Cinta seorang gadis psycopath(21+)

KEDATANGAN PEMILIK RAGA



KEDATANGAN PEMILIK RAGA

2"Mau ke mana kau? Aku takut sendiri," ucap Chaliya sambil memegang erat pergelangan tangan kanan Dicky dengan kedua tangannya.     

"Aku mau ganti baju dulu, Sayang."     

"Jangan tinggalkan aku sendiri," ucapnya memohon.     

"Aku hanya mandi dan ganti baju, cuma sebentar kok." Dicky memandang Chaliya. Berharap agar dia bisa mengerti.     

Chaliya memang tidak langsung melepaskan genggaman tangannya. Masih menunggu beberapa waktu akhirnya benar-benar melepaskan pergelangan Dicky. "Jangan lama-lama," ucapnya lirih.     

Dicky mengangguk pelan. Menyempatkan memegang kepala Chaliya dan meninggalkan kecupan di keningnya.     

Chaliya bersandar sambil melipat kaki dan memeluk lututnya. Ia mulai merasa was-was. Seperti ada mata yang tengah mengawasinya.     

Pertama, Chaliya mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tidak ada apa-apa. Namun, di sebuah sudut kosong, meskipun tidak dia tidak nampak apapun. Tiba-tiba saja bulu kuduknya terasa berdiri.     

"Dicky... kamu mandi lama banget, sih?" gumam Chaliya. Padahal, dia baru tiga menit ditinggal. Dari kamar mandi juga terdengar suara guyuran air.     

"Apakah kau sudah puas, membuat ragaku kotor karenamu? Benar, namanya sampah, tetaplah sampah tak akan pernah bisa menjadi permata, meskipun, bisa didaur ulang dan memberi manfaat. Tapi, itu hanya untuk orang rendahan dan tak berkelas sepertimu!"     

Chaliya terkejut saat tiba-tiba nampak seorang berambut panjang hitam duduk di tepi ranjang membelakanginya.     

"Aaaarh! Siapa kau!"     

Chaliya ingin berteriak seperti itu, tapi sayang. Suaranya tidak bisa keluar. Padahal dia sudah berusaha sekeras mungkin. Tapi, tetap saja. Tidak ada hasil. Seluruh tubuhnya terasa kaku tak visa digerakan sama sekali.     

Karena takut dan panik, wanita itu hanya bisa menangis lirih tanpa suara. memandang sosok wanita di sebelahnya. "Kau ini siapa, sih? Apa yang kau mau dariku? Aku sudah tidak melakukan apa yan telah kau tuduhkan tadi," bisiknya lirih.     

"Aku tahu. sekarang kau sudah tidak seperti itu. Tapi, bagaimana dengan sebelumnya?" Wanita itu menoleh. menunjukkan wajahnya pada Chaliya kemudian menyeringai dan berkata, "Bukannya aku sudah berpesan padamu, dulu... jangan lakukan hal buruk seprtti yang pernah kau lakukan saat kau menggunakan jasadku! Jangan pernah mengotorinya dengan dosa besar dan merusak namanya. kau ini menggunakan identitasku."     

"Kau, jika memang tidak menyukai, kenapa kau tidak menegurku? Kenapa baru sekarang kau datang? Apa, sih maumu?" ucap Alea lupa diri.     

Wanita cantik seperti dirinya itu pun tertawa terbahak dan memandang aneh dirinya. Puas tertawa, dia mendekatkan wajahnya pada Alea dan mencengkeram dagunya, memaksa agar menatap matanya. "Kau pikir, mudah bagiku bisa langsung datang ke sini? Karena, selama ini aku tidak mengawasimu. aku baru saja mendapat laporan dari seseorang yang mengenalmu."     

"Siapa dia, siapa? Katakan cepat dan pergilah! Aku berjanji padamu, mulai sekarang tidak akan melakukan hal itu lagi, pergi!" ucap Chaliya lirih sambil menangis tersedu-sedu. Mungkin ini adalah kali pertama dia merasa takut pada sosok yang tak kasat mata selama hidupnya.     

"Greeeek!" Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Rupanya Dicky sudah selesai mandi.     

Melihat ada yang tak beres dengan Chaliya, istrinya, pria itu segera bergegas dan mendekapnya erat.     

"Kamu kenapa, Sayang?" tanyanya panik.     

"Aaaaaaaa! Pergi, kau jangan sentuh aku. jangan membunuhku!" pekik Chaliya.     

