Cinta seorang gadis psycopath(21+)

WULAN



WULAN

2Melihat Wulan muncul tiba-tiba masih memakai seragam tahanan warna oren membuat Elizabeth tepuk jidanya sendiri. Sudah dikatakan tadi, kalau di luar ada orang. Tapi, rupanya dia tak mau dengar. Entah, apa yang dia inginkan, dan apa pula yang ada di kepalanya.     

"Wulan? Kau bagaimana bisa ada di sini? Bukankah tempatmu itu penjara?" jawb Chaliya.     

"Ya, kenapa memang jika aku di sini? Tahu aku ini adalah buronan juga Axel masih tetap melindungiku, kan?" ejek Wulan.     

"Itu urusanmu, aku bahkan sama sekali juga tak peduli. Memang kau istrinya, wajar saja."     

"Lalu bagaimana dengan dirimu? Apakah kau jadi menikah? Kudengar calon suamimu mati, ya?" jawab Wulan, mengejek.     

Mendengar kalimat yang sangat menyakitkan hati Chaliya langsung melebarkan kedua matanya dan menatap tajam pada Wulan yang sungguh takt ahu diri. amarahnya benar-benar terpancing. "Lancang sekali kau berkata begitu, Wulan? Tidakkah kau sadar, Andra mati itu karena ulahmu!" teriak Chaliya emosi dengan tubuh bergetar.     

"Wulan, sudah kamu diam saja."     

"Mama, membela dia? Hehm. Terserah kalian saja. aku tak butuh pembelaan dari kalian." Wulan melipat tangannya di depan dada, dan memandang hina pada Chaliya. "Kau salah jika menuduhku sebagai penyebab Andra mati. Sasaranku adalah kau, bukan dia. Tapi, dia berpenyakitan malah suka rela menyerahkan punggunya untuk jadi tamengku. Lalu, salahku di mana?"     

"Kau!" Chaliya sempat maju beberapa langkah. Kedua tangannya mengepal kencang. Tapi, kesadarannya mengatakan, kalau Wulan memang sengaja memprovokasinya.     

"Kenapa diam? Ayo lawan aku. melihat kau yang terpuruk dan merasa sangat kehilangan, aku tak yakin kau tak inginkan aku juga merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan Andra." Wulan menyeringai sambil melempar sebilah pisau pemotong daging dari dapur pada Chaliya.     

Chaliya menunduk, melihat bend aitu. Sementara Axel dan mamanya nampak tegang. Namun, dengan elegant, gadis itu menjawab. Nadanya pun juga sudah tenang. "Maaf, aku tidak suka menggigit balik anjing yang telah menggigitku," jawabnya sambil tersenyum.     

"Apakah kau bilang, aku ini anjing?" bentak Wulan, marah.     

"Siapa yang bilang? Aku tidak berkata demikian, Wulan."     

"Barusan kau katakana kalau kau tak akan menggigit balik anjing yang telah menggigitmu itu apa? Bukan kah sama halnya menjadikan perumpamaan aku ini adalah seekor anjing."     

"Lalu, sekarang aku tanya, apakah ada kau menggigitku sekalipun? Tidak, kan?"     

Melihat argument Chaliya dan Wulan membuat Axel dan Elizabeth ingin tertawa saja. dari cara bicara dan eksprsinya, sungguh jauh berbeda sekali. Chaliya nampak tenang dan berkelas. Lain halnya dengan Wulan yang gampang tersulut emosinya.     

"Wulan, kau harus ingat statusmu di sini. Kurasa, kita juga sudah tak lagi ada urusan, bukan? Kau pergi dari sini, atau aku yang memanggil polisi agar menjemputmu?" ucap Axel akhirnya.     

"Axel?" ucap Wulan tidak percaya. Tapi, rupanya pria itu tak lagi peduli. Dia lebih memilih keluar bersama Chaliya dan menyerahlan Wulan pada Elizabeth.     

"Ma, aku akan antar Chaliya dulu ke Kelapa gading. Urus saja dia, kan yang ada mantan hanyalah suami istri, kan? Untuk menantu dan mertua tak akan ada istilahnya mantan, bukan?" ucap Axel lalu pergi sambil menggandeng tangan Chaliya.     

Sengaja Chaliya diam saat tangannya digengaam dan digandeng Axel hanya untuk menyakiti Wulan saja. tapi, saat tiba di depan pintu, dia langsung mengibaskan tangan Axel. "Lepaskan aku!"     

