Cinta seorang gadis psycopath(21+)

ANAK SENGKETA?



ANAK SENGKETA?

2Setelah Livia mematikan telepon, Elizabeth buru-buru menghampiri madunya itu. "Bagaimana? Apakah Arabella lembur?"     

"Tidak. Katanya dia diajak makan malam sama temannya. Lupa tidak memberi kabar karena kepada perjalanan temannya terlalu asyik mengajaknya bicara sehingga dia pun lupa."     

Elizabeth langsung menghampiri Livia. Dengan semangat wanita paruh baya itu bertanya, "Apa? Dia makan malam sama temannya? Laki-laki apa perempuan temannya?"     

"Aku tidak tahu. Aku juga lupa menanyakannya," jawab Livia. "apakah perlu, menelfonnya lagi, untuk bertanya?" ucapnya lagi.     

"Tidak perlu. Aku bisa cari tahu dengan caraku sendiri," ucap Elizabeth kemudian menyalakan ponsel yang sudah ada dalam genggaman. Dia nampak mengetik sesuatu. Tidak berselang lama, wajahnya jadi semringah.     

"Kau Kenapa? Apakah sudah mendapatkan jawabannya?"     

"Iya aku tahu dengan siapa dia pergi. Dia memang laki-laki, tapi kamu tidak perlu khawatir akan hal itu. Aku kenal dengan pria hanya dia adalah sosok yang baik dan memiliki pekerjaan yang mapan," ucap Elizabeth dengan yakin.     

"Siapa?"     

"Dia adalah seorang dokter di salah satu rumah sakit."     

"Bagaimana kamu tahu?"     

"Jika kamu tidak percaya nanti saat arabella pulang kau bisa menambahkannya padanya. Bukankah selama ini dia tidak pernah berbohong padamu?" ucap Elizabeth.     

"Tunggu sepertinya ada sesuatu yang janggal. Bagaimana bisa kamu tahu kalau arsyila sedang makan malam dengan seorang dokter?" tanya Livia. Sebab selama ini putrinya tidak pernah menceritakan tentang teman laki-laki padanya.     

"Sebenarnya aku ke sini untuk memberitahumu sesuatu. Dan kebetulan keadaannya sangat mendukung sekali. Jadi, kemarin itu aku sebenarnya tidak mengajak Elisabeth untuk reunian. Tapi, diam-diam aku mengatur kencan buta dia dengan seorang dokter tampan. Sebentar ya aku kasih tahu fotonya padamu," ucap Elizabeth dengan semangat Ia membuka galeri pada ponselnya lalu mencari sebuah foto dan menemukan foto Samuel. Lalu memberitahukan pada Livia.     

"Dia?" Livia tersenyum tipis melihat foto pria tampan, mengenakan jas putih dan stetoskop yang nampak keluar sebagian dari dalam sakunya.     

"Siapa dia sebenarnya?" tanyanya. Tanpa memalingkan pandangannya dari foto pria itu.     

"Ceritanya begini, pertama kali aku bertemu dengannya saat di rumah sakit menemani Axel. Aku melihat dokter yang menanganinya masih sangat muda dan tampan dia juga terdiam dan tidak genit pada wanita. Aku berangan-angan, seandainya ada anak cewek, pasti sudah ku jadikan dia menantu. Ayat yang mengatakan kalau aku memiliki anak perempuan yang sudah dewasa dan bisa dikenalkan oleh dokter itu bisa aku mau minta. Yaitu, Arabella."     

"Asataga, Lis... Kamu bagaimana bisa mendapatkan kontak dokter itu, dan bahkan sampai bisanya mengatur kencan buta mereka berdua?" tanya Livia kagum.     

"Kemarin saat aku datang ke sini dengan muka pucat, sebenarnya hanya pura-pura sakit dari sengaja melihat diriku dengan riasan seperti itu supaya arabella mengatakan aku ke rumah sakit supaya bisa bertemu dengan dokter muda itu. Tapi rencanaku gagal gara-gara aku seperti orang kalap menyuruhku segera pulang. Tapi yang namanya takdir rezeki dan jodoh sudah diatur kali namanya jodoh kita tidak akan ke mana ya ada aja jalannya."     

"Bagaimana?" Kali ini dialah yang di bikin penasaran oleh Elizabeth. Dia terus bertanya.     

