The Alchemists: Cinta Abadi

Perjanjian London - L



Perjanjian London - L

1Ketika Carl memberitahunya apa yang terjadi, London merasa sangat terkejut dan tidak bisa tidur memikirkan hal ini semalaman. Umurnya masih 27 tahun dan di antara kaumnya, ia masih sangat muda. Tetapi kini tiba-tiba saja ia akan menjadi seorang ayah.     

Ia bahkan akan menjadi seorang ayah tunggal, karena ibu sang anak tidak berminat untuk merawat anak itu bersamanya.     

Hal ini membuat dadanya terasa sangat sesak.     

Setelah berpikir lama, ia akhirnya mengambil keputusan untuk bertanggung jawab sejauh yang ia bisa. Segala sesuatu yang ada dalam kuasanya akan ia upayakan yang terbaik bagi anaknya, tetapi hal-hal yang di luar kuasanya; seperti sikap L dan keputusan gadis itu untuk meninggalkan bayinya... ia terpaksa hanya bisa memasrahkan pada nasib.     

Ia akan mengadakan perjanjian dengan L untuk mengatur kehidupan mereka bersama lima bulan ke depan, hanya sampai anak itu lahir. Ia akan memastikan anaknya mendapatkan segala yang terbaik, yang pantas untuk seorang keturunan keluarga Schneider.     

Sayangnya, ia terlanjur menyamar sebagai orang miskin, maka ia terpaksa hanya bisa mengajak L dan calon anaknya tinggal di tempat sederhana seperti ini. L akan mencurigainya jika London membawanya ke penthouse. Ia tak dapat memikirkan alasan yang tepat untuk menjelaskan kenapa ia bisa tinggal di tempat tinggal yang demikian mewah.     

Ia juga tidak ingin L tiba-tiba bersedia menikah dengannya hanya karena hartanya.     

Tidak bisa. Walaupun ia telah jatuh cinta kepada gadis menyebalkan itu, London harus tetap menggunakan akal sehatnya. L jelas-jelas telah mencampakkannya. Tidak ada jaminan kalaupun nanti gadis itu menikah dengannya ia tidak akan meninggalkan London dan anak mereka setelah ia menguras hartanya.     

Cis...!     

Maka L tidak boleh tahu identitas London yang sebenarnya.     

Karena itulah London harus membiasakan diri untuk tinggal di tempat sederhana ini selama beberapa bulan, hanya sampai anaknya lahir. Ia sudah mengatur agar dokter datang memeriksa kondisi kesehatan L seminggu sekali dan pelayan datang untuk membantu 3x seminggu. Ia belum berani menggunakan pelayan robot karena harganya yang mahal akan membuat L curiga.     

Ia akan mencari alasan nanti bagaimana ia mendapat bonus dan lain-lain sebelum membeli berbagai peralatan mahal untuk apartemennya.     

Setelah melihat kopernya ditaruh di kamar, L lalu masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu. Ia tidak mau keluar sama sekali hingga sore hari hingga akhirnya London menjadi  tidak sabar dan mengetuk pintunya agar gadis itu keluar.     

"Kalau kau tidak keluar aku akan menelepon Jan Van Der Ven sekarang, aku punya nomor teleponnya," ancam London.     

Pintu segera terbuka dan keluarlah L dengan wajah cemberut.     

"Kenapa kau mau aku keluar?" tanya L dengan ketus.     

London mengarahkan dagunya ke ruang makan. "Kau belum makan seharian. Aku sudah siapkan makanan."     

"Aku tidak lapar." cetus L sambil menyilangkan tangan ke dada.     

London menggeleng-geleng dan mengambil sebuah dokumen dari laci dan menyerahkannya kepada gadis itu.     

"Aku tidak mau terus-menerus harus mengancammu agar kau mau menurut. Sebaiknya kita buat perjanjian. Kalau kau tidak melanggar semua ketentuan yang kubuat, kau bisa pergi setelah lima bulan dan memulai hidup baru."     

L menerima dokumen itu dan membaca isinya. Ia mengerutkan kening saat meneliti poin demi poin yang tertulis di sana. Semuanya masuk akal, tetapi ia terbiasa hidup sendiri dan tidak suka diatur, maka secara insting ia ingin membantah. Tetapi melihat wajah London yang tegas, ia akhirnya mengurungkan niatnya.     

"Di mana aku harus tanda tangan?" tanya gadis itu dengan ketus. London menyerahkan sebuah tablet dan stylus kepadanya.     

"Itu kucetak biar kau gampang membacanya, tetapi perjanjiannya harus ditandatangani secara elektronik. Tanda-tangani di sini," katanya.     

L mengangguk. Ia mengambil stylus dan mencoretkan namanya di bagian paling bawah.     

Ada 20 ketentuan dalam perjanjian mereka. London tampaknya berpengalaman dalam hal kontrak dan perjanjian, pikir L. Semuanya tertulis secara detail dan masuk akal. Semua hak dan kewajiban kedua belah pihak tertulis dengan lengkap.     

