The Alchemists: Cinta Abadi

Lily



Lily

1Akhirnya London mengambil keputusan. Saran ibunya memang baik dan ia merasa perlu menenangkan pikirannya, jauh dari L.     

Setelah tidur sebentar, London lalu memanggil Jan untuk memberitahukan rencananya. Ia sengaja tidak mengajak Jan ke  Singapura, karena walaupun Jan sudah dianggap seperti keluarga sendiri, tetapi kenyataan bahwa dulu ayahnya mati bunuh diri akibat didesak Rhionen Assassins membuatnya masih belum dapat memaafkan Alaric dan bersikap baik di depannya.     

Jan menyayangi dan menghormati Aleksis dan seisi keluarganya yang lain, tetapi pandangannya terhadap Elios Linden, alias Alaric Rhionen masih belum berubah. Semua orang mengerti hal itu dengan baik dan memberi jarak di antara mereka. Maka seperti sekarang, London sama sekali tidak mengajak Jan untuk ikut dengannya.     

"Jan, aku ingin kau mengarang alasan supaya L pindah ke penthouse selama aku pergi ke Singapura dua minggu. Aku tak mau membiarkan ia tinggal di apartemen sendirian selama aku tidak ada," kata London begitu Jan tiba. Ia baru selesai berenang dan sedang menikmati kopi paginya di tepi kolam ketika asistennya itu datang.     

"Mengarang alasan?" Jan garuk-garuk kepala. "Kenapa tidak mengarang alasan agar dia ikut Tuan ke Singapura saja? Atlas Corp sudah lama tidak mempunyai ambassador baru dan tadi malam aku berpikir, bisa saja kita menunjuk Nona L menjadi ambassador mereka dan memberinya kesempatan untuk mencoba pesawat pribadi ke Asia. Itu bisa menjadi alasan untuk ikut Anda ke sana."     

London tersenyum mendengarnya. "Rencana yang bagus sekali, tetapi sekarang aku berubah pikiran. Rasanya aku tidak mau membawa L ke Singapura dan bertemu keluargaku. Aku tidak membutuhkan stress tambahan saat ini. Biarlah dia menikmati hidupnya tanpa aku dulu... Aku juga begitu."     

"Baiklah, jika itu yang Tuan minta." Jan kemudian garuk-garuk kepala.     

Memindahkan L ke penthouse sangat gampang, tetapi memikirkan alasannya justru sangat sulit. Mesti bagaimana? Apakah ia dapat menyebutnya sebagai hadiah dari perusahaan? Atau...?     

"Tuan... ini lebih memusingkan daripada membawa Nona L ke Singapura," keluhnya setelah beberapa lama memutar otak.     

London tidak mendengarkan. Ia telah masuk ke kamarnya dan bersiap-siap untuk pergi bekerja.     

***     

Ketika ia pulang ke rumah pada sore harinya, London memutuskan untuk mengajak L bicara. Ia harus memberi tahu gadis itu akan kepergiannya ke Singapura.     

"Kau  mau makan di luar bersamaku malam ini?" tanyanya sambil menyerahkan seikat bunga kepada L yang sedang duduk membaca di sofa. L mengangkat kepalanya keheranan.     

"Kau tahu aku tidak bisa keluar dalam keadaan seperti ini," omelnya. Ia menunjuk perutnya yang besar, seolah memprotes London yang tidak simpati pada situasinya yang sedang menyembunyikan kehamilannya dari publik.     

"Kau bisa menyamar sebagai orang lain. Tinggal pakai wig dan kacamata, orang tidak akan mengenalimu sebagai Elle." London mengeluarkan sebuah rambut palsu yang bagus sekali dari kantong yang dibawanya. "Aku sudah memikirkannya. Kau bisa stress kalau terus-terusan tinggal di rumah seperti ini."     

L tampak berpikir sejenak. Ia meneliti rambut palsu yang dibawakan London dan kemudian tersenyum tipis.     

