The Alchemists: Cinta Abadi

Gosip



Gosip

0London segera bertemu Direktur Marketing dan berbicang-bincang sebentar tentang pengalamannya. Karena Jan sendiri yang secara pribadi menitipkannya ke Luxe, ia diperlakukan dengan baik oleh Emil, sang direktur marketing.     

"Kau sepertinya kenal baik dengan Direktur Jan," komentar Emil saat menerima London di ruangannya. "Dia memintaku memperlakukanmu dengan baik."     

London hanya bisa tersenyum tipis mendengar perkataan Emil yang blak-blakan. "Yah, kami teman sewaktu kecil. Ia banyak membantuku."     

"Hm.. begitu ya? Baiklah. Kebetulan hari ini kita ada pemotretan mendadak untuk seorang artis  baru yang juga direkomendasikan Direktur Jan. Fotografer kami, Nick, membutuhkan bantuan dan kami bisa segera mempekerjakanmu."     

"Terima kasih." London tersenyum mendengar penjelasan Emil.     

Sang direktur marketing lalu memperhatikan kamera yang menggantung di leher London dan menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kami menyediakan kamera yang lebih bagus. Kau bisa ikut Eddie ke ruang kamera dan memillih yang bagus. Kita akan mengadakan tiga sesi. Dua indoor dan satu outdoor. Nick akan mengambil sesi indoor dan kau bisa membantunya untuk melihat gaya yang ia sukai, nanti untuk sesi outdoor, kau harus melakukannya sendiri, karena Nick sedang sakit dan untuk sementara ia tidak mau mengambil sesi-sesi outdoor."     

"Aku mengerti," London mengangguk. Dalam hati ia bersyukur karena sejak kecil ia memang telah belajar fotografi dengan serius sehingga kemampuannya tidak akan kalah dari fotografer profesional. Kalau karya jepretannya jelek, tentu penyamarannya bisa terbongkar dengan mudah.     

Setelah membahas beberapa detail lainnya, London segera minta diri dan mengikuti Eddie yang akan menjadi supervisornya di majalah Luxe. Pria itu membawanya ke ruang khusus dan di sana ia dipersilkan memilih kamera yang ia sukai, yang jauh lebih bagus dan mahal dari kamera yang ia bawa.     

"Aku tahu banyak fotografer sombong akan bilang bahwa kemampuan dan bakat itu jauh lebih penting daripada alat yang mahal, tapi sebenarnya alat yang bagus akan membuat bakat yang sudah ada bisa semakin bersinar." Eddie mengembangkan tangannya dan dengan bangga menunjukkan semua kamera mahal yang ada di rak. "Aku yakin kau belum pernah menyentuh kamera semahal yang satu ini."     

London hanya memasang wajah datar dan menggeleng, "Aku sering melihatnyanya sih..."     

"Di iklan dan majalah kan? Tapi belum pernah memegang langsung? Nah, hari ini impianmu terwujud. Kau boleh menyentuh mereka dan pilih yang akan kau pakai untuk pemotretan siang ini." kata Eddie dengan bangga.     

London akhirnya mengangguk. Ia tak mau berdebat dengan Eddie hanya untuk menunjukkan bahwa ia tidak norak dikelilingi kamera mahal karena di rumahnya ia selalu memiliki peralatan terbaru dan termahal, bahkan sebelum produk-produk itu diluncurkan.     

Dengan santai ia memilih satu kamera mahal yang sama seperti koleksinya di rumah dan biasa ia pakai untuk memfoto keponakan-keponakannya yang menggemaskan, Altair dan Vega. "Aku ambil yang ini dan tiga lensa yang itu."     

"Seleramu bagus," puji Eddie. Ia menyipitkan matanya dan memandang London baik-baik. "Kau serius tidak mau menyentuh kamera-kamera yang lain? Kau tidak tertarik dengan yang lain?"     

