Cinta seorang gadis psycopath(21+)

BERTEMU PROFESOR SIMON



BERTEMU PROFESOR SIMON

0Gadis itu yang nampaknya masih perawan, terlihat gelagapan dan malu-malu. Dia meremas ujung roknya untuk menetralisir rasa panik. Kemudian menoleh ke arah teman seolah meminta dukungan untuk memberi jawaban tersebut. Hingga akhirnya dia pun menjawab, "Iya, nyonya. Benar. Sejak kemarin saya memang menstruasi. Hanya saja, baru tadi saya bertemu langsung dengan tuan kecil. Saya cukup terkejut dan sama sekali tidak menyangka ini bisa terjadi. Namun, semua harus kembali pada takdir mungkin ini memang sudah suratan takdir saya. Saya harus ikhlas.     

Mendengar jawaban itu Elizabeth tersenyum puas. Dia menegaskan bahwa sanya, apa yang terjadi pada raja terbaru diketahui sejak kemarin. Sebab sebelumnya dia normal-normal saja. Tidak pernah kerajinan saat mencium aroma darah, sekalipun ia melihatnya secara langsung. Kayaknya seorang bayi melihat darah juga dia tidak peduli dan tidak menunjukkan reaksi apapun.     

"Tiga hari lagi kami akan bertemu dengan seorang profesor di akan meneliti apa yang terjadi pada Rajatha. Semoga dia dapat menemukan penyebab sekaligus penawarnya agar kita semua disini juga aman."     

"Baiknya kami semua disini akan mendoakan yang terbaik untuk tuan kecil."     

Elizabeth masih memasang muka datar dan kaku dia melihat ke arah tiga pelayan di hadapannya. Menggangguk, dan pergi.     

***     

Hari-hari berlalu. Namun, rasa sakit hati melihat kebahagiaan Chaliya bersama suaminya, membuat dia melupakan apa yang jadi tanggungjawabnya. Tidak hanya terkait pekerjaan di kantor, tapi dia juga melupakan bahaya yang mengintai keluarga besarnya melalui putra satu-satunya yang dia miliki.     

Bukannya sibuk mencari informasi seorang profesor yang selalu melakukan penelitian terkait syndrome atau penyakit aneh. Namun dia malah sibuk bolak-balik datang ke rumah Livia, hanya menanyakan dan meminta foto-foto mendiang Andra bersama Chaliya semasa hidup.     

Hingga tiga hari kemudian, Chaliya, bersama suaminya datang ke Jakarta dengan mengajak profesor simon.     

"Lina, kamu lebih cepat. Jangan sampai, Chaliya menunggu kita lama," ucap Elizabeth sambil menggendong cucunya. Menunggu Lina yang entah, menyiapkan apa, sejak tadi seperti tidak selesai-selesai.     

"Iya Pak maaf aku sudah berusaha cepat. Ini sebentar lagi juga sudah selesai," jawab wanita itu. Dengan cepat mencangklong tasnya kemudian berlari menghampiri mama tertuanya dan pergi.     

Sementara di balik dinding sel yang sejak tadi mengawasi dan menguping pembicaraan mama dan istrinya, Iya hanya menyeringai. Kemudian menelpon seseorang untuk segera bergerak.     

Di sebuah restoran berbintang, Chaliya bersama profesor simon dan suaminya sudah tiba di tempat yang sudah dijanjikan lebih awal.     

Sementara tepat di sebelah kursinya tampak beberapa orang dengan pakaian formal berkumpul di meja besar dengan membawa file. Sepertinya mereka akan mengadakan sebuah rapat. Namun entah mengapa Chaliya, yang biasanya selalu mengabaikan orang tak di kenal di sekitarnya, ini seperti ada yang aneh.     

Namun perhatiannya segera teralihkan ketika dia melihat Elizabeth dan Lina datang bersama seorang bayi kecil. Tapi, dia tidak melihat di mana baby sisternya.     

"Maaf, kami terlambat," ucap Lina.     

"Itu hal wajar bagi seorang ibu muda seperti mu. Kami juga baru saja tiba," jawab Chaliya.     

"Selamat pagi, pak Mak!" sambut beberapa orang tersebut saat melihat bos mereka tiba.     

"Selamat pagi, bisakah rapat dimulai sekarang?" jawab Axel dengan suara dingin namun penuh wibawa. Pandangannya terfokus pada anak buahnya, seolah tak menyadari keberadaan mama istri dan anaknya di meja sebelahnya.     

