Cinta seorang gadis psycopath(21+)

BERKUNJUNG KE RUMAH LIVIA



BERKUNJUNG KE RUMAH LIVIA

0"Iya, benar. Anda siapa?" tanya wanita itu lagi.     

"Saya Chaliya Rose. Bisakah bertemu dengan beliau?"     

Wanita itu yang semula hanya memandnag wajahnya saja, kini pandangannya jika menyelidik ke bawah hingga tas. Nampak kegaguman terlihat dari ekspresinya. Lalu kemudian ia berkata, "Saya masuk dulu ke dalam, untuk meminta izin.     

Chaliya hanya mengangguk, dan melempar senyum serta memberi jawaban singkat. "Ya."     

Tidak lama kemudian, wanita mud aitu pun kembali dengan sedikit buru-buru dan membuka pintu pagar. "Anda silahkan masuk," ucapnya.     

"Terimakasih," jawab Chaliya sambil tersenyum ramah. Di sana, dia langsung disambut oleh pelukan hangat dari Arabella yang nampak jauh lebih dewasa dari sebelumnya.     

"Kak Chaca! Kau ingat juga pada kami. Ke mana saja kau selama ini menghilang tanpa kabar. Kukura, setelah kematian kakakku, dan kau menolak menikahi dengan kak Axel kau sudah akan melupakan kami untuk selamanya," ucap gadis mud aitu terus erat memeluk tubuh Chaliya.     

Chaliya tersenyum tenang, meski sebenarnya ia merasa sangat terharu denga napa yang dia lihat. Meskipun sudah lama sekali, Arabella masih nampak sayang padanya seperti dulu saat ia masih bersama dengan mendiang kakaknya.     

"Chaliya, kau apa kabar, Nak?" sapa Livia yang terlihat semakin kurus dan semakin tua. Tapi, dia terlihat sehat. Tidak lagi seperti orang sakit-sakitan seperti pertama kali dia bertemu dulu saat Andra mengenalkan dia pada ibunya.     

"Ibu… " Chaliya melepaskan pelukan Arabella, dia datang menghampiri wanita itu, bersalaman dan memeluknya. "Ibu apa kabar? Apakah ibu sehat dan baik-baik saja? Kenapa terlihat semakin kurus?" tanya Chaliya terharu. Bahkan, ia ingin sekali menangis. Hanya saja, dia menahannya.     

"Seperti yang kau lihat. Ibu baik-baik saja. kau ke mana saja selama ini, Cha? Ibu rindu sekali sama kamu," ucap wanita itu, kemudian menuntun Chaliya ke sofa untuk duduk.     

"Aku berada di Bandung, Bu. Sebenarnya sudah lama sekali aku ingin datang berkunjung. Tapi, karena sibuk, baru sempat sekarang. Maaf, Bu jika terlalu lama membiarkanmu merasa rindu,"ucap Chaliya merasa berslah.     

"kau ke sini sendiri?"     

Chaliya hanya mengangguk. Dalam hati ia berfikir, jika tidak sendiri mau sama siapa? Mayatnya Andra? tak mungkin, kan sekalipun dia amsih belum dikubur?     

"Di mana suamimu? Kenapa dia tidak ikut denganmu?" tanya wanita itu dengan tatapan penuh selidik.     

"Bu, statsuku dengan Dicky sebenarnya hanya teman. Jadi, mana mungkin kami menikah? Lagipula, kami terlahir dari keluarga yang sangat berbeda. Dia adalah anak dari keluarga kaya raya. Sementara aku, ahanyalah orang biasa. Mana mungkin bisa denganya. Jika pun dia kelak ingin menikah, pasti akan mencari wanita yang sepadan dengannya. Sama-sama dari kalangan bangsawan," jawab Chaliya panjang lebar.     

Livia diam sesaat menyimak apa yang dikatakan oleh Chaliya. Dia menangkap, mungkin sengaja dia meminta tolong temannya itu hanya agar tidak jadi menikah dengan Axel. Tapi, kenapa harus begitu jika memang dia menolak dan tak mau dengan anak suaminya dari istri pertamanya, haruskan berbuat demikian?     

"Kau berangkat jam berapa, tadi ke sini? Apakah kau sudah sarapan? Pasti belum, ya?" tanya Livia mengalihkan topik pembicaraan.     

"Iya, aku memang belum sarapan, Bu. Tadi berangkat ke mari pukul lima dini hari," jawab Chaliya.     

