The Alchemists: Cinta Abadi

Cemburu



Cemburu

3"Hmm.. rumah kalian bagus juga," puji Caspar saat mereka sudah tiba di dalam. Ia menunjuk grand piano Stenway di ruang tamu. "Hmm... aku jadi ingat saat di Prancis dulu dan mengundang Chopin untuk minum teh. Kau tahu Opus 31? Dia menciptakannya saat masih di Paris dan aku adalah salah satu orang pertama yang mendengarkannya. Anak itu sangat berbakat."     

"Chopin? Maksud Tuan, Frederic Chopin? Sang maestro piano Chopin yang itu?" tanya L dengan ekspresi sangat terkejut. Ia masih tidak biasa mendengar Caspar bicara tentang orang-orang besar di masa lalu seolah mereka adalah tetangga sebelah rumahnya.     

"Benar, Chopin yang itu. Sebelum dia pacaran dengan George Sand* dan pindah ke Marseille, aku sering mengundangnya untuk bermain piano di pesta yang kuadakan." Caspar mengangkat bahu. "Dia sangat berbakat. Sayang sekali anak itu umurnya tidak panjang. Kudengar dia meninggal karena TBC di usia 39 tahun."     

L mengangguk. "Itu benar sekali. Wah.. aku tidak mengira Tuan pernah bertemu dengan musisi legendaris seperti Chopin."     

Caspar hanya tersenyum ringan. "Yah.. itu salah satu kelebihan dari orang yang sudah hidup berabad-abad. Satu hal yang kusesalkan adalah aku tidak pernah bertemu Mozart semasa hidupnya. Waktu masih hidup ia tidak mendapatkan apresiasi yang seharusnya dan hidupnya sangat miskin. Ia baru dihargai orang-orang setelah ia meninggal. Sayang sekali. Umurnya saat itu baru 35 tahun. Ia meninggal dengan dililit utang."     

"Yah, aku juga sangat menyayangkan orang yang demikian berbakat tidak mendapat kesempatan untuk menikmati jerih payahnya." L mengangguk membenarkan. "Aku sangat suka membaca riwayat bahwa Mozart itu sangat berbakat. Waktu umurnya 14 tahun ia berkunjung ke Vatikan dan mendengarkan komposisi musik Miserere karya Gregorio Allegri yang selama berabad-abad dirahasiakan oleh Vatikan. Tetapi hanya dengan sekali dengar saja, Mozart bisa menghapal semua nadanya dengan tepat dan menuliskan ulang komposisinya tanpa salah sama sekali."     

Caspar tertawa mendengarnya. "Yah, itu sebenarnya hanya legenda yang belum pernah dibuktikan kebenarannya, tapi aku tidak heran kalau hal itu benar. Mozart membuat komposisi musik pertamanya pada usia 5 tahun."     

Saat Caspar dan L saling bertukar cerita tentang musik klasik dan nama-nama komposer legendaris yang mereka sukai, London dan Rune hanya bisa memandang keduanya dengan tercengang.     

"Sshh.. kau kan pernah belajar piano juga waktu masih kecil, kenapa kau tidak pamer kemampuanmu bermain piano untuk membuat L terkesan? Lihat, dari caranya memandang Papa, L sepertinya tergila-gila kepada ayah kita," bisik Rune dengan jahil.     

"Diam kau!" cetus London sewot.     

Ia tahu ayahnya adalah pria yang sangat keren. Bahkan ia sendiri sangat mengagumi ayahnya, tetapi rasanya kini ia tidak rela melihat gadis yang dicintainya memperhatikan ayahnya dengan pandangan setengah memuja begitu.     

"Ahem... ayahku memang kenal sangat banyak orang," kata London sambil menggandeng pinggang L di depan ayahnya. "Ia juga dulu terkenal sangat playboy. Kalau ia tidak pernah bertemu ibuku, aku tidak tahu... mungkin sampai sekarang ia masih berganti kekasih sebulan sekali."     

Caspar yang mengerti maksud anaknya hanya tertawa dan balas menggandeng pinggang istrinya sendiri.     

"Yah, London benar. Untung istriku orangnya sangat pengertian dan mau menerimaku apa adanya. Kau, Nona L, sangat beruntung, karena anakku ini tidak punya pengalaman dengan wanita. Kau adalah cinta pertamanya. Dia akan memperlakukanmu dengan baik."     

London batuk-batuk mendengar ucapan Caspar. Ia tidak  mengira ayahnya akan memujinya seperti itu. Ah, ayahnya memang yang terbaik!     

"Baiklah... nanti kalau L berkenan, kita bisa mendengarnya bermain piano dan menyanyi untuk kita. Sekarang siapa yang mau menjenguk Lily?" tanyanya setelah berhasil meredakan rasa malunya karena tadi dipuji ayahnya.     

