Cinta seorang gadis psycopath(21+)

PENGORBANAN SEORANG IBU



PENGORBANAN SEORANG IBU

0"Miranda! Urusanmu dengan aku, bukan dengan mereka!" teriak Elizabeth bersama beberapa orang pengawalnya.     

"Oh, kau datang ke sini juga rupanya? Tak kusangka, ternyata kau cukup peduli juga dengan wanita jalang yang sudah merusak rumah tangga putramu, ya?"  ejek Miranda.     

"Dia bukan perusak seperti yang kau tuduhkan. Tapi, memang Wulan putrimu saja yang jadi orang sangat tidak masuk akal. Lepaskan dia dan serahkan dirimu kembali ke polisi. Aku tahu, kau menyogok salah satu penjaga, kan agar bisa keluar? Kau dan suamimu belum waktunya untuk bebas.     

"Itu kan membela karena kau sudah muak dan bosan dengan Putri ku bukan? Seperti Axel putramu, kau juga inginkan dia yang menjadi menantumu."     

"Terserah kamu mau bilang apa saja. Yang penting apa sih Kan mereka karena mereka sama sekali tidak bersalah. Mereka tidak ada hubungannya dengan kematian Wulan."     

"Aku tidak peduli. Kalian, bunuh wanita jalang itu!" teriak Miranda pada anak buahnya.     

Tiga orang di depan Miranda mengarahkan pistol ke arah Chaliya. Dengan cepat dan serempak mereka menarik pelatuknya dan...     

"Mama!" teriak Chaliya histeris. Wanita itu berlari memapah mamanya yang penuh dengan darah. Tiga peluru bersarang di tubuhnya. Dia rela mati demi melindungi putrinya.     

"Kenapa... Kenapa bisa begini? Ini salah sasaran. Kalian semua, cepat kabur!" teriak Miranda pada kelima anak buahnya. Tapi, dengan sigap duapuluh anak buah yang dibawa Elizabeth menangkap mereka bertuju dan langsung membawanya ke kantor polisi.     

Sementara Elizabeth dan beberapa anak buahnya membawa Thassane ke rumah sakit.     

"Ma... Mama jangan tinggalin aku, Ma. Aku tidak mau sendiri di dunia ini. Andra sudah pergi untuk selama-lamanya, lalu sekarang kenapa harus kamu, Ma.... " teriak Chaliya sambil menangis.     

Thassane nampak tersenyum. Wajahnya memucat. Sekuat tenaga dia menyentuh pipi putrinya. "Suatu kebanggaan bagi seorang ibu jika dia berhasil melindungi putrinya dari bahaya. Sekalipun harus mengorbankan nyawanya. Tidak masalah, Chliya. Masih ada Axel dan mamanya yang akan menjagamu. Kau baik-baik, ya?"     

"Ma... Aku gak mau sendiri, Ma...." ucap Chaliya tangisnya kian meledak.     

"Kak Elizabeth, aku titip. Tolong jaga putriku baik-baik, ya?"     

Setelah mengucapkan kalimat itu pada Elizabeth, saat itu juga Thassane menghembuskan napas terakhirnya. Ia pun akhirnya pergi untuk selama-lamanya.     

"Maaa... Jangan tinggalin Chaliya, Ma...!"     

"Yang sabar, ya Cha. Masih ada tante sama Axel di sini. Tidak sendiri dan jangan pernah merasanjika dirimu sendirian lagi," ucap Elizabeth sambil memeluk Chaliya.     

Sejak kepergian mamanya, Chaliya berubah menjadi pribadi yang jauh lebih tertutup.     

Sehari-hari ia habiskan waktunya untuk bermalas-malasan. Diam dan, memandangi foto mamanya.     

"Ma, aku terlanjur menyayangimu. Walaupun aku tahu, kau bukan ibu kandungku. Melainkan ibu kandung pemilik jasad ini, raga yang aku gunakan. Terimakasih atas waktu dan pelajaran selama tiga tahun ini yang kau berikan. Ini sangat berarti padaku. Karena melindungi ku, kau rela kehilangan nyawamu. Siapa yang salah dan pantas di hukum, Ma? Axel, bukan? Lagi-lagi dia. Aku kehilangan Andra dan kau jika karena dia."     

Wanita itu menghapus air matanya. Ia meletakkan kembali album foto tersebut di tas meja di dekat televisi.     

"Baiklah mah. Apakah mempercepat apa yang harus aku lakukan. Baik-baik di alam sana aku akan membalaskan dendam untukmu. Meskipun, aku tidak mungkin membunuh ataupun mamanya demi Andra."     

