Cinta seorang gadis psycopath(21+)

BUKAN WANITA YANG DIINGINKAN



BUKAN WANITA YANG DIINGINKAN

2"Apakah kau menyesal, telah menghamiliku, Xel?" tanya Lina lirih dengan wajah tertunduk menyembunyikan air matanya yang mulai menets.     

"Tentu saja. aku ini juga inginkan seorang anak. tapi, ya harus terlahir dari wanita yang benar-benar aku cintai. Bukan pada wanita yang aku nikahi karena pelampiasan, atau pilihan dari mamaku saja!"     

"Cukup, Xel! Aku tahu diri. Aku tahu jika aku ini bukanlah wanita yang kau inginkan. Aku tahu, satu-satunya wanita yang ada di dalam hatimu hanyalah Chaliya saja, kan?" ucap Lina. Sambil terisak.     

Axel memandang Lina. Mata wanita itu memerah bahkan juga seluruh wajanya. Sakit hati terlihat jelas di raut wajahnya yang emmandang dirinya dengan kecewa dan air mata yang berderai. Axel sadar, apa yang baru saja dia katakana. Kata-kata itu, tidak benar-benar dari hatinya. Ia hanya mengatakan karena enggan mengakui perasaannya pada Lina saja. Tapi, memang faktanya di hatinya masih ada nama Chaliya.     

'Astaga! Apa yang baru saja aku katakana padanya? Meskipun di hatiku masih ada Chaliya dan sulit untuk menerima dirinya, tetap saja, aku yang meminta agar dirinya menikah denganku. Sejak dulu, dia sudah menykaiku. Sehingga, diam au, dan sangat senang Ketika tahu aku akan menikah denganku dengan konsekwensi yang sangat meyakitkan. Sebab, semua tahu, Ketika aku melamarnya, hal itu terjadi setelah seminggu gagal pernikahanku dengan Chaliya, bersamaan dengan Chaliya juga menghilang dan tak dapat dihubungi.     

Bahkan, saking sayangnya Lina pada dirinya, wanita itu mau mengandung anak untuknya, menahan sakit Ketika diabaikan sepanjang rumah tangganya. Berusaha mengabaikan jika dia bersama wanita lain, hanya mengingat, tetap dirinya lah yang diakusi sah sebagai istri, meskipun sebenarnya dia juga sakit hati karena faktanya dia hanyalah istri di atas kertas dan tak pernah menjadi prioritas.'     

Axel sadar jika kata-katanya itu terlalu tajam dan menyakitkan untuk Lina.     

"Tanpa kau beri tahu, aku juga cukup sadar dan tahu diri Xel. Aku ini hanyalah istri di atas kertas. Mungkin juga, aku hanyalah alat atau mesin untuk melahirkan anakmu saja, karena sekarang aku tengah hamil," ucap Lina di tengah isakannya.     

"Lin, maafkan aku. Aku terbawa emosi, Lin. Sungguh saat ini aku benar-benar telah menyesal," ucap Axel.     

Lina memberanikan diri mengangkat pandangannya ke atas meyaksikan wajah tampan pemilik manik mata biru keabu-abuan tersebut.     

Tidak ada drama di sana. melainkan, ketulusan dari hati yang terdalam Ketika ia mengatakan permintaan maafnya.     

Seperti apapun wanita, harusnya dia sudah sangat marah dan sakit hati oleh perkataan Axel. Tapi, mungkin karena wanita itu terlalu mencintai Axel. Jadi, cintanyalah yang memaafkan. Dalam sekejap, sakit hatinya juga hilang bersamaan dengan tangan Axel menghapus air matanya.     

"Kamu mau, kan maafin aku?" ucap Axel lirih, sambil menunduk memperhatikan wajah Lina.     

Sambil mengelap sisa air matanya yang terus mengalir deras, meski sudah ia coba sebisa mungkin agar tidak menetas, Lina mengangguk pelan.     

"Kamu lanjutkan lagi, makannya? Aku akan menyuapimu," bisik Axel.     

Jika boleh jujur, Lina sudah sangat tidak berselera untuk makan. Rasa lapar di perutnya juga hilang. Ia pun juga sudah tidak bernafsu sama sekali. Tapi, karena pria itu berkata akan menyuapinya, makai a pun tidak menolaknya.     