"Mari, Mama ingin sekali melihat Lily." Finland melepaskan diri dari Caspar dan menggandeng L. "Ayo, Sayang, tunjukkan di mana ruangan Lily."     

L mengangguk. Ia menaruh kotak berisi kue di meja dan mengajak Finland ke ruang Lily dirawat. Dengan hati gembira, mereka berlima masuk ke dalam ruang NICU dan berhati-hati agar tidak membuat keributan, mereka berdiri di sekeliling inkubator Lily untuk mengagumi bayi itu.     

"Hmm... dia sedang tidur. Kalau melihat kondisinya, Lily sudah seperti bayi normal. Tubuhnya memang masih kecil tetapi semuanya terlihat berkembang dengan baik dan sehat." Caspar mengambil catatan medis terbaru Lily dan mengamatinya. "Minggu depan kalian mungkin sudah bisa menggendongnya."     

"Ya, Dokter Muller juga bilang begitu. Tuan tahu dari mana?" tanya L keheranan.     

"Ayahku ini juga seorang dokter," kata London menjelaskan. "Ia dulu seorang dokter bedah yang sangat terkenal. Ia dan Paman Lauriel juga ada di rumah sakit saat kau sedang dirawat ketika melahirkan Lily."     

"Oh, benarkah? Hebat sekali! Wahh.. aku tidak tahu keluarga Schneider ternyata sangat mengesankan. Tadinya aku mengira kalian hanya bergelut di bidang bisnis." L menatap mereka semua dengan kekaguman yang nyata.     

"Adikku malah tidak tertarik dengan bisnis sama sekali. Hatinya tertambat pada ilmu pengetahuan." London menoleh ke arah Rune. "Kau bawa mesin penerjemah suara tangisan bayi?"     

Rune mengangguk dan mengambil sebuah kotak kecil dari sakunya. "Ini mirip seperti monitor bayi, tetapi terhubung langsung ke serverku. Di sana ada berbagai prediksi arti tangisan bayi. Nanti arti tangisannya akan otomatis terkirim ke aplikasi yang diinstal di ponsel orang tua sang bayi. Kalian bisa tahu apakah bayi kalian lapar, marah, sedih, dan lain sebagainya. Kalian silakan coba dan beri tahu aku hasilnya."     

"Wahh.. keren sekali!" seru L. Ia menerima mesin kecil itu dengan penuh terima kasih. "Ini sangat berguna. Kau hebat!"     

"Ssshh.. jangan memujinya dulu. Belum tentu mesin ini bekerja dengan baik," kata London mengingatkan. Ia tidak mau L terlalu berharap banyak dan nanti kecewa. "Rune sudah terkenal di keluarga kami. Dia dan Paman Aldebar sama-sama sering membuat mesin yang tidak jelas kegunaannya, dan 9 dari sepuluh mesinnya biasanya tidak bekerja."     

L menatap London sambil melipat tangannya di dada. "Kau ini kenapa sih? Dari tadi ada saja kekurangan ayahmu atau saudaramu yang kausebar-sebarkan. Bukan begitu seharusnya sikapmu sebagai anak dan saudara yang baik. Kalau aku punya ayah atau adik, aku akan memuji mereka setinggi langit di depan orang lain. Kau tidak tahu betapa beruntungnya kau masih memiliki keluarga seperti mereka."     

Finland dan Caspar hanya tersenyum melihat tingkah London yang terkesima dimarahi terus-menerus oleh L. Tetapi dalam hal ini mereka setuju dengan L. Seharusnya London tidak menjatuhkan para pria di keluarganya setiap kali L memuji mereka.     

"Aku tahu apa yang sedang dilakukan anak itu," bisik Caspar ke telinga istrinya. "Dia tidak ingin gadis itu menyukai laki-laki lain di keluarga kita."     

Finland mengangguk. "Aku tidak tahu London punya masalah dengan kepercayaan diri seperti ini. Dulu dia tidak menyebalkan begini."     

"Yah... dulu dia belum pernah jatuh cinta." Caspar dan Finland hanya bertukar pandang dan tersenyum penuh arti.     

"Sudah, sudah. Aku rasa anakku hanya tidak ingin kau memuji laki-laki lain di depannya. Maafkan anakku yang masih muda ini. Rasa cemburunya masih terlalu besar," Caspar menggandeng London dan menepuk-nepuk kepalanya. "Benar, kan?"     

London mengerucutkan bibirnya dan akhirnya mengangguk pelan. "Kau jangan menyukai ayah atau adikku, ya..."     