"Saat itu aku datang ke rumah salah satu temanku seperti biasa setiap kali aku datang ke rumah kawan baik kami selalu masak bersama dan makan bersama ketika kami tengah bersantai di halaman, aku melihat dokter itu menghampiri temanku memanggil tante lalu mencium tangannya. Setelah itu, kau pasti tahu, kan apa yang terjadi? Maka, aku mengutarakan niatku untuk menjalin hubungan lebih baik dengannya.     

Dia adalah putra dari adiknya. Adik dan iparnya meninggal saat kecelakaan ketika sama si kecil. Jadi, sejak itu pula, temanku yang mengasuh dan menyekolahkan Samuel hingga dia menjadi seorang dokter. Kasin sih. Semoga mereka berdua jodoh, ya?"     

"Terima kasih Elizabeth. Sangat baik dengan kokoh bahkan kamu sangat memikirkan masa depan Arabella. Tapi, Apakah tidak apa-apa jika dia seandainya menikah dengan dokter itu? Putriku tidak berasal dari keluarga kaya raya," ucap Livia, khawatir.     

"Ya tidak apa-apa justru dengan arah gerak bersuamikan seorang dokter yang memiliki gaji pasti, kau tidak perlu khawatir akan hidupnya," jawab Elizabeth.     

"Tidak begitu Elizabeth aku tahu tapi kan aku... "     

"Aku mengerti apa yang kau khawatirkan. Itu tidak akan terjadi. Kau juga istri Leonel. Berhak mendapatkan warisan darinya. Arabella, juga bekerja. Apalagi, temanku tidak memandang status untuk dijadikan pendamping keponakannya. Yang penting wanita itu bambu taat kepada keponakannya saat sudah menikah dan menghormati dirinya saja yang dirinya sebagai orang tuanya sendiri."     

"Aku hanya khawatir biasanya orang yang memiliki anak dengan kualitas bagus dia juga akan mencari mantu yang setara."     

"Arabella itu sekarang dengan Samuel. Kamu tenang saja. Iya menyekolahkan sekon maka jarak bumi sampai menjadi seorang dokter karena dia tidak memiliki anak. Dia adalah seorang janda dan Rama menjalin hubungan lagi dengan seorang pria. Lagi yang ditakutkan apabila keponakannya menikah dengan anak orang kaya, takut direndahkan keluarga mertuanya karena tidak punya titel. Sudahlah, Emy adalah sahabatku. Dia tidak akan melukai Arabella. Karena dia tahu, arabella sudah ku anggap seperti putri ku sendiri.     

"Terima kasih Elisabeth." Mereka berdua berpelukan. Karena malam sudah semakin larut. Terlebih kesehatan papanya belum sepenuhnya pulih, baru pukul delapan Elizabeth memohon diri untuk pulang.     

Livia menunggu kepulangan putri semata wayangnya di teras rumah. Sesekali dia menggesekkan kedua telapak tangannya untuk mengurangi rasa dingin yang merasuk hingga tulang.     

Beberapa kali dia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Waktu baru menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh. Tapi dia sudah Mas Mas takut putrinya punya terlambat. Karena, dia juga tidak tahu Samuel mengantarkan putrinya naik motor atau mobil. Dia hanya khawatir nanti apabila ketahuan oleh salah satu tetangga, akan menjadi bahan gosip gunjingan dan juga fitnah. Karena, mereka tinggal di rumah itu hanya berdua dan semuanya wanita tidak ada yang laki-laki. Apalagi, dia adalah janda yang tidak jarang dipandang sebelah mata oleh ibu-ibu kompleks.     

Karena masih ada waktu sekitar setengah jam, Livia berpikir masuk ke dalam rumah untuk mengambil baju hangat dulu. Namun langkahnya terhenti ketika dia mendengar suara mobil berhenti di depan pagar.     

Wanita itu melihat dengan seksama menunggu hingga orang yang berada di dalam sana turun.     

"Terimakasih, sudah mengantarkan aku pulang. Mampir dulu, yuk!"     

Itu adalah suara Putrinya. Elizabeth mengurungkan diri untuk masuk ke dalam tapi dia malah menuju ke pagar. Untuk memastikan, Apakah benar barusan itu adalah suara putrinya.     

"Lain kali saja karena ini sudah malam," jawab seorang pria.     

"Arabella, kau sudah pulang?" sapa Livia.     

"Iya, Bu. Kenalkan, ini temanku. Namanya Samuel," ucap Arabella. Kemudian, dia mengenalkan ibunya pada pria itu. "samuel, ini ibukku."     

