The Alchemists: Cinta Abadi

Tiga setel kemeja



Tiga setel kemeja

1"Jan... menurutmu aku ada tampang seperti penjahat atau tidak?" tanya London di ruangannya sambil memutar dirinya di depan Jan. Asistennya itu mengerutkan kening, tidak mengerti.     

"Apa maksud Tuan?" tanyanya keheranan.     

"Jawab saja pertanyaanku. Kalau orang yang tidak mengenalku melihatku beberapa kali, apakah mereka bisa menduga-duga kalau aku ini terlibat dengan mafia atau penjahat lainnya?"     

Pertanyaan macam apa ini? pikir Jan gemas. Dari sudut mana pun London tidak mungkin terlihat seperti penjahat. Penampilannya sangat rapi dan mengesankan. Dari ujung kepala hingga ujung kaki ia mengenakan pakaian mahal dan edisi terbatas. Hanya yang terbaik, yang pantas untuk seorang laki-laki dari keluarga Schneider.     

London biasanya akan ke penthouse-nya dulu untuk berganti pakaian dari kemeja murah yang dipakainya ketika berangkat dari apartemen, minum kopi dari mesin kopi kesayangannya dan membaca berbagai berita ekonomi, lalu meluncur ke kantor. Pulang dari kantor ia akan mampir kembali ke penthouse, berganti pakaian kembali dan pulang ke apartemen.     

Maka Jan tidak mengerti maksud pertanyaan London hari ini, karena ia melihat bosnya tampil seperti biasa. Ia  tidak merasa ada yang aneh.     

"Apakah ini ada hubungannya dengan Nona L?" Jan balik bertanya. "Menurutku pribadi, Tuan tidak mirip penjahat sama sekali. Hanya orang gila yang..."     

Ia terdiam. Bagaimanapun ia tidak mungkin menyebut gadis yang disukai bosnya, ibu dari calon anak bosnya, sebagai orang gila.     

Akhirnya Jan hanya batuk-batuk kecil dan mengalihkan pembicaraan.     

"Tuan akan datang ke May Festival?" tanyanya. Ia memencet remote di tangannya dan dinding proyektor segera menampilkan video singkat iklan festival tersebut di berbagai media.     

London memperhatikan iklan yang menampilkan berbagai pertunjukan seni dan musik di tiga panggung berbeda di taman kota dekat monumen Tembok Berlin dulu.     

Sejak sepuluh tahun lalu festival ini sudah menjadi acara pertunjukan yang ditunggu-tunggu banyak orang dan diadakan gratis oleh Schneider Group sebagai bentuk sumbangsih grup perusahaan terbesar di Eropa itu kepada negara asalnya.     

London baru dua kali datang ke acara itu, sewaktu diadakan pertama dan kedua kalinya. Ia menikmati pertunjukan itu bersama Rune, adiknya, dan Jan. Umurnya baru 19 tahun saat itu dan Jan serta Rune masih remaja. Mereka berbaur di antara para penonton lainnya. Saat itu ayahnya kembali memimpin Schneider Group setelah kematian Kurt Van Der Ven.     

Ia masih ingat, pada dua festival pertama, Billie Yves menjadi bintang utama konser dan mereka mendapat kesempatan bertemu dengannya di belakang panggung. Saat itu rasanya sangat menyenangkan. Tetapi setelah Bibi Billie menikah dan pensiun rasanya festival ini tidak menarik lagi untuk mereka datangi.     

London menjadi sibuk dengan pelajarannya, Rune dengan penelitiannya, dan Jan juga mulai kuliah dan mempersiapkan diri untuk mengurusi Schneider Group seperti ayahnya dulu. Berarti sudah delapan festival yang ia lewatkan selama ini.     

"Sepertinya menyenangkan," kata London sambil mengangguk. Ia teringat pengalaman indah di masa remajanya saat bersama Jan dan Rune bersenang-senang di festival dan pertama kalinya mereka diam-diam minum minuman beralkohol tanpa sepengetahuan pengawalnya.     

"Aku harus datang sebagai perwakilan Schneider Group," Jan menggeleng dengan ekspresi sedikit menyesal. "Tidak bisa bergabung dengan Tuan. Kecuali..."     

"Kecuali apa?" tanya London.     

"Kecuali Tuan datang bersamaku sebagai pimpinan Schneider Group."     

Kata-kata Jan membuat London tiba-tiba berpikir iseng. L akan tampil di festival itu dan ia belum pernah bertemu London Schneider. Tentu akan menarik kalau ia menggoda L dengan mengirim bunga kepadanya setelah ia tampil dan menulis di kartunya bahwa bunga itu berasal dari London Schneider, pemilik Schneider Group sendiri.     

Ia ingin tahu bagaimana L memperlakukan laki-laki sangat kaya yang terlihat memberikan perhatian kepadanya. Ia tidak akan bertemu gadis  itu dari jarak dekat agar L tidak mengenalinya, tetapi kalau L melihatnya dari jauh tentu ia bisa menggunakan identitas aslinya sebagai London Schneider. Ia dan Jan akan duduk di area VIP, dan tidak bergabung dengan para penonton atau artis pengisi acara.     

