Cinta seorang gadis psycopath(21+)

DI MANA ETIKANYA?



DI MANA ETIKANYA?

2"Pak! Di mana etika dan sopan santunmu sebagai tamu? Datang bukannya salam langsung main peluk. Belum juga aku suruh masuk sudah minta aku menikah denganmu. Maksudmu itu, apa?" protes Chaliya.     

"Aku tidak memiliki maksud apapun. Maafkan Aku, selama ini aku mengira kalau sudah tidak.... " Sengaja Axel menggantung kalimatnya dan meneruskannya. Bukan dia mau sosok misterius atau membikin wanita dihadapannya penasaran. Tapi, dia takut obrolannya didengar oleh mamanya di dalam sana.     

Chaliya memutar kedua bola matanya. "Jadi, seburuk itukah saya di benak anda? Jadi itu alasan Anda kenapa begitu berani bertindak dan melakukan hal yang tak seharusnya Anda lakukan pada perempuan yang belum menjadi istri anda. Bukan karena cinta tapi hanya membuktikan apa yang telah anda pikirkan?"     

"Tidak begitu Chaliya. Maaf aku memang aku salah. Aku khilaf. Tapi percayalah aku benar-benar mencintaimu tulus dari hatiku yang paling dalam. Maukah kau menikah denganku?" tanya Axel, serius.     

"Kamu selalu memaksa apa yang jadi kehendakmu. Apa tak menyakitkan bagimu, jika kau hanya menjadi sebuah pelampiasan? Seperti yang kamu ketahui. Aku bahkan belum bisa melupakan dan move on dari cinta lamaku."     

"Aku tidak peduli. Lambat laun setelah kita lama bersama, cintanya di hatimu akan tergantikan oleh diriku. Kau, sadarlah! Dia sudah pergi untuk selama-lamanya meninggalkan kita, dan tak akan kembali. Apa kau tidak berusaha melupakan dan membuka hati untuk yang lain?"     

"Aku sudah berusaha. Tapi itu tidak semudah membalikkan tangan. Dia satu-satunya pria yang menghormatiku, dan tidak pernah berbuat kurang ajar sedikitpun padaku. Kau pasti berpikir, bawa aku sudah pernah atau sering melakukan itu dengan Andra di masa hidupnya, kan?"     

"Maafkan aku. Aku salah." Axel menatap sayu mata Chaliya. Terlihat sangat jelas sekali, bahwa permintaan maafnya sangat tulus.     

"Siapa yang datang, Chaliya?" tanya namanya. Rupanya dia penasaran kenapa aku ternyata juga kembali dan mengajak tamunya untuk masuk. Jadi, dia meninggalkan meja makan hanya untuk melihat siapa yang datang. "Oh, nak Max rupanya? Kenapa gak dipersilahkan masuk, Cha?" Thassane memandang ke arah putrinya. Berusaha mencari jawaban dari sorot mata wanita itu. "Masuklah, Nak!" ucapnya kemudian pada Axel, dan mempersilahkan masuk ke dalma.     

"Terimakasih, Tante," Jawa pria itu sambil tersenyum lembut.     

"Nak, Max. Apakah kau sudah makan, malam?" tanya Thassane saat tamunya sudah masuk ke dalam rumah.     

"Belum, Tante."     

"Kebetulan sekali, tante dan Chaliya juga mau makan malam. Kalau begitu, kita makan bersama saja."     

"Baik, Tante. Dengan senang hati."     

Akhirnya mereka bertiga pun menuju meja makan, dan makan bersama dalam diam berirama kan suara sendok dan garpu yang saling beradu dengan piring. Hanya sesekali terdengar suara Thassane menawarkan lauk, dan sayur untuk Axel juga Chaliya. Sementara dua anak muda itu hanya menjawab dengan senyuman saja. Mengucap kata terimakasih saja juga sangat lirih. Seperti hanya ditujukan pada dirinya sendiri saja.     

Usai makan malam, setelah Thassane dan Chaliya membereskan meja dari sisa makanan, Axel langsung mengutarakan niatnya untuk apa datang ke sini. Bahkan, dia langsung to the point saja. Ga pake basa basi.     

"Tante, kedatangan saya ke sini sebenarnya untuk melamar putri anda, Chaliya untuk menikah dengan saya."     