Pria itu nampak memandang Arabella. Kemudian, mengulurkan tangannya pada wanita paruh baya tersebut dan mengenalkan dirinya.     

"Tidak ingin masuk dulu, Nak Samuel?" tawar Livia.     

"Lain kali saja, Tante. Karena ini sudah larut," jawab pria dengan santun. "ya sudah Tante, kalau begitu, saya pulang dulu," pamitnya.     

"Iya, Nak Samuel. Hati-hati, dan terimakasih, ya sudah mengantarkan Arabella sampai rumah," jawab Livia.     

'Ibu... Mama... Anak siapa Arabella itu sebenarnya, tante Elizabeth, apa tante Livia yang barusan?' pikir Samuel. Dia cukup bingung.     

Gara-gara emikirkan Arabella, hingga satu jam Samuel berbaring di ranjangnya, belum juga bisa terlelap.     

'Kamu tuh sebenarnya anak nonton Livia apa Tante Elisabeth sih Arabella? Melihat perlakuan tante Elisabeth kemarin, dia juga nampak sangat menyayangimu. Siapapun juga akan berpikir bahwa kau adalah anak kandungnya.     

Lalu ketika melihat ekspresi tante Livia taqdim setelah melihat kau sudah tiba di rumah... Bukankah itu terdapat seorang ibu yang mengkhawatirkan putrinya yang belum kembali, tiba-tiba putrinya datang dalam keadaan baik-baik saja.     

Apakah tante Elizabeth dari kata Livia itu adalah saudara kandung? Tapi, kenapa tidak mirip? Di dunia ini hanya ada istilah tanah sengketa, kan? Bukan anak sengketa?' batin Samuel.     

Tidak mau terjebak dalam pikirannya sendiri, karena penasaran Samuel meraih ponselnya diatas nakas, kemudian memberanikan diri mengirim pesan kepada Arabela meskipun sudah larut malam.     

"Sudah tidur?" tulisnya. Kemudian mengirimnya kepada arabella melalui aplikasi berwarna hijau.     

"Belum kau Kenapa jam segini belum tidur bukankah ini sudah larut malam untuk seorang dokter yang selalu mempedulikan pola hidup sehat?" balas Arabella.     

"Aku tidak bisa tidur. Ada sesuatu sangat mengganggu pikiranku," balas Samuel titik dari kalimatnya sepertinya sengaja memancing rasa penasaran arabella supaya aku bertanya apa yang mengganggu pikirannya sehingga mudah baginya untuk mendapatkan jawaban terkait dirinya.     

"Ternyata bisa juga ya seorang dokter tidak bisa tidur karena memikirkan sesuatu. Memangnya, apa itu?"     

Mengerti bahwa rencananya berhasil Samuel tersenyum tipis kemudian kembali menulis sesuatu namun tidak langsung ke inti. "Kamu."     

"Aku? Memangnya, kenapa aku?" tanya Arabella.     

"Wanita yang menungguku pulang, yang kau panggil Ibu tadi siapa?"     

"Ya ibuku! Kenapa Apakah kau penasaran Oh iya aku baru ingat tante Elizabeth itu bukanlah ibuku ibuku ya Ibu Livia. Ibu dan tante Elizabeth memiliki suami yang sama. Jadi, bisa juga dia itu ibu tiri ku."     

"Oh, ya sudah." Setelah mendapat jawaban tersebut, hilang sudah rasa penasaran Samuel. Diaktifkannya mode penerbangan pada ponselnya, lalu ia meletakkan kembali di atas nakas. Dengan begini, Samuel bisa tidur dengan nyenyak.     

"Memangnya kenapa kamu bertanya seperti itu?" Balas Arabella. Tapi, pesanannya hanya centang satu.     

Kembali dia menulis pesan lagi, untuk dikirimkan pada dokter Samuel. "Hey, pak dokter! Kenapa pesanku hanya centang satu saja? Kau mematikan datanya, atau quota mu habis? Atau, di sana listriknya padam, jadi kau tidak bisa menggunakan wifi?     

Karena dua besarnya tidak terkirim hanya bertentang satu, Arabella pun menghubungi nomor tersebut. Ternyata, nomornya tidak aktif.     

"Pasti dia sudah tidur! Dasar sialan! Menghubungiku menanyakan sesuatu yang tidak begitu penting di saat aku mulai mengantuk, dan ketika ngantuk aku hilang kau juga hilang! Sangat tidak sopan sekali. Tau gitu, kuabaikan pesanmu!" umpat Arabella kesal.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.