"Ya sudah, sekalian saja kita srapan bersama. Karena, ibu juga belum sarapan. Tadi, setelah jogging di halaman rumah ibu membersihkan taman agar terlihat rapi. Gak tahunya, anak gadis ibu pulang untuk berkunjung," ucap Livia sambil menunjukkan senhyumannya yang lebar.     

Chaliya pun beranjak, mengekor di belakang Livia menuju meja makan. Di sana, Arabella sudah duduk manis menunggu mereka berdua. Sementara wanita yang membukakakan pintu pagar tadi tengah sibuk menyiapkan sarapan mereka bertiga.     

"Ini siapa, Bu?" tanya Chaliya penasaran.     

"Dia adalah Marni. Bekerja di sini sudah jalan empat bulan. Ya, membantu meringankan pekerjaan rumah, lah. Ibu sudah sepuh, dan gak bisa capek-capek," jawab Livia sambil duduk dan menyendok nasi dengan sayuran.     

Keluarga Andra memang sangat Indonesia banget. Dia tida terbiasa sarapan roti seperti yang sering dia lakukan bersama Axel, Andra atau pun juga dengan Dicky. Sarapan ya nasi. Tidak makan nasi, ya bukan sarapan Namanya.     

"Oh, kirain siapa. Tadi aku sempat was-was lo, Bu. Takut si embak itu pemilik rumah baru. Ternyata… " ucap Chaliya sambil tertawa dan tak meneruskan lagi kalimatnya.     

"Ting tong!"     

"Mbak Mirna, tolong sepertinya ada yang datang," ucap Livia dengan sabar sambil tersenyum. Melihat gelagat dari wanita itu, nampaknya ia tidak terbiasa menggantungkan diri pada pembantu. Ia berusaha mandiri. Dia tidak membuka pintu untuk tamu yang datang mungkin karena saking rindunya dengan Chaliya.     

"Baik, Bu," jawab wanita itu dengan santun dan sama sekali tidak keberatan. Ia berjalan cepat menuju ruang tamu. Tak lama kemudian seorang pria yang taka sing bagi Chaliya masuk ke dalam rumah.     

"Oh, ada tamu rupanya?" ujar pria itu.     

"kak Axel! Kau sudah datang? Ayo kita sarapan bersama?" jawab Arabella. Tak sadar seperti apa ekspresi ibunya dan juga dengan Chaliya.     

"Iya. Gak tahu kenapa, tiba-tiba ingin datang lebih awal saja. ternyata memang ada hal menarik di sini," jawab Axel tanpa mengalihkan pandangannya dari mantan calon istrinya yang gagal di acara pernikahan.     

Chaliya sebenarnya enggan dengan pria itu. tapi, jika diam dan menghindar, sama halnya dia mengaku salah dan kalah. Dia tidak merasa bersalah atas apapun. Dia hanya ingin balas dendam, dan mengembalikan apa yang pernah dia lakukan di masa lalu saat dirinya masih menjadi Alea Putri Wardana.     

"Halo Tuan Axel. Bagaimana kabarmu?" sapa Chaliya dengan ekegan dan senyuman yang memukai. Seolah di anatara keduanya tidak pernah terjadi apapun.     

Jelas hal itu membuat Liva dan Axel heran dengan ekspresi yang ditunjukkan Chaliya.     

"Seperti yang kau lihat. Apakah kau sudah menikah?" tanya Axel. Kemudian ia menggeser kursi tepat di hadapan Chaliya ke belakang, dan mendudukinya.     

"Aku masih lajang. Bagaimana denganmu?" tanya Chaliya dengan santainya.     

"Aku sudah menikah, dan istriku sedang hamil jalan dua bulan," jawab Axel. Ada sedikit keterkejutan di wajah pria itu begitu mendengar bahwa Chaliya masih belum menikah.     

"Oh, benarkah? Selamat kalau begitu. Semoga, ibu dan anak sehat dan bisa lahir dengan selamat," timpal Chaliya. Dan mulai makan.     

"Kau kenapa masih belum menikah?" tanya Axel dengan nada rendah. Dia tak ingin menertawakan Chaliya andai pria yang mirip Andra hanya mempermainkan dirinya.     

"Maaf, Tuan. Itu adalah masalah pribadi. Tapi, karena anda bertanya, dan ingin tahu, maka saya akan jawab. Saya merasa tidak cocok dengan dia. Dia hanya memiliki wajah yang sama dengan calon suamiku yang telah tiada. Tapi, dia bukanlah Andra."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.