"Baiklah... aku setuju."     

Ia masuk ke kamar dan bersiap-siap. London senang melihat L tersenyum walaupun sangat tipis. Ia merasa sebenarnya gadis itu suka diajak keluar olehnya, dan hanya berpura-pura ketus.     

L keluar kamarnya setengah jam kemudian dengan rambut berwarna pirang yang ditatanya seperti sanggul kecil atas kepalanya dan kacamata yang membuat penampilannya sama sekali berbeda. Ia tetap terlihat cantik, tetapi penampilannya menjadi terlihat jauh lebih dewasa.     

"Sudah kuduga, kau terlihat sangat berbeda," komentar London. Ia senang L mau makan di luar bersamanya. Ia berharap jika ini berhasil, ke depan gadis itu akan mau keluar lebih sering dengan menggunakan penyamaran, supaya ia tidak merasa kesepian di apartemen.     

Mereka lalu berangkat ke St Laurent dan makan malam romantis di restoran utamanya. Seperti biasa Jan telah memberikan instruksi kepada para staf di sana bahwa Tuan Besar mereka sedang tidak ingin dikenali, sehingga mereka pun memperlakukannya sebagaimana tamu biasa.     

"Selamat datang, kami sudah menyiapkan meja untuk Tuan dan Nona. Silakan ikuti saya," Manajer on-duty menyambut mereka di pintu dan segera membawa mereka ke meja paling privasi di ujung ruangan.     

"Kenapa kita makan di sini?" tanya L setelah mereka duduk. "Ini salah satu restoran termahal di kota ini."     

"Jangan kuatir, aku dapat voucher diskon 50%. Aku memotret restoran ini untuk majalah minggu lalu, jadi mereka memberiku voucher yang lumayan," bisik London sambil tersenyum. Ia membuka-buka menu dan segera menentukan pilihannya.     

"Kau cepat sekali memilih menunya," komentar L yang baru membuka halaman kedua. "Seperti yang biasa makan di sini saja."     

"Ah, tidak juga. Aku kebetulan pernah makan di sini jadi tahu apa yang aku suka."     

"Hmm... begitu ya? Kalau begitu apa rekomendasimu untuk kumakan?" tanya L sambil menatap London.     

"Hmm... untuk ibu hamil, aku bisa menyarankan makanan yang ini, sangat banyak vitamin dan proteinnya. Bagus untuk kandungan." London menunjuk beberapa makanan dan kemudian membantu memesankannya untuk gadis itu.     

"Terima kasih." L menyesap minumannya dan melihat ke sekeliling. "Tempat ini bagus sekali. Aku baru beberapa kali makan di sini. Aku tahu harganya sangat mahal."     

"Yah, aku punya voucher diskon, sayang kalau tidak dipakai.. hehehe..." London hanya mengangkat bahu. "Kau kan mau mencari suami kaya, tentu harus mulai membiasakan diri dengan makanan dan gaya hidup orang kaya."     

L menatap London dan merengut, tidak menjawab.     

Makanan yang mereka pesan lalu tiba dan keduanya makan dalam diam. London beberapa kali tergoda untuk menaruh veritaserum dalam minuman L ketika gadis itu ke toilet, tetapi kemudian ia sadar bahwa ia tidak dapat mengajukan pertanyaan itu sekarang, sebab jika L tidak mau menjawab tetapi bibirnya terpaksa menjawab dengan jujur, gadis itu akan curiga.     

Ia harus mencari cara untuk bisa mendengarkan kejujuran dari mulut L tanpa dicurigai oleh gadis itu. Sekarang belum saatnya.     

"L... aku harus pergi ke Singapura selama dua minggu. Kakakku akan melahirkan dan seisi keluarga akan berkumpul di sana," kata London saat akhirnya hidangan penutup mereka tiba.     

"Oh.. kapan?" tanya L.     

"Secepatnya. Mungkin besok."     

