Cinta seorang gadis psycopath(21+)

AKU AYAHNYA



AKU AYAHNYA

2"Sssst.... Sembunyi, cepat kita sembunyi. Kamu lihat, siapa yang datang!"  ucap Dwi pada Christie sambil menunjuk ke arah Dicky yang tengeh menggendong Chaliya.     

Christie pun langsung menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Dwi. Begitu melihat pemandangan yang membikin baper, gadis itu meletakkan kedua tangan di bawah pipi dan memiringkan kepalanya ke kanan. "Ah, Kenapa sih mereka berdua selalu tampil mesra dan romantis. Jiwa jombloku meronta-ronta, aku baper dibuatnya aku jadi pengen punya pasangan seperti itu," ucapnya.     

"Kecilkan suara burung atau mereka akan dengar dan melihat ke arah kita. Ini adalah momen indah bagi mereka jangan sampai kita jadi pengganggu," bisik Dwi dengan tegas.     

"Kurasa mereka tidak akan mendengar. Coba kamu lihat saja! Mereka fokus saling menatap wajah pasangan masing-masing. Kecoak lewat dan kena injak Mbah Saya juga tidak akan terasa di kaki tuan," timpal Christie.     

"Hahaha, kau ini bisa saja. Kurasa, nyonya sudah mulai berani dan tidak menjadi penakut lagi. Mungkin, sebentar lagi kita akan bebas," ucap Dwi sambil merebahkan tubuhnya di atas sofa dan merentangkan kedua tangan di atas.     

"Aku juga merasa gitu. Tapi kenapa tuan tidak mengatakan sesuatu, dan mengembalikan kita ke tempat pelatihan?" tanya Christie.     

"Aku sendiri juga tidak tahu. Mungkin lain kali jika ada waktu bersama dengan hanya saja kita bisa bertanya langsung pada nya."     

"Ya, kau benar. Tapi, jujur. Tinggal di sini aku bertahan meskipun menggantikan tugas bibi sebagai tukang masa beres beres nyuci aku nggak keberatan. Nyonya dan Tuan sangat baik pada kita. Rasanya aku tidak rela jika jauh dari mereka."     

"Aku kan juga berpikiran sama sepertimu."     

"Ya, mereka adalah orang yang baik Semoga Tuhan memberkati keduanya."     

***     

Dicky meletakkan tubuh Chaliya di atas kasur dengan sangat hati-hati. Jika biasanya dia meletakkannya dengan asal, pokok tidak dibanting aja, kali ini tidak.     

"Tadi, aku memesan susu untuk wanita hamil via online. Mungkin sebentar lagi akan datang. Apakah kamu sudah haus? Jika Iya aku akan mengambilkan kamu air putih saja dulu. Bagaimana?" tanya Dicky penuh perhatian.     

"Tidak aku tidak haus. Dicky, aku ini hanya hamil. Kamu, tidak perlu memperlakukan aku seperti ini. Aku bisa mengambil minuman sendiri, jangankan ibu memasak sesuatu yang spesial untukmu saja aku masih bisa kok," ucap Chaliya, sambil menyentuh pipi suaminya dan memandang ketampanan wajah pria itu.     

"Aku tahu kamu masih bisa melakukan itu semua. Tapi aku takut kamu kelelahan dan nanti malah membahayakan dirimu dan bagi kita. Pokoknya aku tidak mau ambil resiko. Selama aku tidak di rumah apapun yang kamu butuhkan jangan melakukannya sendiri, minta bantuan pada Christie dan Dwi, jika bibi sedang keluar untuk berbelanja."     

Chaliya tidak tega untuk membantah. Dia tak mau, perhatian yang sudah suaminya berikan seperti tiada artinya. Ia hanya tersenyum, dan memeluk erat tubuh Dicky. "Terimakasih, ya sayang!"     

****     

"Kenapa, di saat aku sudah mulai bahagia dan bisa menerima Lina hatiku masih goyah saat bertemu denganmu, Chaliya? Bahkan, meskipun aku juga memilik keluarga sendiri, melihat dirimu dengan suamimu aku masih saja cemburu. Dulu, sebelum kau menikah dengan Dicky, aku masih bisa menahannya. Tapi, kenapa setelah mendengar pernikahanmu... Aku merasa cemburu, Chaliya?" Sejak tadi, sepulang dari rumah sakit, Axel terus saja memandangi foto Chaliya dari dalam ponselnya.     

