Cinta seorang gadis psycopath(21+)

PRIA BODOH?



PRIA BODOH?

2"Halo, apakah ada masalah, Rik malam-malam begini telfon?" tanya Chaliya setelah mengangkat panggilan. Dalam hati ia bergumam, 'Harusnya kita sudah taka da urusan, bukan, setelah sekian lama tak menghubungiku? Atau, kau sendiri yang meminta diantar menyusul temanmu itu!'     

"Apakah kau besok bisa bertemu denganku?"     

"Siang aku hanya memilki waktu satu jam saja, tidak lebih, mulai jam duabelas sampai jam satu. Sementara malamnya, mungkin sekitar jam delapan."     

"Bagus sekali. Aku, ada yang ingin kubahas denganmu. Bagaimana jam delapan saja kita bertemu?"     

"Oke, tidak masalah. di mana?" tanya Chaliya welcome banget.     

"Besok kita lihat saja, di mana enaknya. Aku juga gak ingin kau terlalu larut pulangnya. Jadi, cari tempat nyaman dekat dengan rumahmu saja kalau begitu," jawab Riki.     

"Baiklah. Kau rupanya menelfonku terlalu malam. Aku lelah dan sudah mengantuk."     

"Oh, maafkan aku. aku gabut. Jadi, menelfonmu sampai tak lihat waktu," jawab pria itu.     

Chaliya mematikan panggilan, kemudian dia kembali tidur bersama Andra yang tak pernah lagi bisa bergerak dan merubah posisi tirunya jika bukan dirinya yang melakukannya.     

***     

Dengan raut wajah yang masam, Axel pulang ke rumah. Dia nampak sedikit kesal. Bahkan, mamanya yang duduk di ruang tamu menunggu kepulangannya tak dia sapa.     

"Axel!" panggil Elizabeth seketika wanita itu berdiri dan meletakkan surat kabar di tangannya.     

"Eh, Mama. Apa yang kau lakukan di situ?" tanya Axel sedikit kikuk. Sepertinya pria itu tidak menyadari keberadaan mamanya.     

"Apa yang mama lakukan di sini? Berdisco, Xel!"     

Pria itu menggaruk kepala belakangnya dan beranjak menghampiri Elizabeth. Tanpa berbicara, diaraihnya tangan kanan mamanya dan diciumnya. "Maafin Axel yang kurang merhatiin Mama, ya?" ucapnya, dengan nada bicara seolah telah membujuk anak TK saja. tapi, dia yang berkelakuan kek anak kecil. Sebab, dewasa ini dia tidak pernah yang Namanya menjabat tangan mamanya dan mencium tangannya.     

"Apakah kau sakit?" Elizabeth menempelkan punggung tangannya di dahi putranya. Tentu saja dia berjinjit untuk melakukan itu. Elzabeth hanya memiliki tinggi badan 167cm an, sementara putranya memiliki tinggi 182cm.     

"Apaan, sih Ma? Aku ini tidak sedang demam. Aku sehat-sehat saja, kok," jawab pria itu sambil menampik lembut tangan mamanya.     

"Mungkin kau lelah. Apakah kau sudah makan malam?"     

"Belum." Axel teringat, betapa bodohnya dia, menjemput gadis yang dia jadikan gebetan dan mengantrkan pulang ke rumahnya tanpa menawari makan malam dulu. Ah, sudah lah ini sudah berlalu, pikir pria itu.     

"Ya sudah, kau bersihkan dulu badan kamu, dan makanlah, mama sudah makan tadi," ucap Elizabeth beranjak ke dapur untuk memanasi makanan yang tadi asisten rumah tangganya masak.     

Elizabeth adalah seorang yang dispilin dan mematuhi aturan yang telah dia bikin apapun itu konsekwensinya. Yaitu, pukul sembilan malam bibi pengurus rumah sudah saatnya istirahat. Jadi, tidak boleh dia seenaknya sendiri mengganggu waktu istirahatnya sekalipun mungkin dia masih belum tidur di kamarnya. Tapi, mau bagaimana pun dia adalah manusia yang sudah mulai bekerja sejak pukul setengah enam. Jadi, biarkan dia meluangkan waktu istirahatnya untuk menelfon keluarganya jika memang masih belum mengantuk.     

Usai mandi, ditemani mamanya Axel makan malam, yang bisa dikatakan terlambat.     

"Apakah kau lembur mala mini?" tanya Elizabeth mendahului perbincangan.     