Seminggu setelah kepergian mamanya, Chaliya kembali melakukan aktifitasnya. Demi melancarkan rencananya, ia tidak merubah sikapnya terhadap Axel maupun mamanya. Meskipun sebenarnya dia sudah benar-benar muak akan semua ini.     

"Chaliya, aku turut berdukacita atas kepergian mama kamu, ya?" ucap Lina dan beberapa temannya.     

"Iya. Terimakasih, ya?" jawab wanita itu sambil menunjukkan senyuman terbaiknya.     

"Aku tahu, ini pasti berat untukmu. Tapi kamu yang sabar ya menjalani semua ini. Jangan menyerah apalagi putus asa. Tuhan beri ujian ini kepadamu karena Tuhan tahu, kau pasti bisa melalui semua ini."     

"Terimakasih Lina," ucap Chaliya.     

"Chaliya, kau sudah kembali bekerja?"     

Seketika dua wanita itu menoleh ke arah sumber suara tersebut. Nampak oleh mereka seorang pria tampan bertubuh tinggi tegap dan bermanik mata warna biru keabu-abuan.     

"Cha, aku ke kantor dulu, ya?" bisik Lina karena merasa tak nyaman jika harus bertemu dengan Axel.     

Chaliya hanya mengangguk pelan, dan membiarkan Lina temannya pergi meninggalkan dirinya di koridor.     

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Axel sambil menunduk, menatap wajah cantii Chaliya yang dirundung duka.     

"Aku baik-baik saja."     

"Aku tidak memaksamu agar cepat-cepat kembali ke kantor untuk bekerja, jika kamu masih butuh waktu untuk berlibur, istirahatlah. Aku tidak akan permasalahkan itu," ucap pria itu sambil menyentuh kedua pundak Chaliya.     

"Aku tidak apa-apa. Jangan begini. Aku tidak enak dilihat oleh banyak orang, Xel."     

"Memangnya kenapa kalau orang? Apakah kau malu?" ucap Axel setengah menggoda dengan tujuan menghibur Chaliya.     

"Tentu saja aku malu."     

"Apakah aku ini terlalu buruk, jika ketahuan kalau aku adalah calon suamimu?"     

"Calon suami? Emangnya kapan kita bertungan? Dasar Geer! Sudahlah, ini saatnya bekerja. Aku akan ruangan ku sendiri. Daaah, sampai jumpa, Pak!" Chaliya pun buru-buru meninggalkan Axel di koridor.     

Namun dalam hati wanita itu artinya mengumpat, 'Dasar orang tidak tahu diri. Mamaku mati karena kau tapi kau bahkan tidak meminta maaf itu. Dasar orang tak ada otak mana mungkin dia berpikir untuk meminta maaf, jika merasa bersalah saja tidak. Untung saja aku lebih dulu tahu kalau kau adalah saudara dari antara jika saja bukan, sudah ku buktikan bahwa dibayar nyawa,'     

***     

Kian hari hubungan antara Axel dan Chaliya semakin dekat dan membaik. Bahkan, terang-terangan di dean Livia, Elizbath dan juga Arabella Axel melamar Chaliya.     

Menerima lamaran di depan orang yang dia anggap penting membuat wanita itu hanya bisa tersenyum tanpa memberi jawaban apa-apa. Namun, Sayang sudah merasa beberapa kali melakukan hubungan Chaliya, menganggap diamnya wanita itu adalah iya.     

Tanpa meminta izin dari Chaliya pria itu meraih tangan kirinya dan meletakkan cincin berlian di jari manisnya.     

Tepuk tangan dari tiga orang saksi riuh memenuhi ruangan.     

"Karena kalian sudah bertunangan, sekarang kita hanya perlu memikirkan tanggal pernikahan saja," ucap Elizbath bahagia.     

"Kira-kira, Kamu kapan siap untuk menjadi istriku? Bagaimana kalau dalam bulan ini? Apakah tidak terlalu cepat?" tanya Axel sambil menaikkan sebelah alisnya, dan tersenyum genit pada Chaliya yang nampak malu-malu.     

Lagi-lagi Chaliya hanya tersenyum sambil menunduk. Dia tidak memberi sepatahpun jawaban. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dia bersorak dan berkata dengan bangga, 'pasrah saja kapan kamu mau menentukan pernikahanmu denganku. Semakin cepat maka, semakin cepat pula kau kehilangan aku.'     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.