Di antara poin-poinnya adalah L harus selalu memberi tahu keberadaannya kepada London. Ia bebas mau ke mana saja, tetapi ia tidak boleh pergi tanpa memberi tahu London tentang rencana dan kegiatannya. L juga harus makan teratur dan menjaga kesehatannya. Dokter akan didatangkan seminggu sekali. Seorang asisten akan membantu membersihkan rumah 3x seminggu.      

L boleh memilih akan melahirkan secara alami atau caesar, semuanya akan ditanggung oleh London, dan kerahasiaannya akan dijamin. Poin 20 adalah pilihan ganda.     

Bila L memilih untuk menyerahkan anaknya, maka ia tidak boleh mencari dan mengungkit-ungkit tentang anak itu sampai kapan pun. Bila L memilih untuk mengurus anaknya, maka akan akan dibuat perjanjian baru untuk mengatur hak asuh di antara ayah dan ibu biologis sang anak.     

"Kenapa poin 20 ini berupa pilihan ganda? Kau tahu aku tidak menginginkan anak ini," komentar L. Ia baru melihat poin tersebut setelah mencoretkan namanya.     

London menatapnya dengan pandangan rumit. "Kau boleh memilih A atau B. Jangan terburu-buru memutuskan."     

L tertegun mendengarnya. Ia melengos seolah tidak peduli dengan poin 20. "Aku tidak akan berubah pikiran."     

Ia lalu menyerahkan tablet kembali kepada London, tetapi pemuda itu melihat L belum mencentang pilihannya untuk poin 20.      

"Baiklah, karena kita sudah membuat perjanjian, kau harus makan sekarang. Aku sudah menyiapkan semuanya. Aku pergi dulu." London menunjuk meja makan lalu berjalan menuju pintu. "Tidak usah menungguku, aku akan pulang larut malam."     

L hanya memandang London yang pergi keluar tanpa mengucapkan apa-apa. Ia mengelus perutnya pelan-pelan dan setetes air mata meluncur turun ke pipinya.     

***     

London berjalan menuju lift. Dadanya masih terasa sesak oleh kemarahan. L masih saja keras kepala dengan tadi mengatakan bahwa ia benar-benar tidak menginginkan anaknya. London sangat kesal. Ia belum pernah bertemu orang yang demikian menyebalkan seumur hidupnya. Ugh... Ia tidak mengerti kenapa ia bisa jatuh cinta kepada wanita seperti itu.     

Sambil menunggu lift membuka ia mengeluarkan ponselnya dan memeriksa tampilan kamera di ruang makan untuk memastikan L benar-benar makan atau tidak.     

Ia sengaja memasang kamera di ruang makan dan ruang tamu dengan tujuan untuk memeriksa keadaan L sewaktu-waktu. Tidak ada kamera di ruang pribadi gadis itu karena London bukan orang jahat yang ingin melanggar area pribadi seseorang.     

Ugh... benar saja. Gadis itu tidak ada di ruang makan. Dengan kesal ia memeriksa tampilan kamera di ruang tamu.     

Ding!     

Pintu lift terbuka tetapi London tidak melangkah masuk. Pandangannya terpaku pada pemandangan di ruang tamu. Ia melihat L berdiri diam di ruang tamu, masih di tempat semula ketika ia tinggalkan. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua  tangan dan tampak menangis terisak-isak, sedih sekali.     

Ia buru-buru berjalan kembali ke apartemennya.     

TOK TOK     

Ia mengetuk dua kali sebelum masuk dengan memencet passkey. Walaupun apartemen ini adalah 'rumahnya' sendiri, tetapi karena sekarang ia tinggal dengan orang lain, London bersikap sopan dengan mengetuk dulu sebelum masuk.     

"Aku ketinggalan sesuatu," katanya beralasan. Ia mengangkat wajah dan melihat L menatapnya dengan pandangan judes seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda ia sedang menangis.     

Kau ini pandai berakting, ya... pikir London. Jelas-jelas tadi ia melihat L menangis sedih sekali. Tetapi hanya dalam hitungan beberapa detik saat mendengar ketukan di pintu, gadis itu telah membersihkan wajahnya dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.     

London masuk ke kamarnya dan mengambil sesuatu lalu kembali bersiap untuk pergi.     

"Kenapa belum makan?" Ia mengangkat ponselnya dan memencet nomor telepon Jan Van Der Ven, lalu menunjukkannya ke hadapan L. "Aku sudah bilang aku punya nomor telepon Jan Van Der Ven. Aku tinggal meneleponnya dan besok kau bisa mengucapkan selamat tinggal pada kariermu."     

L menghentakkan kakinya dan segera melangkah ke ruang makan dan mengambil makanan lalu menyuapkannya dengan ekspresi tidak rela.     

London hanya geleng-geleng kepala dan keluar dari apartemen. Sungguh gadis yang keras hati, pikirnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.