Saat pandangan Axel terpaku pada foto Chaliya, tiba-tiba terdengar suara gagang pintu kamar di tarik. Buru-buru Axel keluar dari aplikasi Instagramnya. Menggenggam erat benda pipih itu dan melihat, siapa yang datang. Ternyata Lina istrinya, membuat dia kian panik.     

"Sayang, kamu sudah pulang?" tanya Axel dengan senyuman yang terlihat sangat terpaksa.     

Sungguh tidak dapat dipungkiri, cinta yang begitu buta dan terlalu dalam membuat hati Axel menjadi mati terhadap wanita yang sudah dimilikinya.     

"Aku yang tertinggal setelah ini aku akan kembali ke rumah kakek karena Rajata masih di sana," jawab Lina.     

Mendengar istrinya hendak pergi, lagi. Tiba-tiba Axel seperti tersadar akan suatu hal. Seolah ada seseorang yang tengah berbisik, yang hanya dia saja yang bisa mendengarnya.     

"Chaliya sudah tak ingin kau miliki, apakah Kau juga akan kehilangan Lina? Akan bersama siapa kau hidup? Sendiri?"     

Seketika Axel pun langsung beranjak. Mengejar Lina dan menggenggam erat pergelangan tangan wanita itu. "Lina, Sayang. Kamu jangan pergi. Plis kumohon jangan marah."     

Lina menolah ke belakang dan langsung memandang Axel yang penuh dengan ketulusan. Dia bingung harus bagaimana. Mama mertuanya meminta supaya dia mendiamkan Axel sampai dia bisa mengerti, di mana letak kesalahannya. Tapi, melihat suaminya seperti ini, dia juga tidak tega.     

"Aku hanya mengambil barang yang diperlukan Rajata. Aku harus segera kembali, karena dia tidak bersamaku," jawab Lina lirih.     

"Lin, apakah kau masih marah sama aku?"     

"Iya," jawab Lina singkat.     

"Tapi, kenapa, Lin? Aku bersalah kah sama kamu? Kenapa kau ikut marah sama aku?"     

"Mama sudah mengatakan bahwa Chaliya akan menolong kita. Harusnya ke bersikap sopan padanya, lupakan masa lalu. Jika dia pernah menyakiti dan membuat kamu malu. Tapi, kau juga pernah membuat kesalahan, kan padanya? Kau melecehkan dia, dan karena kamu juga... Dia kehilangan satu-satunya orang tua yang dia miliki. Kenapa kamu jadi berpikiran sempit seperti ini? Aku bahkan lagu Kau adalah Axel yang aku kenal dulu atau bukan? Atas tindakan mu, kau benar-benar telah mempermalukan mama," jawab Lina panjang lebar.     

Mendengar ucapan itu kembali teguh Axel gemetar. Istrinya benar-benar tidak tahu seperti apa perasaannya saat ini sekarang. Dia memang memiliki sekeping hati tapi rasanya hati itu sudah terbagi menjadi dua kembali, dan celakanya, bagian terbesar dimiliki Chaliya.     

"Bolehkah aku ikut bersamamu? Aku akan menemui mama dan berbicara empat mata dengan nya."     

Lina mengangguk, dan berkata, "Tapi, dengan satu sarat!"     

"Apa itu? Katakan?"     

"Kamu harus menjaga jarak dari Rajata. Sepertinya lu kamu juga masih belum sepenuhnya kering. Itu masih beraroma darah.     

"Kenapa? Apakah ini berbahaya?" tanya Axel.     

"Tiga hari yang lalu salah satu pelayanan Kakek masuk kamar aja tadi dengan niat membawakan satu termos air panas yang baru dia isi. Karena dia menstruasi, Rajatha yang hampir tertidur di dalam gendongan Susi pun terbangun. Dia melompat dan menarik salah satu ibu jari pelayan hingga terputus. Dia menyesap darah itu dengan rakus dan menggigiti daging pada ibu jari yang sudah ada di tangannya."     

Mendengar itu Axel langsung melotot. Tak percaya ini akan menimpa pada putranya sendiri. Jika saja ini adalah mimpi, ia ingin segera terjaga, dan segera membuktikan bahwa mimpi ini tidaklah nyata. Namun sayang sekali, Ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus dihadapi.     