"Sayang, ini aku, Dicky!" ucap pria itu, menyadarkan Chaliya yang tengah histeris seorang diri.Nmaun, karena tidak membuahkan hasil, kembali dia berteriak, "Cha... aku ini suamimu! Mana mungkin aku datang untuk membunuhmu?"     

"Dicky... itu kah kau? Syukurlah kau segera kembali. Sumpah, aku benar-benar takut. Takut... sekali," ucap Chaliya dengan tubuh yang gemetaran. Seperti orang baru mnum obat, tapi lupa tidak makan.     

"Ada apa, Syang? Kamu cerita sama aku, oke? Aku akan melindungimu," ucap Dicky sambil memeluk erat tubuh Chaliya.     

"Aku benar-benar didatangi arwahnya Chaliya yang sebenarnya, Dick... aku takut sekali, dia mengancamku. entah apa yang akan dia lakukan padaku," jawab Chaliya sambil ters menangis di dalam pelukan Dicky.     

"Aku mendengarmu berteriak keras barusan. Makanya, aku buru-buru keluar untuk melihatmu. padaha, aku mandi juga tidak sampai lima menit saja," ucap Dicky.     

"Benar, kah?" tanya Chliya, dia menarik wajahnya sedikit dari dada bidang suaminya. Kemudian dilirknya jam dinding yang tergantung di atas foto weeding dirinya dan Dicky. ternyata benar. jarum menit bahkan belim sampai sempurna di angkaempat. Dia ingat betul, Dicky meninggalkan dirinya untuk mandi dan ganti baju tadi ketika jarum menit pada jam dinding itu masih mengarah di angka dua.     

"Kau benar... tapi, kenapa aku merasa itu sangat lama sekali. Bahkan, aku tadi sempat lama sekali mengobrol dengan arwah pemilk raga ini yang sebenarnya," ucap Chaliya kebingungan. nampaknya dia juga mulai prustasi dibuatnya.     

"Sudahlah, kau tak perlu banyak berfikir lagi, oke? aku janji, tidak akan membiarkan dirimu walau hanya sedetik."     

"Bagiamana caranya?" tanya Chaliya. Di benaknya terlintas. Bagaimana? Mandi saja sudah membuatku hampir mati ketakutan. Mungkin fine dan no problem lah mengajakku mandi, sekalian mandi bareng. Tapi, bagaimana pas buang air? Buang air kecil masih tidak menjadi masalah. yang jadi masalah itu jika sudah buang air besar. Apakah aku harus ikut dan ikut menikmati baunya?     

"Aku akan mencarikan dirimu dua orang bodyguard wanita untuk menjagamu secara pribadi. Mereka akan ters berjaga. Jika salah satu ada yang ke kamar mandi, satu dari mereka akan menemanimu," ucap Dicky bersungguh-sungguh sambil menatap dalam ke mata Chaliya.     

Baru kali ini setelah bertahun-tahun lamanya dia mengenal wanita itu melihat sisi lemahnya. Sebelumnya, dia selalu menunjukkan bahwa dirinya adalah wanita mandiri dan cukup kuat. Mampu menaklukkan apapun seorang diri dan tak memiliki rasa takut. Namun, tidak kali ini. Sisi wanitanya benar-benae secara alami muncul. Sisi wanita yang lemah, gampang menangis dan penakut.     

Meskipun sebenarnya, ketakutannya cukup veralasan, dan tentu saja tak bisa disebut sebagai wanita penakut. Namun, dengan begini, Dicky bukannya malah merasa risih, atau apa. dia justru merasa senang, bangga dan makin sayang pada Chaliya, atau Alea, terserah. siapapun, asal wanita di depannya ini, dia sangat menyayanginya.     

Dengan begini, sebagai seorang pria sekaligus suami, dia merasa sangat berguna dan dibutuhkan untuk melindungi wanitanya. Jika yang sebelumnya, dia malah merasa bahwa Chaliya hanya butuh pria untuk menghangatkan kasurnya saja. Kenapa? Karena dia tidak merasa takut dengan apapun. Semua masalah dia bisa dengan mudah memecahkannya sendiri.     

"Lalu, bagaimana jika mereka tidur? Aku takut, pemilik asli jasad ini akan menyertku keluar dan menghajarku!" tanya Chaliya.     

"Dua orang akan menjagamu akan kupastikan tetap terjaga dan selalu dalam keadaan sepenuhnya Vit. Maka, saat dua orang itu mengantuk, akan ada dua orang lagi yang akan tetap terjaga menemanimu ke manapun kau pergi."     