Dalam hati Eddie merasa sedikit kecewa. Selama ini, fotografer baru yang dibawanya ke ruang kamera akan berlaku seperti orang yang baru jatuh cinta pada pandangan pertama dan bersikap agak norak. Koleksi kamera dan lensa mereka memang sangat menggiurkan bagi kebanyakan fotografer, tetapi orang baru ini entah kenapa sepertinya cuek saja.     

"Aku tidak berani pegang-pegang kamera yang lain, aku takut merusakkannya," kata London kemudian, untuk mengenyahkan kecurigaan Eddie.     

Ia tahu aktingnya sebagai orang miskin masih perlu banyak latihan. Ia memang mengenakan pakaian murah dan sederhana, tetapi sikapnya masih terlalu seperti orang kaya. Karena bukan hanya pakaian yang membuat seseorang dapat terlihat miskin, tetapi juga sikapnya.     

London yang selama ini tumbuh besar dalam lingkungan keluarga super duper kaya terlanjur memiliki pembawaan yang sangat elegan dan sangat percaya diri, karena mereka memiliki segalanya dan semua orang menghormati mereka.     

London tidak tahu bagaimana rasanya membina karier dari bawah dan harus menjalin hubungan baik dengan orang-orang agar dapat diterima di lingkungan baru. Semua orang yang ditemuinya secara otomatis akan bersikap sangat hormat kepadanya dan ia juga langsung masuk ke grup perusahaan ayahnya sebagai pimpinan, sehingga ia terbiasa memerintah dan mengatur, bukan sebaliknya.     

"Hmm... aku mengerti. Kalau begitu kau bisa langsung ke studio dan berkenalan dengan Nick yang akan mengambil dua sesi indoor hari ini. Ia akan memberimu banyak petunjuk," kata Eddie kemudian.     

"Siap!" London keluar dari ruang kamera dan berjalan menuju studio yang ditunjuk Eddie.     

Entah kenapa, sepertinya takdir sangat senang menggodanya, dalam perjalanan ia kembali berpapasan dengan L yang baru keluar dari ruang meeting dan hendak ke ruang rias.     

Gadis itu memutar bola mata saat melihat London dan segera membuang muka.     

"Ish..." London hanya bisa mengomel dalam hati. L sama sekali tidak menganggapnya ada. Padahal selama ini, kemana pun London pergi, ia biasa dikagumi gadis-gadis cantik yang selalu berusaha menarik perhatiannya.     

Ia sama sekali tidak jelek. Malah bisa dibilang London memiliki wajah sangat tampan, bahkan jauh lebih tampan dari model-model pria yang berlalu lalang di kantor Luxe hari ini. Hanya pakaiannya saja yang kuno dan murah serta kaca matanya yang kebesaran membuatnya terlihat udik.     

Ah, mungkin ini rasanya tidak dianggap karena tidak kaya, pikir London akhirnya.     

Sekarang ia curiga, jangan-jangan gadis-gadis yang selama ini berusaha menarik perhatiannya itu hanya bersikap demikian karena mereka tahu ia kaya.     

Jangan-jangan kalau mereka mengira ia miskin, mereka juga tidak akan mempedulikannya, sama seperti yang dilakukan L sekarang...     

Mungkin memang ketampanan fisik dan sopan-santun yang baik sudah tidak ada harganya bagi para wanita modern? Hanya harta dan kekuasaan saja yang mereka pedulikan...     

"Heii.. apa yang sedang kau pikirkan?" Seorang pria setengah baya berpenampilan nyentrik menepuk punggungnya dan setengah menyeretnya ke dalam studio. "Kau asistenku untuk siang ini? Aku Nick."     

London segera tergugah dari lamunannya dan mengangguk. "Hallo, Nick. Namaku Killian. Aku diminta Emil membantumu hari ini."     

"Untuk artis baru itu ya?" Nick meletakkan tasnya di laci lalu mulai mengatur beberapa lampu dan memberi tanda agar London membantunya menyetel peralatan.     