"Tiba-tiba sekali..." L tampak agak murung mendengarnya. "Kau sudah beli tiket?"     

London tidak perlu membeli tiket dan ia bisa pergi kemana pun kapan saja, karena ia memiliki pesawat pribadi. Tetapi L tidak tahu itu.     

"Sudah. Ini sudah direncanakan sejak lama." London menghabiskan hidangan penutupnya lalu membersihkan bibirnya dengan serbet. "Aku ingin membawamu tetapi aku tak tega melihatmu naik pesawat komersial kelas ekonomi, dan seingatku kau tidak mau bertemu keluargaku."     

"Hmm.. kau benar." L mengangkat bahu. "Kalau begitu aku tinggal di sini saja. Aku akan meminta Pammy untuk tinggal bersamaku selama kau tidak ada."     

"Itu ide bagus. Aku juga akan memberimu nomor telepon Lyana, dia temanku. Kalau ada apa-apa kau bisa meminta bantuannya."     

"Baiklah."     

Sebenarnya Jan sudah mengatur agar nanti L diminta pindah ke penthouse, tetapi London belum mau membicarakannya dengan L. Biarlah itu menjadi kejutan setelah ia pergi, pikirnya.     

Mereka berbincang-bincang sebentar setelah selesai makan dan kemudian memutuskan untuk pulang.     

"Kau senang makan di luar seperti tadi?" tanya London dalam perjalanan pulang. L hanya mengangguk dan tidak menjawab. London ikut mengangguk. "Baguslah. Aku senang kalau kau senang. Itu artinya Lily juga senang."     

"Siapa Lily?" tanya L keheranan.     

"Anak kita. Namanya Lily. Aku sudah memutuskan namanya sejak tahu ia perempuan." London tersenyum lebar sambil menatap perut L yang membuncit. "Hallo, Lily..."     

L tampak tertegun. "Kau tidak bisa seenaknya memberinya nama Lily..."     

"Kenapa? Dia anakku. Siapa lagi yang berhak memberinya nama kalau bukan aku?" tanya London keheranan. "Kau tidak mau memeliharanya, jangan bilang kau mau memberinya nama?"     

L menggigit bibirnya dan melengos.     

Mereka tidak saling bicara lagi sampai tiba di apartemen.     

"Elle..." London memegang tangan L saat mereka baru masuk ke dalam rumah mereka.     

"Ada apa?" tanya L sambil menatap London keheranan.     

"Aku besok akan pergi dua minggu. Biarkan aku bersama anakku malam ini... Aku pasti akan sangat merindukannya..." kata London dengan suara pelan. Ia meremas tangan L dan pandangannya turun ke arah perut gadis itu.     

Tepat saat itu perut L bergerak kecil dan membentuk gelombang, seolah sang bayi dalam kandungannya mendengar kata-kata ayahnya dan menyambut dengan sukacita.     

L ikut memandang perutnya dan ia tertegun melihat gerakan perutnya. Akhirnya tanpa sadar ia hanya bisa mengangguk.     

L masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu, meninggalkan London yang terdiam di tempatnya. Sepuluh menit kemudian gadis itu membuka pintunya lalu kembali ke dalam kamar. "Masuklah."     

Perlu waktu beberapa detik bagi London untuk mengerti maksudnya. Seulas senyum merekah di wajah pemuda itu saat ia buru-buru mengganti pakaiannya dengan pakaian rumahan dan menyusul L masuk ke kamarnya.     

L sudah berbaring di tempat tidurnya dan mematikan lampu. London naik ke tempat tidur di sebelah L dan mencium perut gadis itu.     

"Lily beristirahat yang nyaman ya, besok ayah akan pergi selama dua minggu. Kamu jangan nakal di perut Ibu," bisiknya. London lalu berbaring di samping L dan memeluk perutnya dengan perasaan bahagia.     

Ah, seandainya saja mereka bisa terus begini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.