Cinta seorang gadis psycopath(21+)

PERUBAHAN SIKAP AXEL



PERUBAHAN SIKAP AXEL

3Setelah cukup lama Axel dan Lina membisu di dalam ruang inap tersebut. Akhirnya Axel membuka mulut terlebih dahulu. Tak ingin terus diam dan terjebak dalam suasana canggung seperti ini terus-terusan.     

"Maaf," ucap Axel singkat.     

Lina memandang Axel yang hanya mengatakan satu kata saja. Maaf. Tapi, itu sudah cukup membuat hatinya senang dan berbunga-bunga. Sebab, mengingat Axel sangat cuek dan jarang sekali menganggap dirinya ada. Sebelum dia hamil, sakit atau apapun, Axel takt ahu. Entah, benar-benar takt ahu, atau tidak peduli dia sendiri juga tidak mengerti.     

"Kau baik-baik saja, kan?" tanya Axel lagi dengan kata yang lebih banyak. Walaupun, masih bisa di kata dengan kalimat yang snagat singkat.     

"Ya. aku sudah tidak apa-apa. Xel, apakah kau sudah peduli denganku?" tanya wanita itu. berharap menerima jawaban yang tak menyakitkan dari Axel.     

"Kenapa? Aku hanya takut hal buruk mengenai calon anakku," jawab Axel. Seketika, dia pun memalingkan wajahnya dari Lina.     

Lina hanya tersenyum. Meskipun sikap angkuh dan arigan suaminya masih tetap erat melekat dalam dirinya. Namun, kali ini ia merasa ada yang berbeda dari diri Axel.     

"Tidak masalah jika kau tak peduli denganku dan hanya peduli dengan janin yang ada di dalam rahimku. Ingat, dia ada di dalam diriku, dan aku kelak akan melahirkan dia, yang akan dianggap orang lain sebagai buah dari cinta kita," jawab Lina perlahan. Dia tidak takut mengatakan itu. kalimatnya sangat lancar dan mengalir begitu saja. tidak seperti biasanya.     

"Siapa yang cinta sama kamu? Aku melakukan itu juga karena ulah mama. Kau tahu itu, kan?"     

"Iya, aku tahu. Tapi, aku masuk rumah sakit karena ulahmu yang terlalu brutal menyetubuhiku," jawab Lina tak mau kalah.     

"Itu karena kau!"     

"Xel, perhatian dan kasih sayang itu juga termasuk nafkah batin. Bukan melulu tentang sex saja. apakah kau pikir, wanita hanya bisa bahagia dengan melakukan hubungan sexual?"     

"kau bisa diam? Atau aku kaan pergi dari sini!" ucap Axel dengan nada datar. Biasanya, dia sudah akan membentak dengan nada tinggi dan kasar.     

"Baik. Aku akan diam. Tapi, apakah kau tak lelah sejak tadi berdiri terus? Duduk, atau berbaringlah di sofa. Atau, kakimu akan kesemutan."     

"Kenapa kau hanya menyuruhku di sofa? Apakah aku tidak boleh jika berbaring di tempat lain?"     

'Astaga! Apa maksut pria ini? Maksutnya, bukan berbaring di atas lantai, kan? Lalu, di mana? Apakah mungkin akan berbaring di satu tempat tidur yang sempit ini? Di kamarnya, kasur berukuran king size saja dia memilih tidur di sofa kamar jika ada mama. Tapi, jika mama tidak di rumah, dia akan keluar kamar.' Batin Lina.     

"Tentu… tentu saja boleh. Kau bebas tidur di mana pun," jawab Lina akhirnya.     

"kamu lapar tidak?" tanya Axel.     

"Lumayan."     

"Kau di sinilah dulu. Jangan ke mana-mana. Aku mau pergi cari makanan," ujar Axel kemudian ia beranjak pergi.     

Setelah melihat punggung Axel lenyap di balik pintu, Lina bergumam seorang diri, "Memangnya akum au pergi ke mana? Jika aku pergi, suster akan melarangku. Apalagi dokter, dia pasti bakalan memarahiku habis-habisan karena kondisiku yang masih belum sepenuhnya pulih. Jika aku diam-diam kabur, ya aku dianggap buronan, lah!"     

