.     

***     

Sejak kematian Andra, Chaliya mematikan semua jaringan social medianya. Bahkan panggilan seluler pun juga tak dapat di hubungi. Jangankan pakai via telefon dan sejenisnya, datang ke rumah saja dia tidak akan menemuinya. Karena, ia benar-benar merasa terpuruk. Hal ini jelas membuat Thassane menjadi panik. Sudah dua hari sejak kematian Andra, sama sekali putrinya tidak mau keluar. Tidak makan tidak minum.     

Sementara Axel, belum kering air mata dukanya kehilangan sosok saudara yang baru saja ia ketahui identitasnya sudah harus berurusan dengan mertuanya yang entah, kenapa malah memintanya agar menceraikan anaknya.     

"Kamu ma uke pengadilan sekarang, Xel?" tanya Elizabeth yang memang selalu rapi meskipun di rumah.     

"Iya, Ma. Sebentar lagi sidah sudah akan dilakukan."     

"Baiklah. Mama akan ikut bersamamu, oke?"     

"Baik, Ma."     

Beruntung Axel tidak terlambat. Sebab, semenit saja dia terlambat, Pasti akan mendapat antrian paling akhir karena diganti oleh peserta selanjutnya. Sidang tidak berjalan lancar, sebab, Axel mengelak tuduhan yang dituduhkan oleh pihak mertua. Lagipula, bukti bahwa dirinya memiliki simpanan wanita lain mereka juga tak punya.     

Terlebih, Axel juga dengan teliti menjawab setiap pertanyaan yang hakim tanyakan dengan kata-kata yang ambigu.     

"Maaf, saya bertanya pada mertua saya. Apakah ada persetujuan dari Wulan anda meminta saya bercerai?" tanya Axel dengan berani namun tidak menghilangkan sopan santunnya sebagai menantu.     

"Tentu saja sudah."     

"Apakah dia setuju? Jika memang setuju, kenapa dia tidak hadir?"     

"Bukankah kau sudah tahu jika dia dipenjara sekarang?" jawab Miranda dengan arogan.     

Axel tersenyum tipis kemudian berkata, "Pihak polisi juga pasti akan memberi izin, bukan? Saya tidak akan melanjutkan ini jika penggugat tidak datang langsung. Atau, beberapa saksi bisa ikut saya menemui dia di penjara setelah ini."     

"Axel! Kamu jangan melonjak!" teriak Miranda. Namun, rupanya hakim telah mengetuk palu dan memutuskan kalau sidang ditunda sepuluh hari ke depan.     

Bersama tiga orang saksi, mama dan pengacaranya, Axel pergi ke penjara tempat di mana Wulan di tahan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Setiba di sana, setelah bertemu dengan Wulan, wanita itu nampak tersenyum senang menyambut kedatangannya.     

"Axel, kau akhirnya datang juga? Aku sempat berfikir, bahwa kau tak akan lagi peduli padaku dan akan menceraikanku. Tapi, nyatanya tidak sama sekali. Makasih, ya?" ucap Wulan meraih tubuh Axel dan memekuknya.     

Jelas orang di belakang Axel sudah menyiapkan camera tersembunyi untuk menjadikan percakapan mereka sebagai bukti di pengadilan nanti.     

"Papa dan mamamu datang saat kau dua hari di penjara. Beliau membuat surat gugatan perceraian antara aku dan kamu," ucap Axel tanpa membalas pelukan Wulan. Meskipun statusnya masih istrinya.     

"Apa? Dia sudah dapat semingguan ini dong, berarti datang ke Indo?" Wulan benar-benar terkejut. Ini nampak natural dan tak dibuat-buat.     

"Apakah dia tidak datang ke sini?"     

Gadis itu mengeleng pelan. "Kamu bagaimana, Xel? Apakah menyetujui itu?" tanya Wulan sedih dan ketakutan.     

"Kamu pribadi maunya gimana?"     

"Aku? Jelas ingin bersamamu selamnya, dong! Aku gak mau cerai sama kamu, Xel!"     

Axel menoleh ke belakang. Melihat dua orang saksi. Saat salah satu dari mereka memberi isyarat, barulah Axe memohon diri meskipun sebenarnya waktu kunjungan masih belum habis. Sisa lima belas menit lagi. Hanya saja, Axel yang sduah terlanjur muak dengan kelakuan Wulan langsung pergi begitu saja.     

"Xel, kamu mau ke mana, Xel? Aku gak mau cerai sama kamu," teriak Wulan.     

"Simpan kata-katamu itu. ucapkan nanti sepuluh hari lagi di pengadilan," jawab Axel tak peduli. Dia pergi bersma tiga pria yang datang bersama. Namun, tidak dengan Elizabeth. Dia masih tetap di situ bersama Wulan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.