Mungkin saja, dia berfikir, kapan lagi akan mendapatkan moment seperti ini. Bahkan, pada suamiku sendiri saja aku harus mengemis perhatian padanya. Batin Lina.     

Dengan rasa hambar, akhirnya Lina menghabiskan makana yang Axel suapkan pada dirnya. Bahkan, dia juga diminta agar memakan semua buah yang sudah bibi siapkan untuknya, terakhir, susu untuk kehamilannya.     

Sejak malam, hingga pagi sampai sore, Axel memperlakukan Lina di rumah skait dengan sangat baik. Bahkan, dia meminta supaya bibi lah yang menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malamnya untuk istrinya dan meminta tolong supri rumah mengantarnya ke rumah sakit. Harus on time. Tak mau terlambat meski hanya sedetik. Jika tidak tepat waktu, maka mereka berdua harus siap menerima omelan dari Axel.     

"Tok tok tok!"     

Axel dan Lina menoleh kea rah pintu. Seketika, pintu itu terbuka dari luar. Padahal, salah satu dari mereka berdua masih belum mengizinkan orang di balik pintu itu untuk masuk.     

"Mama?" ucam mereka berdua bersamaan.     

"Lina, apa kabar kamu, Sayang? Apakah sudah baik-baik saja?" tanya wanita itu. jelas sekali dari raut wajah dan kata-katanya. Jika dia terbang dari Amerika ke Indonesia hanya mengkhawatirkan Lina saja. bukan karena putranya.     

"Aku baik-baik saja, Ma. Seperti yang kau lihat. Mungkin juga, besok pagi juga sudah diizinkan pulang untuk dokter jawab wanita itu sambil tersenyum.     

"Syukurlah, kalau begitu. Mama takut, hal buruk akan terjadi padamu dan juga bayimu, Lin."     

"Mama, tiba di bandara kok ga ada ngomong sama Axel. Setidaknya, aku kan bisa jemput mama, kan?" ucap Axel yang sejak tadi diabaikan oleh mamanya sendiri.     

Elizabeth diam. Ia meletakkan tas di atas sofa lalu menghela napas dalam. "Kau bilang apa? Mau menjemput mama di Bandara? Lalu, siapa yang akan jaga Lina? Membiarkan dirinya sendirian dan melakukan apapun yang dia butuhkan sendiri selama kau pergi, begitu?"     

Nada bicara Elizabeth kali ini memanglah tidak tinggi dan cenderung datar. Tapi, ekspresi dan cara dia mengatakannya itu, yang membuat Axel tak berani mengatakan apa-apa.     

"Maafkan aku, Ma. Iya, aku tahu, aku bersalah," ucap Axel lirih.     

Lina melihat ekspresi Axel ketakutan seperti anak usia lima tahun yang dihukum oleh ibunya pun merasa kasian. Akhirnya, wanita itu mengajak ibu mertuanya ngobrol agar tidak terus menerus menindas suaminya.     

"Mama, dudulah. Kau mau makan, atau minym apa? Bia raku Do kan untukmu," tawar wanita itu dengan santun. karena ini di rumah sakit. Tak mungkin dia akan membuatnya.     

"Sudah, kau jangan repot-repot. Bibi bilang, katakana makanannmu di antar dari rumah. Ini sudah oukul empat, sore buken?" ucap Elizabeth. Kemudian memandang ke arah Axel yang berdiri di temoatnya.     

"Xel," panggil wanita itu.     

"Iya, Ma?" jawab Axel dengan patuh.     

"Ini sebentar lagi, kan sudah waktunya makan malam. Mending kamu pulang saja, ambilkan makanan untuk Lina, dan juga mama. Jika kau merasa tidak selera makan di sini, kau boleh makan di rumah."     

"Baik, Ma."     

"Oh, iya. Kamu cek, baju-baju kotor milik Lina dan apa saja yang sudah tidak diperlukan di sini. Kamu bawa pulang saja sekalian, ya?"     

"Iya, Ma."     

Diam-diam Lina jadi ingin tertawa sendiri melihat, betapa patuhnya Axel pada mamanya. Tadi, dia melihat Axel yang arogan dan bermulut pedas serta gampang marah. Tapi, kali ini dia dihadapkan dengan sisi lain Axel yang sangat menghormati mamanya dan takut padanya. Apapun yang mamanya katakana dan minta, sudah ia anggap sebagai titah bunda Ratu saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.