"Terimakasih, ya Dic. Kau benar-benar sangat mempedulikanku," ucap Chaliya. kembali, buliran bening dari dalam netranya itu meleleh membasahi kedua pipi cantiknya yang mulus tanpa noda jerawat sediktitpun.     

kali ini dua bukan menangis sedih atau takut. Tapi, terharu dengan apa yang Dicky lakukan padanya. Sungguh, jika dia akan kehilangan sekali lagi pria yang dia cintai, mungkin dia akan lebih memilih ikut mati saja dari pada hidup sendirian di dunia ini.     

"Apakah kau tidak ngantuk?" tanya Dicky menatap Chaliya yang nampak lesu.     

"Ya, aku mengantuk sekali. Tapi, bagaimana bisa tidur sedangkan aku saja belum mandi."     

"Ya sudah, kamu mandi sana dulu, gih!"     

Chaliya tidak menjawab. Dia hanya menatap Dicky dengan kedua matanya yang lebar. Sesekali berkedip pelan.     

"Kenapa diam? Apakah perlu aku ikut masuk ke dalam?"     

"Memangnya kenapa?"     

"Apakah kau tidak malu, atau minimal risih, gitu jika aku ikut masuk ke dalam sana? Melihat kamu mandi?" tanya Dicky sambil memperhatikan wajah Chaliya. Mungkin, ketika dia bertanya seperti itu, mungkin dia lupa kalau carinya adalah istrinya.     

Chaliya menatap gigi dengan wajah membeku dia menahan tawanya namun akhirnya pecah juga. "Hahaha. Kamu sadar nggak sih dengan apa yang kami pertanyakan barusan? Atau mungkin kamu lupa kita ini sudah menikah lagi pula tubuhku yang mana yang tidak pernah kamu lihat?" tanya Chaliya.     

"Ya, aku tahu itu. Aku juga ingatkan sadar. Tapi apa salahnya jika aku bertanya seperti itu? Sekalipun pasangan suami istri di luaran sana masih banyak kok Yang merasa canggung dan risih jika harus selalu bersama. Apalagi ketika mandi diperhatikan. Apakah kamu tidak seperti itu?"     

"Aku tidak tahu tapi kan ini beda kasus Jika saja aku tidak mengalami ketakutan yang sangat luar biasa karena diperoleh pemilik tubuh ini mungkin aku juga tidak akan minta kamu menemaniku."     

"Ya sudah kalau begitu kita nanti saja ayo tidur kamu pasti lelah setelah seharian beraktivitas."     

Selesai mandi mereka berdua berbaring dengan mengenakan kimono atau pakaian tidur. Mengobrol bersama meletakkan kepenatan sejenak. Membahas sesuatu yang ringan dan tidak membebani pikiran.     

"Setelah melihat perusahaan, dan tempat produksi. Bagaimana perasaanmu? Apakah kamu menyukainya?" tanya Dicky.     

"Orang mana yang tidak suka dengan tempat seperti itu? Tempatnya besar luas bersih. Memproduksi ribuan produk setiap harinya, menunjukkan bahwa perusahaan itu sudah sangat berkembang pesat. Apalagi, tiba-tiba itu menjadi milikku tanpa aku tahu seperti apa susah payah nya mendirikan perusahaan tersebut."     

"Sudahlah sayang kamu jangan berlebihan anggap saja itu hadiah pernikahan aku untukmu," jawab Dicky.     

Dua insan itu ngobrol tanpa memandang satu sama lain. Pandangan keduanya sama-sama tertuju ke arah langit-langit kamar.     

"Aku tidak bermaksud untuk berlebihan. Tapi, apa yang aku katakan juga fakta, bukan?" ucap Chaliya. Tiba-tiba menoleh ke arah Dicky yang masih menatap ke atas langit-langit kamar.     

"Kan, aku sudah katakan, kau pantas mendapatkan semua ini."     

"Sepertinya terlalu besar, Dick. Kenapa, kau tidak memberiku perusahaan yang masih baru merintis saja? Biar aku mengelolanya hingga maju?"     

"Tidak. Aku tidak akan menyengsarakan istriku. Bagiku, seorang istri itu adalah ratu. Kayaknya seorang ratu, dia harus mendapatkan yang terbaik. Kasih sayang, perhatian dan juga hadiah yang akan diberikan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.