***     

"Eliz, bagaimana pertemuan kamu dengan profesor yang katanya bisa bantu masalah kita, tadi?" tanya kakak Hardi kepengen tahu.     

"Pertemuannya sih, ya biasa saja sih pah. Tapi masih belum ada ada tindakan selain mengambil sampel darah Rajata untuk di cek ke laboratorium. Hanya saja beliau mengatakan dalam waktu seminggu ini, akan diusahakan penawar atau vaksinnya sudah ditemukan. Karena, beliau curiga Rajata terinfeksi virus vampir atau yang lebih mengerikan lagi virus kanibal," jawab Elizabeth panjang lebar.     

"Iya, semoga saja. Andai nanti berhasil di obati tolong sampaikan terima kasihku kepada Chaliya. Dia tidak hanya cantik tapi juga sangat baik," puji kakek Hardi Wijaya. Terdiam, sepertinya dia mengenang seperti apa wajah wanita itu. Meskipun dia tidak begitu mengenal Chaliya. namun dulu beliau pernah bertemu dan sedikit banyak juga tahu cover terkait Chaliya.     

"Iya, Papa. Eliz pasti akan menyampaikan padanya," jawab Elizabeth sambil tersenyum tipis.     

"Mama, di mana Rajatha?" tanya Axel. Dari wajahnya sangat terlihat sekali kalau pria itu sudah benar-benar sangat merindukan putranya setelah hampir satu minggu tidak bertemu.     

Elizabeth dan kakek ardiwijaya menoleh kearah Axel yang datang bersama dengan Lina. Elizabeth diam-diam masih enggan berbicara dengan putranya yang dianggap tidak tahu diri itu. Namun, tidak dengan sang kakek dia tidak tahu permasalahannya apa.     

"Aksari bukankah kamu masih terluka? Apabila lu kamu masih belum sembuh kakak sarankan kamu jangan menemui putramu dulu atau... " Pria tua itu hanya menunduk dia sedih mengingat seperti apa jodohnya dengan berurutan menyerang salah satu pelayannya hingga salah satu ibu jari tangannya terputus.     

Dia tak ingin cucunya menyerang ayahnya sendiri. Melihat betapa kerajinannya Rajata dengan darah, sepertinya dia tak pandang bulu dan tak peduli siapapun dia selagi bisa memuaskan hasratnya untuk bisa menikmati setetes darah dia pun tak segan-segan untuk melukainya.     

"Aku sudah tahu Kakek. Tadi Lina menceritakan semuanya padaku. Yang dia seram adalah pelayan. Sementara aku ini adalah ayahnya. Mana mungkin?" ucap Axel. Memaksa supaya diizinkan bertemu dan menggendong Rajatha.     

"Bukankah dia juga pernah minum darah mamanya?" tanya Kak Hardi meyakinkan diri Axel.     

"Iya dah itu terjatuh dilantai dia hanya mengecek yang ada di lantai tidak sampai menghampiri mamanya."     

"Karena yang sudah jatuh di atas lantai itu sudah sangat. Dia sudah merasa cukup dan puas untuk itu. Sementara saat dia menyerang pelayan itu, dia tidak mendapatkan apa-apa apabila tidak melukai si pelayan, dia tidak dapat menikmati apa-apa sama halnya apabila dia mencium darah dari luka mu yang baru saja kering!" Akhirnya Elizabeth pun ikut angkat bicara. Sebenarnya dia masih enggan berbicara dengan putranya hanya saja melihat Axel yang terus ke kah dan keras kepala Ia pun akhirnya tidak tahan.     

"Aku akan memastikan bahwa dia tidak akan menyerah ku. Please aku mohon izinkan aku bertemu dengan Rajatha," ucap Axel dengan tulus.     

"Mama tidak akan mempertemukan mu walaupun kamu sudah sembuh. Dia memang putramu tapi dia dalam bahaya dan, yang berjuang untuk menolong dia adalah seseorang yang baru saja kau hina dan Kau permainkan di rumah 3 hari yang lalu. Jadi jangan harap kau bisa bertemu dengan putramu sebelum kamu minta maaf padanya secara langsung," jawab Elizabeth dengan tegas kemudian dia pergi meninggalkan Axel.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.