"Tidak, Ma," jawabnya sambil lahap makan.     

"Lalu? Kanapa jam segini baru pulang?"     

"Tadi aku jemput Chaliya melakukan pemotretan di geding Plaza. Sekalian antar dia pulang."     

"Apa? Kamu menjemput seorang gadis dari tempat kerja sampingannya dan mengantarnya pulang tanpa mengajak makan? Gak mungkin kan kamu Cuma memesankan dia makanan dan kau Cuma melihatnya saja bengong begitu?" tanya Elizabeth heran.     

"Itulah, Ma. Aku juga gak kepikiran sama sekali. Baru ingat tadi Ketika mama menanyaiku sudah makan apa belum." Pria itu bahkan cuek dan tak merasa bersalah sedikitpun.     

"Lalu, apa yang kau pikirkan, hah? Apa sih, sebenarnya isi kepalamu ini? Pantas saja Chaliya tak mau sama kamu. Kamu tidak perhatian dan pasti tak bisa ngertiin wanita sama sekali. Mama berani jamin, tanpa adanya perjodohan anatar kau dan mendiang Wulan pasti kau juga tetap melajang begini," cetus Elizabeth sambil melipat tangan.     

"Jika ingat siapa dia dan orangtuanya, lebih baik aku tetap menjadi lajang tak masalah. aku masih terlihat muda dan ganteng, kan Ma?"     

"Duh, kamu ini narsis banget, sih? Mau seganteng apapun kalau gak bisa mendapatkan wanita yang kau sukai, buat apa gantengnya kamu itu? gak guna!"     

Axel terkehenyak kaget dengan kata-kata mamanya yang sedikit bernada tinggi serta penuh penekanan. Ia hanya bisa melihat mamanya yang beranjak meninggalkan dirinya sendiri di meja makan.     

"Habis makan jangan lupa langsung bawa ke dapur dan cuci piringmu sendiri. Kau tahu, bukan mama tidak menyukai ada piring kotor di malam hari. Sebelum tidur, dapur harus bersih," ucap wanita itu sebelum memasuki kamarnya.     

"Iya, Ma." Axel menghela napas panjang dan kembali melanjutkan makan. Ia beberapa kali mengelengkan kepala, tak menyangka kalau mamanya akan setega ini padanya, mengatai tak akan laku tanpa dijodohkan, gak bisa nahlukin gebetan, dan yang terakhir meminta agar dia membereskan meja makan dan mencuci piringnya sendiri?     

'Ah, sudah lah! Mungkin aku memang harus lebih serius lagi mendapatkan Chaliya agar mama berhenti mengejekku,' batin Axel.     

***     

"Cha, nanti aka nada staf baru yang bekerja di devisimu. Sama-sama di bidang pemasaran. Karena kau sudah senior, jadi kamu bantu bombing dia, ya? Arahkan dan jangan sungkan-sungkan menegur apabila ada kesalahan. Kamu juga boleh meminta bantuan dirinya jika perkajaanmju terlalu menumpuk," ucap Axel suatu pagi saat mereka sudah berada di kantor. Tapi, jam kerja masih belum mulai.     

"Baik, Pak."     

"Oh, iya. Satu lagi. Nanti Mayang pemimpin kalian menyerahkan surat pengunduran dirinya kemarin. Kau sebagai kepala devisi, ya?"     

"Apa? Tidak adakah orang lain yang bisa menggantikan Bu Mayang? Kenapa haru saya? Tidak!" tolak Chaliya tegas dengan nada cukup tinggi. Sehingga para staf yang lalu Lalang di dekat mereka seketika memandang ke arahnya.     

Melihat atmosfer sekitar yang sangat tak nyaman Chaliya diam seketika. Ia menjadi sedikit kikuk dan berkata dengan suara yang lebih pelan, selayaknya seorang bawahan bicara pada atasannya.     

"Maaf, Pak. Bukannya saya menolak. Tapi, itu terlalu berat bagi saya. Saya takut, jika nanti saya tidak mampu menjadi pemimpin yang bagus. Apakah tidak ada yang lain, yang lebih layak gantiin mbak Mayang daripada saya?"     

"Yang lain banyak. Tapi, yang lebih layak darimu tidak."     

"Baik, Pak," jawab Chaliya dan kemudian melangkah menjauhi Axel dengan langkah yang buru-buru demi menghindari tatapan tak nayaman dari rekan-rekan sesame karyawan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.