"Uhm... katanya begitu," kata London mengiyakan. Ia buru-buru menaruh tas dan kameranya dan mengikuti tindakan Nick, memasang berbagai peralatan yang akan digunakan untuk sesi pemotretan sebentar lagi.     

"Jarang sekali ada jadwal mendadak begini. Aku ingin tahu secantik apa artis baru yang tidur dengan bos kita ini," komentar Nick dengan suara agak kesal.     

"Ke.. kenapa kau bilang begitu?" Tiba-tiba saja dada London dipenuhi kemarahan. Seenaknya saja Nick ini menuduh L tidur dengan bos untuk mendapatkan sesi pemotretan demikian cepat. "Jangan memfitnah orang yang tidak kau kenal."     

"Lho, memangnya kau kenal dengan dia sehingga kau membelanya?" tanya Nick heran. "Aku hanya bicara kenyataan. Bos kita dulu punya reputasi playboy. Setelah perceraiannya yang ketiga kali, dia baru mulai kelihatan kapok bermain-main dengan perempuan. Sekarang tiba-tiba saja ada artis baru yang begitu dikontrak langsung diberi berbagai promosi... tentu saja ini akan menimbulkan kecurigaan bahwa dia tidur dengan bos."     

London seketika menghentikan pekerjaannya. Ia tidak mengira Nick akan memiliki dugaan sehina itu terhadap L. Brilliant Mind Media sebelum dibeli Schneider Group memang dimiliki seorang bandot di dunia hiburan dan ia memiliki reputasi yang tidak terlalu positif.     

Pembelian perusahaan media ini juga dilakukan secara tiba-tiba dan belum diumumkan ke publik, bahkan para karyawannya juga belum tahu kalau sekarang perusahaan mereka berganti pemilik, sehingga mereka tentu menduga semua fasilitas yang dinikmati L sekarang adalah karena hubungannya dengan si bandot tua pemilik BMM sebelumnya.     

Tadinya London sengaja meminta Jan merahasiakan penggantian pemilik ini agar tidak menimbulkan kecurigaan, tetapi akhirnya malah berdampak negatif pada reputasi L. Ia sama sekali tidak mengira akan jadi seperti ini.     

"Menurutmu L memiliki hubungan dengan bos kita?" tanya London kepada Nick berusaha menegaskan apa yang barusan didengarnya. "Apakah orang-orang lain akan berpikir serupa?"     

Nick mengangkat bahu. "Tentu saja. Semua ini terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Aku dengar gadis itu memang cantik sekali dan masih sangat muda, bahkan belum 20 tahun. Bos kita terkenal sebagai penggemar daun muda seperti dia."     

"Aku pernah mendengarnya menyanyi, suaranya bagus sekali. Kalau kau dengar sendiri, kau akan merasa seperti dihipnotis," London masih berusaha membela L.     

"Ck ck ck... kau ini naif ya?" cetus Nick. "Aku tahu kau berharap gadis semuda itu masih polos dan punya citra positif, tetapi aku beri tahu saja, semua orang di dunia entertainment harus melakukan apa saja agar bisa terkenal. Memang begitu adanya."     

Brengsek, umpat London dalam hati. L belum mendengar gosip tentangnya ini. Ia pasti masih merasa senang karena tiba-tiba manajernya memberi tahu bahwa ia mendapatkan kontrak eksklusif dari perusahaan entertainment terbesar di negeri ini karena pemiliknya sangat terkesan melihat penampilannya di pesta Stephan.      

L tentu mengira semua ini benar-benar karena bakatnya. Bila ia sampai mendengar orang-orang menggosipkannya tidur dengan pemilik Brilliant Mind, London bisa membayangkan gadis itu akan merasa sakit hati.     

Sial, aku harus menyuruh Jan mengumumkan pembelian BMM agar orang-orang tidak salah paham lagi, pikir London.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.