"Kenapa kau menolak setelah kita di luar? Apakah sengaja memanas-manasi Wulan?" jawab Axel sambil tertawa miring.     

"Itu kau yang bertujuan demi kian. Aku diam karena tak mau mempermalukanmu di depannya saja," jawab Chlaiya sambil mengeluarkan hand sanitizer dari dalam tas slempangnya. Seolah, Axel adalah virus berbahaya.     

"Oh, begitu ya, rupanya? Ternyata aku yang terlalu banyak berfikir."     

Usai melakukan pemotretan, Chaliya langsung menuju ke rumah mamanya. Sengaja dia mampir ke situ karena, Axel tetap menunggunya hingga selesai dan bersikukuh untuk mengantarnya pulang. jadi, sebelumnya dia sudah ada chat pada mamanya untuk merahasiakan bahwa dirinya telah pindah rumah.     

"Terimaksih, sudah mengantarkan saya," ucap Chaliya saat tiba di depan rumah mamanya.     

"Apakah kau tidak mempersilahkan aku masuk dulu?" goda Axel. Dia tahu, Chaliya tak akan melakukan itu.     

"Maaf, mungkin lain kali saja. saya lelah. sebab, saya harus menyiapkan naskah untuk promosi. Menyusun kata semenarik mungkin agar menarik banyak peminat pada produk yang saya endorse," jawab Chaliya mengelak.     

"Oke, baiklah kalau begitu," jawab Axel.     

Setelah mobil itu lenyap dari pandangannya, Chaliya masuk ke dalam untuk itirahat sebentar, sete;ah hilang rasa lelahnya, kembali dia pulang ke rumahnya sendiri. Lagian, tak mungkin kan Axel akan terus mengawasi dirinya selama satu jam di depan rumah?     

Menjadi rutinitas di rumah barunya. Setiap kali dia keluar, atau dari mana pun, Chaliya selalu ke dalam kamarnya. Dia bukanlah orang yang lengah. Sekalipun hanya ke dapur, tak pernah lupa dia mengunci pintu kamarnya. Begitu pula, saat dia berada di dalam sana. meskipun, tidak ada siapa-siapa di rumah itu selain dirinya. Dia menarik kasur bawah dan kembali ngobrol dengan mayat Andra seperti yang dia lakukan tadi malam. Setelahnya dia menceritakan semua yang dia alami. Salah satunya bertemu dengan Wulan.     

"Andra, aku tak lupa dengan pesanmu untuk tidak menyimpan dendam pada siapapun termasuk juga pada Wulan. Cepat atau lambat, aku akan buat dia merasakan kematian perlahan seperti yang kau rasakan. Aku akan membalas dendam atas sakit yang kita rasakan. Kamu, jangan cegah aku, ya?" ucap Chaliya. Kemduian, memasukkan kembali mayat Andra. setelah itu, dia membuka sebuah box dari stainlees, di mana di dalamnya tersimpan sebuah pisau tajam sama seperti miliknya dulu, saat ia masih Alea sepenuhnya.     

"Wulan, jangan kau pikir aku akan diam saja, ya? Kau telah merenggut nyawa calon suamiku. Kau harusnya juga tahu, kan nyawa di bayar nyawa?" gumamnya seorang diri.     

Karena rasa dendamnya pada Wulan yang sangat membara, rasa sakit yang pernah ia rasakan saat ditinggal Axel saat ia benar-benar jatuh cinta karena kasusunya yang terbongkar sebagai pembunuh sadis seolah kembali menganga. Kini, Chaliya tidak hanya memutuskan balas dendam pada Wulan juga. tapi, juga pada Axel.     

Kembali gadis itu mendorong kolong bawah kamarnya. Ia mulai mengadukan semua perasaan dalam hatinya sebujur bangkai manusia laki-laki yang sudah dia ambil sejak kematiannya yang ke dua hari, menyuruh Riki dan Rado. Orang yang tiada sengaja dia kenal sebagai sosok bayaran terpercaya. Tergantung berapa tebal uang yang dia punya untuk diberikan mereka.     

"Ndra, gak masalah kan kalau aku dekat dengan Axel? Bukankah kau juga menitipkan aku padanya? Kamu tenang saja, walaupun sehari-hari nanti aku banyak menghabiskan waktu dengannya, oercayalah, cinta dan hatiku hanya untukmu saja. aku hanya ingin melampiaskan rasa sakitku dulu yang dia buat."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.