"Baiklah. Aku akan datang sebagai pimpinan Schneider Group," kata London kemudian. Senyuman tipis menghiasi wajahnya.     

"Ah, bagus sekali. Orang-orang pasti akan sangat bersemangat kalau dalam festival kali ini anggota keluarga Schneider sendiri akan hadir. Sudah sangat lama tidak ada yang datang ke festival ini. Terakhir lima tahun lalu, itu pun hanya Tuan Terry yang datang." Jan tampak menjadi bersemangat.     

"Yah, kurasa aku sudah terlalu tua untuk datang ke festival dan berdesak-desakan dengan penonton biasa. Aku bergabung di seksi VIP saja," komentar London. Ia tampak berpikir sejenak dan kemudian meraih ponselnya.     

Ia memutar nomor telepon adiknya, Rune.     

"Heii... ada apa?" tanya Rune dari ujung telepon.     

"Kau ada acara minggu depan?" tanya London cepat.     

"Banyak. Aku kan juga sibuk sepertimu," jawab Rune. "Tapi aku memang butuh liburan."     

"Apa yang sedang kau kerjakan sekarang?"     

"Masih mesin penerjemah tangisan bayi. Kenapa?"     

"Oh..." London ingat ia hendak meminta Rune membuat mesin penerjemah tangisan wanita. "Itu sudah berhasil?"     

"Hampir..  aku hanya perlu bayi untuk mengujinya sebelum aku membuat prototype yang lebih bagus."     

Bayiku bisa menjadi relawan, pikir London.      

Ah, tidak. Ia tidak boleh membiarkan anaknya menjadi korban percobaan mesin-mesin Rune dan Paman Aldebar yang belum terbukti kegunaannya. Ia tidak dapat mengambil risiko itu. Kalau sampai anaknya tahu, di masa depan nanti anak itu akan menuduhnya tidak menyayanginya.     

"Kau masih ingat Festival Menyambut Musim Panas sepuluh tahun lalu? Kau, aku dan Jan datang untuk menonton konser Bibi Billie dan kita diam-diam minum alcohol pertama kalinya?" tanya London kemudian.     

Rune tertawa di ujung sana. "Hahaha... iya, aku masih ingat. Kau muntah waktu itu... Eww..."     

"Eh, kurang ajar. Aku tidak ingin kau membahas kejadian memalukan itu sama sekali. Ingat, kau sudah bersumpah." London memijit keningnya. "Aku ingin mengundangmu datang ke Festival Bulan Mei minggu depan. Sekalian ada hal yang ingin kubicarakan denganmu."     

"Tentu saja, aku akan datang. Itu saja?"     

"Iya, itu saja. Aku ingin bicara hal penting denganmu. Sampai jumpa minggu depan."     

"Sampai jumpa, Tuan Rune," seru Jan sebelum London memutuskan panggilan. Ia tampak penuh semangat. Ia juga ingin bertemu Rune yang akhir-akhir ini sibuk sekali dengan berbagai penelitiannya. Dan fakta bahwa anggota keluarga Schneider akan menghadiri festival mendatang, tentu akan membuatnya menjadi sangat menarik.     

Jan akan segera memberi tahu sekretarisnya untuk mengupdate pemberitaan festival.     

"Hmm.. sudah jam 5 sore. Aku harus pulang." London lalu bangkit dan membereskan tasnya. "Kau sudah membeli dua unit di sebelah apartemenku, kan? Marc dan Dave sudah pindah ke sana?"     

Jan mengangguk. "Seperti perintah Tuan, mereka diam di sana mengawasi Nona L. Mobilnya juga sudah diganti."     

"Hmm... bagus. Kalau begitu aku akan mampir ke penthouse dan mandi lalu pulang ke apartemen. Oh ya, tolong minta chef di restoran hotel St. Laurent untuk menyiapkan makanan untuk kubawa. Aku sedang tidak ingin memasak." London lalu bergegas keluar dari ruangannya.     

"Tuan memasak?" gumam Jan keheranan. Namun ia melakukan semua yang diperintahkan bosnya tanpa protes.     

London berangkat ke penthouse bersama Leon dan Dean, dua pengawalnya yang lain, karena Marc dan Dave tinggal di apartemen untuk menjaga L.     

Setelah mandi dan berganti pakaian dengan baju sederhananya ia mampir ke restoran hotel dan mengambil makanan untuk dibawa pulang. Para staf hotel berusaha menahan diri, tidak bertanya mengapa tuan besar mereka datang dengan penampilan seperti orang kebanyakan dan meminta makanan disiapkan untuk take away, padahal mereka tahu ia tinggal di penthouse di lantai paling atas hotel mereka.     