Sementara Axel, begitu keluar dari kamar Lina langsung menelfon bibi oengurus rumah untuk menyiapkan makanan untuk Lina. Harus lengkap nasi, lauk buah dan sayur dan juga susu untuk ibu hamil. Sengaja dia memilih pulang ke rumah. Karena, makanan di luar, dia tidak menjamin sehat untuk wanita yang tengah hamil dan juga untuk janin yang ada di dalam kandungannya.     

"Bi, siapkan makanan terbaik untuk nyonya. Duapuluh menit lagi saya sudah sampai rumah dan mengambilnya," ucap Axel langsung mematikan panggilan tanpa menunggu jawaban dari bibi pengurus rumah.     

Dalam keadaan seperti ini, jawaban bagi pria itu tidaklah penting. Yang terpenting sekarang ini adalah hasilnya. Karena bingung, mungkin wanita berusia tigapuluh lima tahun itu menelfon dirinya Ketika Axel hendak memedal gas gas mobilnya.     

"Halo, ada apa, Bi?" tanya pria itu.     

"Ini menyiapkan berapa porsi, Tuan?"     

"Siapkan dua porsi. Karena, saya juga belum makan siang tadi," jawab Axel.     

"Baik, Tuan." Wanita itu pun mematikan panggilan. Kemudian, ia bergumam, "Kenapa dengan Tuan, ya? Apakah dia tidak salah minum obat? Tapi, ngomong-ngomong di mana dia sekarang, ya? Ah, itu tidak penting. Yang penting, siapkan saja dulu makanannya dengan cepat, setelah dia pergi membawa makanan ini, baru, aku akan mengabari Nyonya esar di Amerika sana. dia pasti akan senang mendengar kabar ini," gumam wanita itu seorang diri. kemudian dengan semangat dia bergegas ke dapur menyiapkan menu istimewa untuk majikannya.     

Tiba di rumah, bibi sudah menyiapkan pesanan Axel di dalam box. Ia pun tinggal mengambi saja. jangan untuk istirahat sambil minum kopi. Duduk saja Axel tidak sempat.     

"Ini makanannya sudah siap, Tuan. Di dalam termos ini susu kusus untuk ibu hamil," ucap bibi menjelaskan.     

"Baik, Bi. Terimakasih," ucap Axel. Kemudian meraih box tersebut dan langsung membawanya keluar.     

Di tengah jalan, Axel melihat jam dari arlojinya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam lebih, kemudingkinan, dia akan tiba nanti, sekitar jam enam. Sebab, bersamaan dengan orang-orang pulang dari kantor, jalanan jadi padat dan sedikit macet.     

'Duh, gimana nasib anakku sama Lina nanti kalau kelaparan? Semoga saja, bayinya nanti tidak terlahir kurus karena ibunya kelaparan. Tidak makan siang, dan ini sudah mendekati jam makan malam,' gumam Axel dalam hati.     

Saat tiba di kamar Lina, ternyata waktunya molor di luar perkiraan. Dia tiba setelah pukul enam lebih. Suster juga sudah memberi makan malam dari rumah sakit.     

"Axel, kau sudah tiba?" tanya Lina senang Ketika melihat pria itu sudah tiba.     

"Jika belum, mana mungkin aku berdiri di sini," jawab Axel masih saja ketus dan tajam.     

"Kamu dari mana?" tanya Lina tak mau menyerah.     

"Aku dari rumah. Meminta bibi memasakkannya untukmu," jawab pria itu sambil meletakkan box tersebut di atas nakas.     

Lina diam, melihat box dan juga makanan dari rumha sakit yang memenuhi nakasnya. Ia bingung harus makan yang mana. Tapi, yang jelas, masakan bibi di rumah jauh lebih enak daripada masakan rumah sakit. Lagipula, apakah Axel tidak marah jika misalnya nanti dia lebih memilih memakan makanan rumah sakit.     

Sudah bisa ditebak dan dipastikan kalau dia kan marah besar dan mengomelinya habis-habisan karena dianggap sebagai istri yang tak bisa menghargai usaha suami. Sementara, pihak rumah sakit, jika makananya tidak disentuh, mereka juga pasti tidak akan marah. Apalagi, melihat makanan yang dibawa pasien dari rumah lebih sehat dan bergizi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.