"Kau ini..." L memijit keningnya dan menggeleng-geleng. "Mana mungkin aku menyukai mereka."     

"Aku tidak percaya. Dari tadi kau memuji ayahku dan adikku, tetapi seingatku kau belum pernah sekalipun memujiku."     

Melihat London berdiri dengan sikap merajuk, ayah dan ibunya memutar mata mereka dan memutuskan keluar ruangan NICU sambil menarik Rune. "Kami ke ruang makan untuk menyiapkan kuenya, ya."     

Mereka tahu sudah saatnya memberikan privasi kepada pasangan muda itu.     

Setelah melihat keluarganya pergi, London kembali menatap L dengan sungguh-sungguh. "Kau belum pernah mengatakan kepadaku satu kata pujian pun. Aku juga tidak tahu apakah kau mencintaiku, jadi wajar saja kalau aku masih cemburuan dan takut kau menyukai adikku.. atau lelaki lain. Kau belum bertemu dengan kerabat dan teman keluargaku. Ada Nicolae yang sangat tampan dan cerdas, ada juga Paman Lauriel yang mengesankan, ada para anggota Wolf Pack, bahkan anak-anak angkat kakak iparku. Ada begitu banyak pria mengesankan di luar sana, aku sampai takut memperkenalkanmu kepada mereka semua..."     

L menatap London dengan pandangan tidak percaya. "Astaga... Kau serius? Kau secemburu itu? Aku bahkan tidak pernah dekat dengan laki-laki selain dirimu. Umurku baru 19 tahun dan aku belum pernah punya kekasih. Kau adalah satu-satunya lelaki dalam hidupku saat ini."     

"Aku tahu kau sudah bersedia menikah denganku, tetapi aku tidak tahu apakah kau melakukannya karena Lily, atau karena ramuan keabadian, atau karena kekayaan keluargaku. Aku tidak keberatan kalau itu semua menjadi pertimbanganmu dalam mengambil keputusan ini, tetapi aku juga ingin tahu... apakah aku memang memiliki tempat di hatimu, atau tidak."     

L menatap London berusaha menyelami hatinya dan ia segera sadar bahwa pria ini hanya ingin mendengar isi hati L yang sebenarnya tentang hubungan mereka.     

"Kau memaksaku untuk menyatakan cinta," omel L akhirnya. "Aku tidak biasa..."     

"Cobalah. Aku sungguh ingin tahu, apa yang kau rasakan kepadaku..." London memohon.     

L akhirnya menghela napas panjang. Ia membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Sungguh L tidak pandai berkata-kata. Kalau ada yang ingin diungkapkan oleh hatinya, ia akan lebih dapat menuangkannya dalam bentuk lagu atau musik.     

Kini saat 'dipaksa' untuk menyatakan cinta, ia tak tahu bagaimana harus mengucapkannya.     

"Hm... bagaimana kalau aku tidak ucapkan dengan kata-kata, apakah kau akan bisa mengetahui apa yang kurasakan untukmu?" tanya L akhirnya.     

London mengangguk. "Kau bisa mencoba."     

"Baiklah... " L menarik napas lagi. Senyum canggung tampak menghiasi wajahnya saat ia berjalan menghampiri London dan menempelkan tubuhnya ke tubuh pemuda itu. Sepasang kakinya lalu berjingkat dan ia mengalungkan kedua tangannya ke leher London dan menarik wajahnya turun.     

London sama sekali tidak mengira L akan menciumnya duluan seperti ini. Ia membungkukkan tubuhnya sedikit dan memeluk pinggang L, membantu agar gadis itu dapat menciumnya dengan lebih mudah.     

Hmmmm.... rasanya L memang tidak perlu mengungkapkannya dengan kata-kata, pikir London bahagia, saat bibir L menyentuh bibirnya dan mendaratkan ciuman hangat yang sangat mesra.     

Keduanya saling memejamkan mata dan menikmati pertemuan bibir mereka. Ini adalah kali pertama L mengambil inisiatif mencium London dan pemuda itu sangat menyukainya. Ia membalas ciuman L dengan penuh semangat dan sesaat kemudian lidahnya telah menjelajah ke dalam mulut L dan memberinya ciuman-ciuman yang lebih panas.     

Mereka terus berpagutan dan London menarik tubuh L ke pangkuannya lalu mencumbu gadis itu di sofa. Mereka bermesraan tanpa suara karena takut membangunkan Lily..     

.     

.     

*George Sand bernama asli Armandine Aurore Lucille Dupin, seorang penulis eksentrik Prancis yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan raja Prancis. George Sand mengambil nama pena seorang laki-laki dan sering berpakaian seperti lelaki. Ia adalah kekasih serius Chopin selama 10 tahun hingga saat kematiannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.