***     

TOK TOK     

London mengetuk pintu apartemen dua kali, seperti kebiasaannya, lalu masuk dengan passkey. Ia menaruh bunga di samping L yang sedang sibuk meneliti sebuah buku catatan, seperti menghapalkan sesuatu.     

"Ini bunga untukmu. Dan aku membawa makanan istimewa. Tadi ada acara penting di tempat yang kudatangi dan di sana banyak makanan. Aku diizinkan membungkus sisanya untuk dibawa pulang." London mengangkat bungkusan makanan di tangan kanannya. "Sayang, kan, kalau makan enak begini dibuang-buang..."     

L menerima bunga dari London dengan ragu-ragu. Ia tidak mengira akan diberikan bunga setiap hari. Wanita mana yang tidak suka menerima bunga? London tahu L juga tidak terkecuali.     

"Yang kemarin masih bagus, kok," komentar L sambil menunjuk bunga-bunga di vas yang ditaruhnya di ruang tamu. "Kenapa membelikanku bunga lagi?"     

"Iya, aku tahu. Tapi bunga ini juga gratis, kok. Sisa dari acara yang aku datangi," London mengangkat bahu. "Sayang kalau dibuang."     

Ia tidak peduli bila L memandangnya rendah karena seolah membawakan sisa-sisa barang kepadanya. Tetapi ia harus mencari alasan mengapa ia bisa membelikan barang-barang seperti bunga dan makanan mewah untuk gadis itu hampir setiap hari.     

Namun, herannya, L ternyata sama sekali tidak tampak tersinggung atau mengejeknya karena membawakan barang 'sisa'. Gadis itu hanya mengangguk dan menaruh bunga baru ini di vas yang lain. Ia lalu mengatur makanan yang dibawa London di meja makan dan mereka segera duduk untuk makan malam bersama.     

"Bagaimana harimu?" tanya L sambil menuangkan air putih untuk dirinya sendiri dan London.     

"Hmm... sibuk," jawab London. "Kau?"     

"Aku juga sibuk. Aku harus berlatih untuk tampil di festival sebaik mungkin. Besok aku akan ke studio dengan Pammy dan latihan bersama band."     

"Oh. Oke." London mengangguk-angguk. "Bagaimana dengan daftar yang kuberikan kemarin? Apa-apa yang kau sukai dan apa-apa yang tidak kau sukai? Kau sudah selesai menulisnya?"     

L mengangguk pelan. "Sudah. Tapi..."     

"Tapi apa?"     

"Tapi kurasa kau tidak perlu melakukannya... Ini terlalu berlebihan. Aku akan baik-baik saja selama lima bulan ini. Aku bukan keramik yang gampang pecah dan perlu penanganan khusus," kata L sambil mengerucutkan bibirnya.     

"Itu biarlah aku yang memutuskan," jawab London acuh.     

L menatap London dengan pandangan rumit. "Kau sudah menghabiskan cukup banyak uang untukku. Aku tahu kau tidak punya banyak..."     

"Memangnya kenapa?"  tanya London, balas menatap L yang tampak ragu-ragu. "Kau tahu dari mana aku tidak punya banyak uang? Dan apa urusannya denganmu?"     

L mengerutkan keningnya. "Kalau kau mau memelihara anak ini, kau harus mulai menabung. Jangan menghabiskan uangmu untuk hal-hal yang tidak perlu. Membesarkan anak itu sangat mahal, kau tahu. Sekarang saja aku bisa melihat betapa miskinnya kau ini sebenarnya. Tadi aku hendak mencuci pakaian kita di mesin cuci, dan aku lihat kau ternyata hanya punya tiga setel pakaian. Kau sadar tidak, sih? Selama ini kau hanya memakai tiga kemeja yang itu-itu saja...! Bagaimana aku bisa tega?"     

"Eh..?" London baru menyadari bahwa ucapan L benar. Ia menoleh ke arah kemeja sederhananya. Ia memang hanya punya tiga setel.     

Sebagian besar pakaian aslinya ia sembunyikan di penthouse. Semuanya bermerek mahal dalam edisi terbatas, dan jumlahnya sangat banyak, kadang malah ia hanya memakainya satu kali saja sebelum menghilang di balik tumpukan pakaian atau ia buang. Deretan pakaian mewahnya cukup mengisi satu walk-in closet besar. Sedangkan untuk pakaian sederhana, memang ia hanya punya tiga setel.     

London lalu memegang tangan L dengan ekspresi kurang senang. "Kenapa kau mesti mencuci segala, sih? Aku kan sudah bilang ada pelayan yang akan bersih-bersih 3x seminggu. Biarkan mereka melakukan pekerjaannya. Aku tidak mau kau capek. Nanti anak kita ikut capek..."     

L tampak tercengang mendengar kata-kata London barusan.     

Bukannya tadi ia sedang membahas bahwa London seharusnya menabung uangnya mengingat ia begitu miskin dan hanya punya tiga kemeja? Kenapa sekarang malah memarahinya karena mencuci?     

Orang aneh, pikir L, sambil cemberut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.