Chaliya, Elizabeth, dan juga Lina yang akrab dengan nama yang disebut dan suara itu pun lantas menoleh ke samping. Ternyata, dugaan mereka benar. Itu adalah Axel yang tengah memimpin rapat di restoran yang sama, dan tempatnya bersebalahan. Entah ini sebuah kesengajaan atau tidak. Yang jelas, sejak awal Chaliya sudah merasa aneh dan merasa tak nyaman dengan sekumpulan orang berpakaian formal yang duduk bersebalahan dengan mejanya.     

"Axel?" lirih tiga wanita itu bersamaan. Tapi, Chaliya diam. Sengaja dia tidak menyapa Axel karena takut keberadaannya hanya akan mengganggu mood-nya yang nanti malah membuat dia melakukan sesuatu di luar kendali.     

Bagaimanapun juga, dia pernah menjalin hubungan dengan Axel cukup lama. Seperti apa karakter pria itu dia mengerti sekali. Selalu melampiaskan emosi dan amarahnya pada bawahan yang tak bersalah. Bahkan, mereka tak tahu apa-apa dengan masalahnya.     

Sementara Lina dan Elizabeth diam tidak menyapa bukan karena takut mengganggu seperti yang dipikirkan oleh Chaliya. Namun, semenjak kejadian itu mereka berdua sepakat tidak menyapa Axel lagi sampai dia bisa introspeksi diri. Membiarkan Axel tetap tinggal di rumahnya sendiri sampai dia mau mengakui kesalahan, dan meminta maaf pada Chaliya.     

Sementara Lina tinggal di rumah kakek Hardi bersama putranya, dan semenjak itu pula, Elizabeth meninggalkan rumahnya demi bisa melihat dan memantau terus kegiatan Rajatha. sampai dia mau mengakui kesalahan, dan meminta maaf pada Chaliya.     

Meskipun sedikit canggung, Chaliya tetap berusaha bersikap normal seperti tidak terjadi apa-apa. Dia memperkenalkan profesor Simon kepada Lina, dan juga Elizabeth.     

"Begini prof, kami tidak tahu seperti Apa gejalanya sebab sebelumnya saya melihat rajatha itu baik-baik saja. Namun entah bagaimana ceritanya tiba-tiba dia.... "Lina tidak mampu melanjutkan ceritanya lagi dia terdiam.     

"Saya sudah mengerti permasalahannya, Nyonya Lina. Nyonya Chaliya sudah menceritakan pada saya. Karena saya membawa peralatan medis, bagaimana jika saya mengambil sampel darah putra Nyonya Lina sekarang dan saya bawa ke laboratorium untuk melakukan penelitian?" tanya profesor Simon meminta izin sebelum bertindak.     

"Tidak masalah profesor. lakukan saja apa yang terbaik untuk putra saya. karena saya berharap putra saya bisa hidup dan tumbuh normal seperti balita pada umumnya," jawab Lina dengan tegas.     

Baru saja profesor Simon hendak beranjak mengambil peralatan seperti jarum suntik di dalam tas yang dibawa oleh asistennya, dengan cepat Chaliya mencegahnya. "Prof, bukankah, darah yang sudah berada di dalam tabung sebaiknya segera dibawa ke laboratorium untuk dicek supaya tidak cepat membeku? Sedangkan laboratorium letaknya jauh dari sini. Bagaimana kalau kita makan saja dulu, setelah makan baru ambil sampel darahnya, dan kita cabut," ucap Chaliya sedikit canggung.     

"Oh iya, ya. Yang Anda katakan benar kenapa tadi saya tidak berpikir demikian ya?" ucap profesor Simon.     

Mereka pun akhirnya makan bersama dan mengabaikan Axel yang sepertinya memang sengaja caper dengan cara mengencangkan suaranya ketika memimpin rapat dan melakukan persentase.     

Namun, setelah selesai makan, dan mengambil sempel darah Rajatha untuk dibawa ke laboratorium, Axel akhirnya menghampiri mereka.     

"Mama, Sayang... ternyata kalian ada di sini?" sapa Axel. Sambil melihat kearah Elizabeth dan Lina yang memangku Rajatha secara bergantian.     