"Apa?" tanya Thassane. Jelas saja kita itu kaget. Sebab selama ini tidak pernah melihat putrinya dekat dengannya. Malah, Thassane berfikir, jika Chaliya sebenarnya masih belum bisa move on dari mendiang Andra.     

"Iya, Tante. Saya serius dan bersungguh-sungguh. Kedatangan Saya kemari untuk melamar Chaliya."     

Tak bisa menjawab apapun, apalagi anggota keputusan sendiri tanpa meminta persetujuan dari putrinya. Thassane pun melemparkan pandangan pada Chaliya dan meminta isyarat. Harus jawab apa.     

Tatapan matanya nampak kosong. Dia, tidak memberi isyarat agar meng iyakan, atau menolak. Lalu, Thassane pun menjawab, "Karena itu menyangkut hidup dari Chaliya, maka segalanya akan meminta serahkan padanya saja. Sebagai orang tua, kakak hanya bisa memberi doa terbaik serta restu untuk hidupnya di masa mendatang. Jika dia bersedia maka tante juga setuju. Jika tidak, kantor tidak berhak memaksanya agar menerimamu."     

Pendapat jawaban seperti itu, Axel menatap kearah Chaliya. Dengan mata biru keabu-abuan yang dia miliki. Ia menatap tajam pada gadis yang kini berubah menjadi wanita karena ulahnya. Dengan mantap dia betanya, "Apakah kau bersedia menikah denganku, Cha?"     

"Kita jalani saja hidup kita. Selama ini hubungan kita tidak lebih dari antara bos dan bawahan. Kenapa beraninya anda melamar, saya? Bagaimana jika di luar sana tanpa anda ketahuilah saya sudah memiliki pacar?"     

"Kan cuma pacar. Bukan suami. Yang setiap hari diajak kencan, belum tentu kok dinikahi," Jawa pria itu dengan berani. Tegas namun menunjukkan bahwa dirinya sangat cerdas.     

Mendengar jawaban dari Axel, rasanya Thassane ingin tertawa saja. Di tambah dengan ekspresi putrinya yang seolah kalah telak oleh pria itu. Jadi, dia memutuskan untuk ke belakang saja. Membiarkan mereka berdua bicara dari hati ke hati agar lebih nyaman dan leluasa.     

"Kalian bicaralah berdua, di sini. Tante akan ke dapur dulu untuk mencuci piring," ucap Thassane kemudian beranjak meninggalkan ruang tamu.     

"Baik, Tante."     

Chaliya dan Axel sama-sama memandang mengikuti Thassane berjalan ke belakang. Setelah memastikan bahwa dia sudah berada di dapur, dan yakin tak akan mendengar lagi apa yang akan mereka bicarakan, Chaliya berkata, "Kau tidak harus mengajak aku menikah hanya karena perasaan bersalah mu. Aku akan tetap diam dan merahasiakan ini semua, serta bersikap seolah-olah diantara kita tidak pernah terjadi apapun. Kok bebas memilih wanita yang kau inginkan, dan berbahagia lah dengannya aku tidak akan mengganggu, apalagi merusaknya."     

"Aku benar-benar mencintaimu Chaliya. Salah jika kau berfikir demikian."     

"Oke, baiklah. Kita jalani saja sama-sama. Bagaimana nanti ke depannya, semoga menjadi takdir yang indah antara kita," jawab Chaliya.     

"Aku setuju denganmu," jawan Axel lega.     

"Karena, kau sudah mendapatkan jawabannya. Maka pulanglah! Ini sudah hampir larut malam. Tidak baik bagi seorang pria bertamu terlalu malam di rumah seorang wanita dan janda," ucap Chaliya.     

Pria itu tersenyum menunjukkan karismatiknya. Kemudian ia beranjak mendekati wanita tersebut. "Ya sudah, Aku pulang dulu ya. Jangan lupa besok, Aku akan menjemputmu dan kita berangkat ke kantor bersama," bisiknya.     

Wanita itu tersenyum dan mengangguk. Membalas tatapan mata Axel sambil mendongak.     

Axel yang menatap wajah Chaliya menunduk, ia mendekatkan wajahnya pada wajah wanita tersebut, kemudian menculik ciuman di bibirnya diam-diam. Memang ini bukan yang pertama bagi mereka. Sebelum ini, mereka sudah berciuman dengan sangat ganas. Tapi, kali ini dia melakukan sembunyi-sembunyi di belakang mama Chaliya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.