Merasa kalau kliennya masih akan ngobrol lama dengan seseorang yang kebetulan mereka kenal, akhirnya profesor Simon bersama asistennya memohon diri lebih dulu. Karena jika berlama-lama mereka takut darah yang baru saja diambil dari tubuh bayi itu mengalami pembekuan sebelum tiba di laboratorium.     

"Ya, kami berada di sini untuk makan bersama," jawab Elizabeth dengan wajah datar tanpa ekspresi.     

"Sayang, kamu apa kabar?" tanya Axel pada istrinya. Sebab, ketika berbicara dengan mamanya sepertinya dia tidak begitu direspon. Dari ekspresi dan caranya berbicara sepertinya, Axel tidak mengetahui kalau dua orang pria yang baru saja undur diri itu telah mengambil sampel darah putranya. Sebab, dia tidak memandang curiga, dan bertanya kenapa yang berkaitan dengan darah.     

"Seperti yang kamu lihat kami baik-baik saja," jawab Lina datar. "Mama Rajatha tak mungkin lelah ayo kita segera kembali saja," ucap Lina kemudian pada mertuanya.     

"Oh, baiklah. Chaliya, Dikcy... Terimakasih, ya untuk hari ini. Tante sama Lina pamit dulu, karena Rajata sepertinya sudah ngantuk dia mulai rewel," ucap Elizabeth, berpamitan.     

"Baik, Tante. Silahkan," jawab Dicky dan Chaliya bersamaan.     

"Ya sudah. Jaga diri, kalian ya? Jika mau kembali ke Bandung, hati-hati dan kabari tante jik sudah tiba," ucap Elizabeth melambaikan tangan pada mereka berdua, setelah berpelukan dengan Chaliya.     

Kini, di tempat tersebut hanya ada Chaliya, Diki dan Axel. Sebenarnya Dicky sudah sangat muak dengan tingkah Axel yang kian hari kian aneh. Terlebih dia juga tahu bahwa di masa lalu berkali-kali pria itu menyakiti hati istrinya. Namun demi mendukung istrinya tetap menjadi orang baik meskipun ditindas, Iya pun rela berbasa-basi menyapa pria berparas bila tersebut lebih dulu.     

"Rupanya kamu juga ada acara di tempat yang sama dengan kami. Kami sama sekali tidak tahu dan tidak menyadari," ucap Dicky.     

Bukannya menjawab sapaan pria di depannya dengan jawaban yang nyambung, Axel justru malah memandang Dicky dengan tatapan menghina dari ujung kepala sampai ujung kaki. Entah apa maksud dari tatapannya tersebut.     

"Aku tidak menyangka, siapa kamu menikahi Chaliya juga setelah dengan berani membawa dia kabur dari pernikahanku," ucapnya.     

"Axel bukankah itu sudah bertahun-tahun lamanya berlalu. Kau juga sudah menikah dan dari pernikahanmu kalian juga sudah memiliki seorang anak. Kenapa masih sempat mengungkit masa lalu?" jawab Chaliya. Dia merasa sangat tidak tahan.     

"Kamu berani berkata seperti itu padaku. Tidakkah kamu berpikir Kenapa calon istrimu lebih memilih aku dan kabur dari pernikahan daripada kamu. Jika kau mengerti, pasti hal semacam ini tidak akan kau pertanyakan. Sungguh, memalukan sekali," jawab Dicky tak kalah sinis.     

"Kamu begitu percaya diri seolah-olah wanita yang kau nikahi benar-benar mencintaimu saja," jawab Axel. Tak mau kalah.     

"Bagaimana Aku tidak percaya diri? Apabila benar dia tidak mencintaiku, Kenapa dia mau menikah denganku? Mengabdikan diri sepenuhnya sebagai seorang istri yang baik dan meninggalkan karirnya yang sedang tinggi-tingginya. Kurasakan paku jelaskan hal itu kau pun juga tahu."     

"Hahaha. itu menurut kamu. Tapi, seperti apa isi hatinya Apakah kau tahu? Kau harus ingat bro kita ini manusia tidak bisa membaca seperti apa isi hati orang lain. Lain lagi ceritanya jika kau memang titisan seorang dewa yang bisa mengerti seperti apa isi hati istrimu."     

Axel berjalan sempoyongan kembali Dia menatap Diki yang memasang ekspresi wajah yang sangat dingin. Sekali lagi dia tertawa terbahak menertawai pria dihadapannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.